Liputan6.com, Jakarta Perusahaan Jerman CureVac pada Rabu pekan lalu mengumumkan bahwa vaksin COVID-19 yang mereka kembangkan hanya memiliki efikasi interim sebesar 47 persen dalam melindungi orang dari virus Corona.
Mengutip AP News, Minggu (20/6/2021), data tersebut belum memasukkan semua data uji klinis vaksin pada 40 ribu orang di Amerika Latin dan Eropa. Namun perusahaan mengatakan bahwa efikasi 47 persen tersebut berlaku untuk semua tingkat keparahan.
Baca Juga
World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa vaksin dengan efikasi di atas 50 persen dapat digunakan, meskipun banyak yang telah disetujui memiliki tingkat yang lebih tinggi.
Advertisement
CureVac mengatakan, penelitian ini terhambat oleh berbagai varian COVID-19 yang ditemukan, yang masih ditinjau dalam uji coba, dan mungkin masih bisa mengubah hasil akhir.
Pihak perusahaan mengatakan bahwa setidaknya ada 13 varian virus Corona COVID-19 yang menyumbang infeksi di antara populasi penelitian.
Dari kasus COVID-19 yang dilaporkan dalam uji coba, 124 kasus dilakukan sequencing untuk mengidentifikasi varian penyebab infeksi.
Satu kasus disebabkan oleh versi asli COVID-19, sementara 57 persen disebabkan varian yang dikhawatirkan lebih menular atau variants of concern.
"Sementara kami mengharapkan hasil sementara yang lebih kuat, kami sadar mendemonstrasikan kemanjuran tinggi dalam keragaman varian yang belum pernah terjadi sebelumnya ini merupakan tantangan," kata Franz-Werner Haas, Chief Executive dari CureVac.
Simak Juga Video Menarik Berikut Ini
Lanjutkan Analisis Akhir
Hass mengatakan bahwa CureVac akan terus mengerjakan analisis akhir dan mengatakan bahwa efikasi vaksin secara keseluruhan mungkin dapat berubah.
Mereka juga telah mengirim data ke regulator obat-obatan Eropa, European Medicines Agency.
"Studi ini berlanjut ke analisis akhir dan totalitas data akan dinilai untuk jalur regulasi yang paling tepat," kata CureVac.
Dikutip dari Straits Times, pertaruhan CureVac dan calon pembeli vaksin di Eropa sebelumnya meningkat usai adanya batasan usia penggunaan vaksin Johnson and Johnson dan AstraZeneca, karena kaitannya dengan pembekuan darah langka yang berpotensi fatal.
CureVac juga diharapkan dapat membantu negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, yang tertinggal dalam upaya imunisasi global.
Perusahaan menambahkan, hasil sementara menunjukkan bahwa vaksin tersebut efektif pada peserta yang lebih muda, namun tidak membuktikan kemanjuran di usia lebih dari 60 tahun.
Advertisement
Kekecewaan WHO
Kekecewaan juga diungkapkan oleh World Health Organization (WHO). Chief Scientist Soumya Swaminathan mengatakan, karena adanya varian COVID-19 yang lebih menular, kebutuhan akan vaksin baru yang efektif pun meningkat.
"Varian Delta sedang dalam perjalanan untuk menjadi varian dominan secara global karena peningkatan transmisibilitasnya," katanya seperti dikutip dari Channel News Asia.
Swaminathan mengatakan, dunia telah berharap banyak dari calon vaksin CureVac, apalagi mereka juga vaksin mRNA yang mirip dengan Pfizer-BioNTech dan Moderna, yang memiliki efikasi hingga 90 persen.
"Hanya karena ini adalah vaksin mRNA lain, kita tidak bisa menganggap semua vaksin mRNA sama, karena masing-masing memiliki teknologi yang sedikit berbeda," katanya.
Swaminathan pun menambahkan bahwa kegagalan ini menekankan nilai uji klinis yang kuat dalam pengujian produk baru.
Mark Slifkan, profesor mikrobiologi dan imunologi di Oregon Health and Science University mengatakan, ada perbedaan antara mRNA yang digunakan dalam Pfizer dan Moderna, dengan CureVac.
CureVac menggunakan mRNA yang tidak dimodifikasi, yang dapat memicu respon imun berbeda dalam tubuh, sehingga mempengaruhi efikasi. "Bisa variannya, bisa tipe mRNAnya, atau bisa kombinasi dari semua itu,” kata Slifka."
Infografis Benarkah Vaksin Covid-19 Bikin Kekebalan Tubuh 100 Persen?
Advertisement