Liputan6.com, Jakarta Seperti diketahui, cukai MBDK (minuman berpemanis dalam kemasan) telah dicanangkan sejak tahun 2016 lalu. Namun, hingga kini belum ditetapkan lantaran adanya banyak dilema yang berkaitan dengan hal tersebut.
Sebagai salah satu upaya mendorongnya, Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) pun menjelaskan apa-apa saja dampak yang perlu dipertimbangan terkait cukai minuman manis itu, terutama untuk kesehatan jangka panjang.
Baca Juga
Chief of Policy and Research CISDI, Olivia Herlinda mengungkapkan bahwa sebelumnya pihak CISDI sudah berdiskusi dengan pihak Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan melakukan kajian dari studi yang sudah ada.
Advertisement
Hasilnya menunjukkan konsumsi MBDK memang terbukti memiliki dampak kesehatan jangka panjang, yang mana kebanyakan tidak muncul langsung usai mengonsumsi.
"Pada akhirnya kami merekomendasikan untuk dimasukkan (cukai MBDK), karena memang ternyata punya dampak pada kesehatan. Bisa menyebabkan obesitas dan penyakit tidak menular lainnya," ujar Olivia dalam Diskusi Publik Elastisitas Harga Permintaan Untuk MBDK, Selasa (29/11/2022).
Begitupun menurut Tim Peneliti CISDI tentang ringkasan Kenaikan Harga pada MBDK, Prof Agus Widarjono. Agus menjelaskan, penetapan cukai seharusnya lebih efektif untuk mengurangi konsumsi MBDK di masyarakat.
"Jika kita hanya mengedukasi masyarakat untuk tidak mengonsumsi MBDK itu dampaknya tidak efektif. Salah satu yang mungkin bisa kita lakukan itu dengan cukai, karena dengan kenaikan harga, masyarakat akan berpikir. Harga mahal tentunya kemudian ia akan mengurangi konsumsi," kata Agus.
Penyakit dari Minuman Manis Tak Muncul Secara Instan
Lebih lanjut Agus mengungkapkan bahwa dampak yang ditimbulkan akibat konsumsi MBDK pun tidak muncul secara instan. Itulah mengapa konsumsinya harus ditekan sedini mungkin demi mencegah penyakit-penyakit untuk muncul.
"Kita tahu dari hasil kita, kenaikan harga cukai itu sangat efektif di dalam menurunkan konsumsi MBDK. Sudah disampaikan, ternyata penyakit yang ditimbulkan MBDK itu memang bukan penyakit yang instan," ujar Agus.
"Itu harus kita atasi lebih dini. Dalam penelitian ini, ternyata mereka yang sangat bergantung dengan MBDK itu orang perkotaan, rumah tangga muda, dan orang kaya. Kecenderungannya lebih banyak populasinya. Nah kalau tidak diantisipasi lebih dini, tentunya nanti beban kedepannya akan berat," tambahnya.
Menurut Agus, beban tersebut berkaitan dengan akan semakin banyak orang yang sakit dan meningkatnya beban pembiayaan untuk itu. Sedangkan dalam hal penolakan pelaku usaha, Agus menjelaskan bahwa hal tersebut bisa dikomunikasikan lagi dengan pihak lainnya.
"Soal nanti pelaku usaha (yang menolak), itu harus kita komunikasikan dengan pihak lain. Kalau kita lihat, produknya banyak dari industri besar. Mungkin kita bisa cari win win solution supaya nanti tetap sekali lagi, tujuan kita mengurangi konsumsi MBDK," kata Agus.
Advertisement
Berdampak pada Kemampuan Kognitif Anak
Dalam kesempatan yang sama, Tim Peneliti CISDI, Rifai Afin mengungkapkan bahwa selain penyakit tidak menular dan potensi kenaikan pembiayaan kesehatan yang tinggi, minuman manis juga sebenarnya memiliki dampak lain.
"Isu yang cukup menarik dalam diskusi literatur ilmiah itu terkait dengan perkembangan anak. Banyak studi yang membuktikan bahwa konsumsi MBDK ini berdampak negatif pada kemampuan kognitif para anak," ujar Agus.
"Jadi ini adalah poin-poin penting untuk mendukung kebijakan pengendalian MBDK terutama melalui instrumen penetapan cukai," tambahnya.
Agus pun berharap kebijakan terkait cukai MBDK bisa segera diterapkan pada 2023 mendatang. Termasuk dalam hal melakukan sosialisasi dan komunikasi yang baik ke masyarakat soal dampaknya pada obesitas dan penyakit tidak menular lainnya.
Kendala Penerapan Cukai Minuman Manis
Perwakilan Tim CISDI, Okto pun mengungkapkan apa yang menjadi kendala dalam penerapan cukai minuman manis. Hal tersebut salah satunya berkaitan dengan minuman manis yang memang tersebar pada begitu banyak daerah.
Sehingga sosialisasi terkait hal ini dianggap cukup sulit. Belum lagi, masih banyak yang merasa bahwa minuman manis tidak berbahaya pada kesehatan jangka panjang.
"Enggak banyak juga orang yang menganggap, 'Ah, bahayanya seperti apa sih, yang penting kan kita bisa batasi minumnya, enggak bahaya'. Jadi challenging tersendiri," ujar Dyah.
"Bagi orang awam, banyak yang merasa enggak mungkin minum minuman seperti ini efeknya jadi penyakit tidak menular," tambahnya.
Menurutnya, hal-hal seperti itulah yang menjadi tanggung jawab bersama untuk bisa menjelaskan ke publik apa yang menjadi dampaknya. Sehingga masyarakat bisa lebih paham soal dampaknya dari sekadar mengira ini adalah akal-akalan pemerintah untuk mencari lebih banyak pemasukan.
Advertisement