Alokasi Maksimum Pajak Rokok Jauh Lebih Kecil Ketimbang Beban Ekonomi Sistem Kesehatan Indonesia

Cukai produk tembakau kerap dianggap memberikan “sumbangan” finansial bagi sistem kesehatan melalui mekanisme Pajak Rokok Daerah dan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT).

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 18 Jun 2021, 07:00 WIB
Diterbitkan 18 Jun 2021, 07:00 WIB
Ilustrasi tembakau
Ilustrasi tembakau. Foto: (Ade Nasihudin/Liputan6.com).

Liputan6.com, Jakarta Cukai produk tembakau kerap dianggap memberikan “sumbangan” finansial bagi sistem kesehatan melalui mekanisme Pajak Rokok Daerah dan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT).

Namun, studi terbaru dari Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) membuktikan beban yang ditanggung akibat penyakit yang ditimbulkan rokok terhadap total populasi jauh lebih tinggi dari alokasi maksimum Pajak Rokok Daerah dan DBHCHT yang hanya sebesar 7,4 triliun rupiah.

Beban ekonomi sistem kesehatan di Indonesia mencapai Rp 27,7 triliun pada 2019. Angka ini jauh lebih tinggi dari total cukai.

Principal investigator dari studi ini, Teguh Dartanto, menyebut anggapan bahwa industri rokok membantu jaminan kesehatan nasional (JKN) melalui Pajak Rokok Daerah dan DBHCHT itu salah total.

“Sebab, keduanya hanya mengalokasikan kurang dari 7,4 triliun rupiah untuk JKN dari total kerugian terhadap sistem kesehatan yang bisa mencapai 27,7 triliun rupiah,” katanya mengutip keterangan pers Rabu (16/6/2021).

Simak Video Berikut Ini

Pengendalian Tembakau

Sementara itu, Direktur Health Policy Center untuk The University of Illinois Chicago, Frank Chaloupka yang mendanai studi ini, mengapresiasi riset ini dengan menyebut bahwa Indonesia bisa belajar dari beberapa negara dalam mengupayakan strategi pengendalian tembakau yang baik.

Beberapa negara berpendapatan tinggi, seperti Britania Raya dan Australia melakukan inisiatif yang baik. Namun, Indonesia bisa meniru Filipina, negara ekonomi berkembang, yang berhasil mengendalikan tembakau dengan strategi yang sangat adaptif untuk menurunkan keterjangkauan harga dan melakukan soft-earmarking cukai rokok untuk Jaminan Kesehatan Nasional.

Dalam keterangan yang sama Penasihat Senior Gender dan Pemuda untuk Dirjen WHO sekaligus Pendiri CISDI, Diah Saminarsih mengatakan bahwa WHO mendorong Indonesia menyediakan dukungan teknis untuk implementasi kebijakan cukai rokok yang berpihak pada kesehatan masyarakat.

“Studi ini memberikan sinyal bahwa kebijakan nasional saat ini perlu diperkuat dengan mempertimbangkan temuan data yang baru,” kata Diah

Sambil menunggu amandemen kebijakan, peran serta komunitas melalui layanan kesehatan primer transformatif perlu didorong untuk mencapai dampak kesehatan populasi, terutama melalui kebijakan pengendalian konsumsi rokok yang non-harga, tambahnya.

Rokok Bukan Makanan

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan, dr. Slamet, MHP juga menyampaikan bahwa rokok bukan makanan dan berbahaya sehingga konsumsinya harus ditekan.

Kementerian Kesehatan telah melakukan intervensi yang termasuk tupoksinya: penerapan kawasan tanpa rokok (KTR), perluasan pictorial health warning, pembudayaan gerakan masyarakat hidup sehat (GERMAS), hingga perluasan layanan konseling upaya berhenti merokok (UBM) via telepon tidak berbayar.

“Apabila intervensi kami didukung oleh Kementerian Keuangan dalam bentuk kebijakan harga, tentu saja konsumsi rokok akan semakin bisa ditekan,” tutupnya.

Infografis Merokok Sambil Berkendara Didenda Rp 750 Ribu

Infografis Merokok Sambil Berkendara Didenda Rp 750 Ribu
Infografis Merokok Sambil Berkendara Didenda Rp 750 Ribu. (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya