Warga Cianjur Jadi Korban KDRT Hingga Meninggal Usai Disiram Air Keras

S menjadi korban KDRT suaminya dan meninggal akibat disiram air keras

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 24 Nov 2021, 16:00 WIB
Diterbitkan 24 Nov 2021, 16:00 WIB
Ilustrasi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
Ilustrasi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). (dok. Pixabay.com/Tumisu)

Liputan6.com, Jakarta Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kembali terjadi. Kali ini menimpa warga Cianjur, S (21) yang disiram air keras dan dianiaya suaminya sendiri, AL (29) hingga meninggal dunia.

Menanggapi kasus ini, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga mengajak masyarakat dan aparat pemerintah untuk bersama-sama mencegah KDRT.

Menurutnya, upaya perlindungan hukum harus dilakukan terhadap korban kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga. Khususnya perempuan dan anak sebagai kelompok rentan menjadi korban kekerasan.

“Kami turut prihatin atas kejadian yang terjadi di Kampung Manjul, Desa Sukamaju, Kecamatan Cianjur yang menimpa S hingga meninggal dunia,” kata Bintang dalam keterangan pers Selasa (23/11/2021). 

Bintang setuju jika aturan harus ditegakkan sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Ini sebagai pembaharuan hukum yang berpihak pada kelompok rentan atau subordinasi, khususnya perempuan.

“Dalam kelompok masyarakat, perempuan dan anak adalah kelompok rentan sehingga kita semua wajib melindungi dan menghindarkan mereka menjadi korban kekerasan, termasuk kawin kontrak yang juga marak terjadi di daerah,” katanya.

Hak Konstitusional

Bintang menambahkan, Hak asasi manusia dalam konstitusi merupakan hak warga negara yang disebut sebagai hak-hak konstitusional.

Hak konstitusional adalah hak warga negara yang dijamin dalam UUD 1945, sejalan dengan prinsip Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.

Penghapusan diskriminasi harus dilakukan di segala bidang, seperti sosial, politik, ekonomi, hukum, keamanan, termasuk diskriminasi dalam keluarga.

16 Hari Tanpa Kekerasan

Hal ini juga sejalan dengan upaya mengawal Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 Days of Activism Against Gender Violence) untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia.

Kampanye diawali pada 25 November yang merupakan Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan hingga 10 Desember yang merupakan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional.

Dipilihnya rentang waktu tersebut bertujuan menghubungkan secara simbolik antara kekerasan terhadap perempuan dan HAM. Serta, menekankan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM.

Pemerintah wajib memenuhi dan melindungi hak asasi perempuan, salah satunya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang mengatur langkah-langkah antisipasi lahirnya kekerasan baru dan adanya kejelasan sanksi bagi pelaku kekerasan.

"Kami mengajak masyarakat untuk mengawal kasus ini agar tidak ada lagi korban kekerasan dalam rumah tangga, baik secara fisik, psikis, seksual, dan penelantaran dalam rumah tangga.”

“Kami juga meminta aparat kepolisian untuk memproses kasus ini sesuai aturan hukum yang berlaku. Tugas kita semua untuk semaksimal mungkin mencegah terjadinya kekerasan di sekeliling kita agar terwujud zero kekerasan,” tutup Bintang.

 

Infografis Ketok Palu RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Masuk Prolegnas 2021

Infografis Ketok Palu RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Masuk Prolegnas 2021. (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis Ketok Palu RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Masuk Prolegnas 2021. (Liputan6.com/Trieyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya