Penerima Vaksin Booster Pfizer Sebaiknya Tidak Olahraga Usai Vaksinasi COVID-19

Mengenal KIPI yang akan dialami penerima vaksin booster gunakan vaksin Pfizer dan Moderna

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 03 Feb 2022, 17:00 WIB
Diterbitkan 03 Feb 2022, 17:00 WIB
FOTO: Vaksinasi Dosis Ketiga COVID-19 di Gereja HKBP Menteng Anno 1955
Petugas memeriksa kesehatan warga saat vaksinasi COVID-19 penguat (booster) atau dosis ketiga di Gereja Huria Kristen Batak Protestan Menteng Anno 1955, Jakarta Pusat, Selasa (25/1/2022). Vaksinasi digelar setiap Senin-Jumat sampai tanggal 5 Februari 2022. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta - Vaksinasi dosis penguat atau vaksin booster COVID-19 menimbulkan berbagai pertanyaan di kalangan masyarakat. Salah satunya terkait anjuran untuk tidak melakukan olahraga berat usai disuntik.

Menanggapi hal tersebut, vaksinolog Dirga Sakti Rambe menjelaskan bahwa hal ini berkaitan dengan adanya risiko radang otot jantung khususnya bagi penerima vaksin Pfizer dan Moderna yang keduanya merupakan vaksin berbasis MRnA.

“Sebetulnya risikonya kecil sekali, risiko radang jantung ini jauh lebih besar jika dikarenakan COVID-19,” kata Dirga dalam Virtual Class Liputan6.com belum lama ini.

Dirga, menambahkan, walaupun penerima booster mengalami radang otot jantung, tapi sifatnya ringan dan akan sembuh sempurna dalam dua hingga tiga hari.

Simak Video Berikut Ini

Pencegahan

Lantas, bagaimana cara mencegah atau mengurangi risiko radang otot jantung pasca vaksinasi booster?

“Dianjurkan bagi semua orang yang sudah vaksinasi Pfizer atau Moderna untuk tidak beraktivitas sedang hingga berat sampai 7 hari setelah vaksinasi.”

“Kalau aktivitas sehari-hari ya boleh, bersihin rumah, cuci baju ya boleh, nanti rumah kita berantakan kalau enggak dibersihkan.”

Aktivitas yang dilarang yakni yang memiliki intensitas sedang hingga berat seperti lari marathon dan olahraga berat lainnya.

Dianjurkan Booster Heterolog

Dalam kesempatan yang sama, Dirga menganjurkan untuk menerima vaksin heterolog atau vaksin yang berbeda dari vaksinasi dua dosis sebelumnya.

Pasalnya, booster dengan vaksin heterolog terbukti lebih efektif dari vaksin homolog atau sama dengan vaksin primernya.

“Kalau vaksinnya sama (homolog) bukan tidak boleh, kalau di daerah kita adanya hanya vaksin yang sama ya boleh saja. Tapi kalau ada merek berbeda seperti vaksin pertama Moderna, kedua Moderna, dan penguatnya AstraZeneca, itu lebih dianjurkan.”

Baik booster homolog maupun heterolog, keduanya efektif menurunkan risiko gejala parah pada pasien COVID-19 ketimbang yang tidak vaksinasi.

“Orang yang belum vaksinasi kemungkinan kena gejala beratnya sangat besar, tapi yang sudah vaksinasi, punya antibodi, kemungkinan COVID beratnya jauh lebih rendah,” tambah Dirga.

Dari berbagai penelitian di negara lain yang sudah lebih dulu mengalami Omicron, tanpa booster efektivitas vaksin hanya 44 sampai 57 persen dalam mencegah COVID-19 berat. Sedangkan dengan booster, maka efektivitas vaksinnya naik 83 sampai 90 persen.

“Itulah pentingnya vaksinasi, karena 6 bulan setelah vaksinasi kedua antibodi kita mulai turun sehingga dengan vaksinasi tambahan diharapkan antibodinya naik lagi sehingga kita tetap terlindungi,” ujar Dirga.

Infografis Indikator Negara Keluar dari Masa Krisis COVID-19

Infografis Indikator Negara Keluar dari Masa Krisis Covid-19. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Indikator Negara Keluar dari Masa Krisis Covid-19. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya