Liputan6.com, Denpasar - Valiant Budi Yogi, penulis buku Tukar Takdir yang akrab disapa Vabyo seperti nama akun Twitter pribadinya, membagi kisah perjuangannya menghadapi penyakit Stroke Hemoragik.
Sekitar 2015, saat sedang membereskan kamar sambil mendengarkan musik, tiba-tiba Vabyo merasakan sakit di area leher menjalar naik ke seluruh bagian kepala. Rasa sakit yang amat kuat tersebut sempat membuatnya tidak sadarkan diri beberapa kali di dalam kamar.
Advertisement
Beruntung, Vabyo kedatangan teman-temannya. Mereka menyambangi rumahnya karena didorong rasa heran Vabyo tak menanggapi pesan singkat. Padahal dia dikenal sebagai orang yang tak pernah mengabaikan pesan, apalagi ajakan makan dari teman-temannya itu.
Advertisement
Baca Juga
Sontak mereka kaget melihat Vabyo terbaring tak sadarkan diri di lantai kamar. Dia langsung dilarikan ke salah satu Rumah Sakit di Ubud. Setelah pemeriksaan, dokter mengatakan ada pembuluh darah yang pecah di sebelah kiri, Vabyo harus segera mendapat perawatan intensif.
Pecahnya pembuluh darah itulah penyebab rasa sakit hebat di sekitar kepala. Apalagi jika efek obat penghilang nyerinya mulai menghilang, sakitnya makin tak tertahan.
Sampai Akhirnya Dokter Mendiagnosa Vabyo dengan Stroke Hemoragik
“Kata kakak yang jagain, setiap jam 2 dini hari aku teriak-teriak 'Sakit… sakit...'," kata Vabyo saat berbincang dengan Health Liputan6.com di Ubud, Bali, belum lama ini.
Rasa sakit kerap membuatnya terjaga. Ingin meronta tapi tak bisa. Sebab, dokter memintanya agar tidak terlalu banyak bergerak agar kondisi pendarahan tidak makin buruk.
Alhasil, dokter kerap memberinya semacam obat penenang yang membuat Vabyo tenang hingga tertidur. Pilihan itu ternyata membuahkan hasil. Sisa bercak darah yang ada di otak mengering dengan sendirinya. Sehingga tak perlu tindakan pembedahan atau operasi apapun untuk membersihkannya.
Setelah hampir sebulan di rumah sakit di Kecamatan Ubud, Gianyar, Bali, Vabyo baru mengetahui kondisi yang sebenarnya. Dia didiagnosa terkena Stroke Hemoragik. Sebelumnya yang dia ketahui hanya kondisi sakit kepala hebat akibat pecahnya pembuluh darah.
Biaya rumah sakit yang cukup besar membuatnya mengambil keputusan untuk rawat jalan, tapi atas persetujuan dokter.
Nasib baik berpihak. Robin Lim, pemilik Klinik Bumi Sehat di Desa Nyuh Kuning, Ubud, memberinya tempat tinggal dan terapi. Tiga kali dalam seminggu dia mendapatkan terapi belajar jalan, belajar bicara, akupuntur, dan terapi motorik.
Advertisement
Menjalani Serangkaian Terapi
Sejumlah terapi yang dijalani secara rutin membuatnya berangsur membaik. Tiga tahun berselang, tepatnya di tahun 2018, Vabyo mulai beraktivitas.
Anggapan bahwa stroke akibat karma diri yang banyak dosa menjadi hal terberat yang harus dirasakannya. Namun, beruntung dia tak patah arang. Vabyo terus melakukan banyak kegiatan positif termasuk kembali menulis.
“Setiap hari aku masih harus mengingat-ingat siapa namaku, dari mana asalku, kapan tanggal lahirku, bagaimana bentuk tandatanganku, sampai buku-buku apa saja yang sudah pernah kutulis lho, Mbak,” katanya dengan nada bercanda.
Kondisi short memory lost yang masih kerap dialami membuat Vabyo harus tetap mengonsumsi obat-obatan untuk membantu memulihkan dan menguatkan daya ingatnya.
“Sebenarnya, beberapa tahun sebelum kena stroke tubuhku udah sering ngasih signal. Ya, mirip seperti orang masuk angin, kepala pusing, leher nyeri. Tapi, ya itu selalu aku abaikan,” katanya.
Pandangan Medis Tentang Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik adalah kondisi pecahnya salah satu arteri dalam otak yang memicu perdarahan di sekitar organ tersebut. Ini menyebabkan aliran darah pada sebagian otak berkurang atau terputus. Tanpa pasokan oksigen yang dibawa sel darah, sel otak dapat cepat mati sehingga fungsi otak dapat terganggu secara permanen.
“Stroke Hemoragik ini disebabkan oleh banyak faktor termasuk di antaranya faktor genetika, gaya hidup, dan psikososial,” kata dokter Wayan Mustika, melalui pesan singkat pada Health Liputan6.com, Rabu (01/11/21).
Dokter Mustika pun menjelaskan perihal apa itu Psikososial. Faktor Psiko berarti faktor mental atau psikis, terutama yang berkenaan dengan kecemasan, kemarahan, berbagai emosi negatif yang ditekan dan dipendam dalam pikiran.
Sedangkan faktor Sosial misalnya interaksi sosial yang tidak baik di dalam rumah, keluarga, lingkungan kerja, pertemanan, dan lain-lain yang memunculkan gangguan emosional serta rasa terasing dan depresi.
“Sepertinya aku emang sudah ada genetik stroke, tapi aku yang nggak aware,” kata Vabyo. Menurutnya, mendiang Sang Ayah dan nenek juga menderita stoke.
Vabyo dan ayahnya sama-sama golongan darah A, penyuka jeroan, hobi merokok dan minum kopi. Bahkan, dia bisa minum 12 gelas kopi dalam sehari.
“Meskipun punya keturunan genetik stroke, sebenarnya aku bisa mencegahnya dengan berpola hidup sehat, makan sayur, dan olahrga,” kata Vabyo mengulang kata-kata dokter yang merawatnya enam tahun silam.
Sebelum menutup sesi wawancara, penulis yang sudah berkarya sejak umur 7 tahun berpesan agar kita tidak lalai untuk selalu memantau tekanan darah, menjaga pola makan dan aktivitas.
Meskipun belum merasakan gejala apapun, namun tak ada salahnya melakukan langkah preventif terutama bagi kita yang mempunyai keluarga dengan riwayat stroke.
Advertisement