Liputan6.com, Jakarta Ketua umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI), Agus Parmuji menyatakan telah mengirimkan surat terbuka perihal penolakan terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 Bagian XXI tentang Pengamanan Zat Adiktif yang termuat dalam Pasal 429 - 463, dan aturan turunannya.
Menurutnya, terbitnya PP 28/2024 dan menyusul produk turunan merupakan bentuk nyata kriminalisasi terhadap hak ekonomi petani tembakau.
Baca Juga
"Kami sebagai bagian dari keanekaragaman Warga Negara Indonesia yang berkecimpung di sektor pertanian tembakau merasa dikriminalisasi hak ekonominya. Selama 5 tahun terakhir produk hukum yang dibuat mulai dari Undang Undang sampai Peraturan Daerah terus menerus menghimpit eksistensi pertembakauan yang dampaknya sangat terasa pada lemahnya perekonomian pertembakauan," kata Agus dikutip Senin (20/1/2025).
Advertisement
Saat ini, jutaan petani tembakau harus dihadapkan pada terbitnya PP 28/2024 yang disinyalir sebagai alat pemusnah pertanian tembakau di Indonesia.
Agus Parmuji mengungkapkan, sejak terbitnya PP 28/2024, saat musim panen yang seharusnya industri saling berkompetisi menyerap bahan baku hasil panen, sampai saat ini sudah separuh musim panen, industri sudah banyak yang mundur karena tidak melakukan pembelian atau penyerapan.
"Bagi kami para petani tembakau mengalami kebingungan karena serapan tembakau jauh dari harapan. Ini sinyal efek domino negatif pada ambruknya ekonomi di sentra pertembakauan," tegas Agus Parmuji.
"DPN APTI menolak dengan tegas terbitnya PP 28/2024 dan aturan turunan yang arahnya membunuh kelangsungan hak hidup jutaan petani tembakau. Kami akan terus melawan kedzaliman pemerintah yang merampas hak-hak petani tembakau!," pungkas Agus Parmuji.
Â
Â
Dampak Bungkusan Rokok Polos: Rokok Ilegal Menjamur, Pendapatan Negara Menipis
Sebelumnya, DPR RI kembali menegaskan, penyusunan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) soal penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek (bungkusan polos), berpotensi meningkatkan peredaran rokok ilegal.
Mengingat dampak negatif yang akan ditimbulkan, DPR meminta Kementerian Kesehatan Republik Indonesia agar mengkaji ulang inisiatif tersebut.
Anggota DPR RI Komisi XI Puteri Komarudin mengatakan, rencana penyeragaman kemasan rokok perlu didalami lebih lanjut dengan menimbang kerugian sosial ekonomi yang akan terjadi.
Puteri khawarir kondisi di mana akan semakin sulit membedakan antara rokok legal, atau rokok yang membayar cukai, dengan rokok ilegal. Akibatnya, peredaran rokok ilegal bisa semakin meningkat. Tumbuh suburnya rokok ilegal di pasaran pun akan membuat pengawasan semakin kompleks.
"Hal ini tentu berisiko terhadap peredaran rokok ilegal yang sulit dikendalikan dan diawasi. Makanya, rencana ini perlu ditinjau kembali secara komprehensif," ujarnya dalam keterangan tertulis, Minggu (19/1/2025).
Â
Advertisement
Kerugian Ekonomi
Selain itu, pemerintah juga dinilai akan mengalami kerugian ekonomi yang besar atas peredaran rokok ilegal. Pasalnya, cukai dari Industri Hasil Tembakau (IHT) mencapai Rp 216,9 triliun atau menyumbang lebih dari 95 persen dari total penerimaan cukai pada 2024.
Anggota dari Fraksi Golkar ini juga memaparkan pada 2023, jumlah rokok ilegal yang berhasil ditindak sebesar 253,7 juta batang. Sementara pada 2024, jumlahnya meningkat menjadi 710 juta batang.
Oleh karena itu, Puteri meminta agar Pemerintah melakukan evaluasi efektivitas kebijakan untuk Rancangan Permenkes yang diinisasi oleh Kementerian Kesehatan ini.
"Bersamaan dengan hal tersebut, pemerintah juga perlu menggencarkan upaya penindakan dan penegakan hukum terhadap peredaran rokok ilegal," ungkapnya.
Â