Liputan6.com, Jakarta Menteri Kesehatan (Menkes) RI Budi Gunadi Sadikin mengatakan bahwa selama ini layanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan BPJS Kesehatan bukan cuma menanggung pengobatan orang dengan tingkat perekonomian menengah ke bawah. Budi mengetahui bahwa ada juga orang kaya bahkan konglomerat turut menggunakan Jaminan Kesehatan Nasional yang diselenggarakan BPJS Kesehatan ini.
Menurut Menkes Budi, hal tersebut berimbas negatif pada keuangan BPJS Kesehatan. Budi mengungkapkan ke depannya bakal membentuk kelas BPJS Kesehatan untuk orang-orang kaya. Pada peserta JKN dari kalangan mampu, maka kartu yang dimiliki bakal bersinergi dengan asuransi swasta.
Baca Juga
Berikut fakta tentang rencana BPJS Kesehatan untuk orang kaya:
Advertisement
1. BPJS Kesehatan untuk Orang Kaya Bersinergi dengan Asuransi Swasta
Budi mengatakan bahwa banyak orang kaya bahkan konglomerat memakai JKN. Padahal jika dilihat secara material mereka mampu membayar biaya pengobatan. Hal ini tentu bisa membebani negara. Maka dari itu, Budi menyebutkan BPJS Kesehatan berintegrasi dengan asuransi swasta.
"Bagaimana bekerja sama dengan asuransi swasta, bisa mengombinasi pembayaran atau coverage dari BPJS Kesehatan dan asuransi swasta. Sehingga tidak semua ditanggung BPJS Kesehatan terutama yang berpenghasilan tinggi atau masyarakat mampu. BPJS bisa kita prioritaskan untuk masyarakat yang tidak mampu" kata Budi.
Dengan hal ini maka masyarakat yang mampu tidak membebani negara melainkan membayar sendiri atau melalui asuransi swasta.
"Masyarakat mampu diharapkan meng-cover premi asuransi dengan premi asuransi swasta," kata Budi.
2. Konglomerat Pakai BPJS Kesehatan, Budi: Tidak Tepat
Budi mengatakan bahwa ia mengetahui bukan cuma golongan kurang mampu yang memanfaatkan BPJS Kesehatan tapi juga konglomerat alias orang kaya.
"Saya sering dengar yang dibiayain (oleh BPJS Kesehatan), mohon maaf, kadang-kadang konglomerat," kata Budi.
Rencananya, ia bakal meminta data pembiayaan seribu orang teratas atau paling tinggi dalam BPJS Kesehatan.
"Saya mau tarik datanya, cek PLN bayarnya berapa kvA (kilovolt ampere), kalau di atas 6.600 itu orang yang salah," kata Budi.
Dengan data tersebut juga bakal dilihat NIK yang bisa dicek apakah punya kartu kredit atau tidak. Jika punya kartu kredit dengan limit 100 juta, menurut Budi, itu orang yang salah mendapatkan manfaat BPJS Kesehatan.
"Kalau enggak punya kartu kredit ya itu benar (bisa mendapatkan pengobatan dengan BPJS Kesehatan, tapi kalau limit kartu kredit 100 juta, itu bukan orang yang tepat untuk kita bayari," katanya sambil tertawa.
Menurut Budi, lebih bijak bila BPJS Kesehatan diberikan kepada rakyat yang betul-betul tidak mampu. Nah, yang mampu harusnya dicover oleh asuransi swasta.
"Maka dari itu coverage enggak boleh terlalu tinggi. Kalau coverage terlalu tinggi dan bayarnya murah pasti diambil orang kaya, "Oh ini coverage tinggi dan bayar murah, ah pakai BPJS saja," tutur Budi.
Advertisement
3. Progres Kerja Sama BPJS Kesehatan dengan Asuransi Kesehatan Tambahan
Peningkatan soal peran asuransi swasat bersama BPJS Kesehatan sudah ada progress, diantaranya:
- Integrasi pembayaran iuran JKN ke produk asuransi kesehatan tambahan untuk peningkatan cakupan peserta JKN
- Kesepakatan skema pembayaran klaim dimana penjamin lain seperti asuransi kesehatan tambahan dapat berperan sebagai pihak pertama pembayar selain BPJS Kesehatan
- Perbaikan sistem informasi untuk kemudahan administrasi/billing, monitoring-evaluasi dan pencegahan moral hazard.
Update KRIS
Dalam rapat bersama Komisi IX DPR RI, Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan perkembangan mengenai persiapan dalam menghapus sistem layanan rawat inap kelas 1, 2 dan 3 pada peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan BPJS Kesehatan.
Nantinya, pasien akan mendapatkan layanan dalam ruang kelas rawat inap yang sama dalam Kelas Rawat Inap Standar (KRIS). Dalam satu kamar bakal berisi maksimal empat pasien rawat inap.
KRIS merupakan amanah dari regulasi yang sudah ada. Salah satunya UU 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional pasal 23. Di dalam pasal 23 ayat (4), menyebutkan bahwa “dalam hal peserta membutuhkan rawat inap di rumah sakit, maka kelas pelayanan di rumah sakit diberikan berdasarkan kelas standar”.
"Menurut kami, Kementerian Kesehatan, KRIS ini bagi peserta (BPJS Kesehatan) untuk meningkatkan kenyamanan dan keselamatan peserta serta meningkatkan keadilan layanan," kata Budi dalam rapat bersama Komisi IX DPR RI pada Selasa (22 November 2022).
Sementara itu kehadiran KRIS bagi penyelenggara layanan untuk meningkatkan kualitas layanan rawat inap yang terstandar.
Sementara bagi JKN hal ini merupakan upaya agar program ini terus berkesinambungan (sustainibility) dalam pendanaan. KRIS telah menjalani uji coba sejak 1 September 2022 di empat rumah sakit milik pemerintah. Kesiapan rumah sakit tersebut beragam lalu sudah diupayakan agar sesuai standar KRIS. Maka diputuskan untuk perluasan uji coba pada 10 rumah sakit kelas A, B, dan C.
"Kita lakukan uji coba ke rumah sakit daerah, rumah sakit swata dan rumah sakit kelas A. Mulai 1 Desember 2022 sehingga Januari sudah didapatkan hasilnya," kata Budi.
Penerapan KRIS akan berlaku 100 persen pada 2025. Tahun depan penerapan dilakukan bertahap."Kalau KRIS penerapannya bertahap 2023 mulai hanya 25% , tahun 2024 50%, dan 2025 100% akan siap. Jadi dilakukan bertahap," kata Budi.
Advertisement