Liputan6.com, Jakarta - Persoalan surat sakit yang iklannya terpampang dalam Kereta Rel Listrik (KRL) Commuter Line menjadi ramai diperbincangkan. Pasalnya, iklan tersebut menyebutkan bahwa surat sakit itu bisa didapatkan secara online hanya dalam waktu 15 menit.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pun angkat bicara terkait viralnya iklan tersebut. Ketua Umum Pengurus Besar IDI, dr Adib Khumaidi, SpOT menyebutkan bahwa dalam layanan telemedisin, penting untuk tetap memperhatikan aspek-aspek tertentu.
Baca Juga
"Telemedisin memang sebuah hal yang tidak bisa kita hindari. Tapi, tentunya dalam aspek pengembangan telemedisin, harus tetap memerhatikan aspek yang berkaitan dengan disiplin kedokteran, hukum, dan etik," ujar Adib dalam media briefing, Selasa (27/12/2022).
Advertisement
Menurut Adib, selain mengupayakan regulasi yang tepat, penting untuk memerhatikan berbagai aspek lainnya. Salah satunya adalah soal kebenaran status dokter yang memberikan surat sakit. Pastikan dahulu dokter tersebut adalah dokter sungguhan.
Memeriksakan kebenaran status dokter dapat dilakukan pada laman direktori anggota IDI. Dalam laman tersebut, Anda bisa memeriksakan surat tanda registrasi (STR) milik dokter dengan hanya memasukkan nama.
"Kemudian dalam pemeriksaan kesehatan, maka yang tetap harus diperhatikan adalah anamnesa, pemeriksaan fisik, kemudian dibutuhkan pemeriksaan penunjang, baru dilakukan diagnosa, dan penatalaksanaan," kata Adib.
Artinya, surat sakit sebenarnya tidak bisa diberikan hanya dengan konsultasi sekali secara online. Mengingat perlu ada pemeriksaan fisik dan penunjang yang hanya bisa dilakukan secara langsung sebelum membuat diagnosa dan mengeluarkan surat sakit.
Konsekuensi Surat Sakit Online
Lebih lanjut Adib mengungkapkan bahwa surat sakit online sendiri memiliki banyak konsekuensi. Konsekuensi pertama yakni pada dokter yang bersangkutan. Menurut Adib, yang pertama adalah pastikan dulu soal keanggotaan IDI, STR, dan SIP (surat izin praktek) resminya.
"Itu (keaslian dokter) penting untuk dipahami. Kedua adalah apakah sesuai dengan kualifikasi dan kompetensinya? Dua hal itu menjadi satu peran yang tentunya harus diketahui dari organisasi profesi yang bisa melakukan pembinaan dan pengawasan," ujar Adib.
Selanjutnya, konsekuensi pada tempat dimana pasien bekerja. "Kepentingan untuk surat sakit itu, untuk siapa? Umpamanya ia bekerja di pemerintahan atau perusahaan, jangan sampai surat sakit itu dimanfaatkan untuk menimbulkan kerugian," tambahnya.
Sehingga Adib mengungkapkan bahwa penting untuk memperhatikan persoalan surat sakit agar tidak terjadi penyalahgunaan. Terlebih, ada konsekuensi etik dan hukum yang bisa diterima dokter jikalau namanya terbukti melakukan penyalahgunaan surat sakit.
Advertisement
Siapa yang Boleh dan Tidak Mengeluarkan Surat Sakit?
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Bidang Hukum Pembinaan dan Pembelaan Anggota (BHP2A) Pengurus Besar IDI, Dr dr Beni Satria mengungkapkan bahwa idealnya yang boleh mengeluarkan surat keterangan sakit atau surat sakit hanyalah dokter yang sesuai dengan kompetensinya dan bidan.
"Jadi, kewenangan mengeluarkan surat itu adalah kewenangan dokter. Bukan dengan tenaga kesehatan lain. Artinya, tenaga kesehatan lain itu tidak punya kewenangan untuk mengeluarkan surat keterangan," kata Beni.
"Boleh bidan. Bidan pun hanya boleh mengeluarkan surat keterangan karena pasiennya hamil atau pasiennya mual-mual, muntah, dan ternyata hamil. Maka surat keterangan itu boleh dikeluarkan oleh bidan. Atau pasien itu melahirkan di bidan," tambahnya.
Artinya, hanya dua profesi tersebut yang boleh mengeluarkan surat keterangan dengan ketentuan yang berlaku di atas. Ketentuan soal surat keterangan itupun sudah tercantum dalam Pasal 35 UU 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Idealnya, Surat Sakit Harus Dikeluarkan oleh Dokter yang Sesuai
Beni turut mengungkapkan bahwa dokter umum pun sebenarnya tidak bisa mengeluarkan surat sakit khusus pada pasien yang tidak sesuai dengan kompetensinya.
Misalnya, dokter umum tidak bisa mengeluarkan surat untuk pasien yang sakit gigi dan menyarankan pasien harus istirahat selama beberapa hari. Hal tersebut lantaran wewenangnya ada pada dokter gigi.
"Dokter gigi pun dalam mengeluarkan surat keterangan hanya terkait dengan profesinya sebagai dokter gigi --- Itu wewenangnya dokter gigi, bukan dokter umum," ujar Beni.
"Jadi masing-masing harus sesuai dengan kewenangan dan profesi masing-masing. Itu dulu yang perlu diluruskan. Artinya, dokter umum juga tidak boleh mengeluarkan terkait istirahat seorang pasien yang dia sakit gigi. Supaya masyarakat juga teredukasi," tambahnya.
Advertisement