Survei: Penerima Bansos Lebih Berisiko Jadi Perokok Ketimbang Masyarakat Lain

Data panel Indonesian Family Life Survey (IFLS) menunjukkan bahwa penerima bantuan sosial (bansos) memiliki peluang lebih besar menjadi perokok ketimbang bukan penerima bansos.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 09 Jan 2021, 14:00 WIB
Diterbitkan 09 Jan 2021, 14:00 WIB
Ilustrasi rokok
Dok. Rokok ilegal Foto: Pixabay

Liputan6.com, Jakarta Data panel Indonesian Family Life Survey (IFLS) menunjukkan bahwa penerima bantuan sosial (bansos) memiliki peluang lebih besar menjadi perokok ketimbang bukan penerima bansos.

Penerima Program Indonesia Pintar (PIP) memiliki peluang 9 persen poin lebih tinggi untuk merokok dibandingkan bukan penerima PIP. Penerima bansos memiliki konsumsi rokok (nilai dan kuantitas) yang lebih besar dibandingkan bukan penerima bansos.

Penerima Program Keluarga Harapan (PKH) memiliki pengeluaran rokok Rp 3.660/kapita per minggu dan 3,5 batang/kapita per minggu lebih tinggi jika dibandingkan dengan bukan penerima PKH.

Menurut Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) kecenderungan merokok dalam keluarga penerima bansos berpotensi terhadap substitusi pengeluaran nutrisi, pendidikan dan kesehatan sebagai berikut:

1. Penerima bantuan sosial yang keluarganya merokok memiliki konsumsi kalori, protein, lemak dan karbohidrat yang jauh lebih rendah dibandingkan keluarga penerima bantuan sosial tetapi tidak merokok.

2. Penerima bantuan sosial yang keluarganya merokok memiliki anak (<15 tahun) dengan capaian pendidikan yang jauh lebih rendah, dan memiliki anak putus sekolah yang lebih tinggi, jika dibandingkan keluarga penerima bantuan sosial tetapi tidak merokok.

3. Penerima bantuan sosial dan perokok yang memiliki anak (<15 tahun) yang lebih sering sakit jika dibandingkan dengan keluarga penerima bantuan sosial yang bukan perokok.

“Kami juga memiliki studi kualitatif kepada informan, yaitu istri penerima bantuan sosial yang mengakui jika pengeluaran untuk rokok juga berdampak pada kebutuhan harian,” kata Ketua PKJS-UI Ir. Aryana Satrya, M.M, Ph.D, dalam keterangan pers, Kamis (8/1/2021).

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Simak Video Berikut Ini:


Tetap Beli Rokok Walau Ekonomi Sulit

Informan lain menyebutkan, jika dibandingkan kebutuhan untuk belanja bahan makanan, maka belanja rokok hampir setengahnya.

Meski sedang mengalami kesulitan ekonomi, suami informan enggan memberikan uang untuk membeli telur karena ada kebutuhan rokok yang harus dipenuhi.

Informan berikutnya menyebutkan, ketika mengalami kesulitan memenuhi kebutuhan harian, ia lebih memilih berhutang ke orang lain daripada meminta uang jatah rokok suami.

“Ketika perekonomian sedang sulit, salah satu informan mengatakan bahwa suami tetap merokok,” tambah Aryana.

Efek adiksi yang ditimbulkan dari rokok sendiri membuat keluarga miskin sulit berhenti merokok meski dalam kondisi ekonomi yang sulit. Perilaku merokok keluarga penerima bantuan sosial juga berdampak pada kebutuhan sehari-hari.

Sebagian besar keluarga penerima bantuan sosial mengonsumsi bahan makanan pokok seadanya yang menurut mereka murah. Hal ini tentu saja akan berakibat pada asupan nutrisi keluarga. 


Infografis Merokok Sambil Berkendara Didenda Rp 750 Ribu

Infografis Merokok Sambil Berkendara Didenda Rp 750 Ribu
Infografis Merokok Sambil Berkendara Didenda Rp 750 Ribu. (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya