Soal Kasus Anak 12 Tahun Hamil 8 Bulan, Faktor Lingkungan Berkontribusi pada Kekerasan Seksual?

Apa saja faktor yang bisa menyebabkan terjadinya kasus kekerasan seksual di Medan?

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 08 Jan 2023, 10:00 WIB
Diterbitkan 08 Jan 2023, 10:00 WIB
Potret Pekerja Perkebunan Kelapa Sawit di Aceh
Seorang pekerja membawa cangkang sawit di sebuah perkebunan sawit di Sampoiniet, provinsi Aceh (7/3/2021). Kelapa sawit merupakan tanaman perkebunan yang memiliki produksi terbesar di Kabupaten Aceh. (AFP Photo/Chaideer Mahyuddin)

Liputan6.com, Jakarta - Seorang anak berumur 12 tahun di Binjai, Sumatera Utara, menjadi korban kekerasan seksual hingga hamil delapan bulan.

Anak tersebut tinggal di kawasan perkebunan kelapa sawit tempat orangtuanya bekerja. Lantas, apakah lingkungan tempat tinggal berkontribusi pada peningkatan risiko terjadinya kasus kekerasan seksual?

Mengenai kasus pelecehan seksual di Medan ini, kriminolog Haniva Hasna mengatakan bahwa beberapa tempat dan pekerjaan memang rentan kekerasan seksual.

"Ya, ada beberapa tempat dan atau pekerjaan yang rentan kekerasan seksual dan eksploitasi , antara lain perkebunan, pabrik, kapal, dan industri hiburan," kata kriminolog yang akrab disapa Iva kepada Health Liputan6.com melalui pesan tertulis, Sabtu 7 Desember 2022.

"Bisa jadi secara lokasi berjauhan antara rumah yang satu dengan yang lain sehingga kesulitan meminta pertolongan ketika terjadi kejahatan," dia menambahkan.

Iva pun mengatakan bahwa kasus kekerasan seksual di Medan harus dibawa ke ranah hukum karena sudah memenuhi unsur kriminal. Ada pelaku (walaupun belum ditemukan), ada korban, ada kejahatan (kekerasan seksual), dan reaksi masyarakat.

"Bagaimana dengan pelaku yang belum diketahui? Yang penting lapor saja dulu, dengan membawa saksi dan bukti. Sudah menjadi tugas polisi untuk mencari siapa pelakunya. Melaporkan kepada yang berwajib adalah hak masing-masing warga negara ketika menjadi korban kejahatan," ujarnya.

Pendampingan Korban

Korban pun perlu diberi pendampingan. Setidaknya ada tiga pendampingan yang bisa diberikan, yakni pendampingan fisik, psikis, dan hukum.

"Pendampingan fisik dilakukan untuk membantu memberikan dan menjamin keselamatan korban, menjaga kesehatan korban dan bayinya," ujarnya.

Pendampingan psikis dengan cara memberikan rasa aman, tenang, menghindarkan dari stres, depresi, dan trauma.

Pendampingan hukum dengan cara membantu korban untuk mendapat keadilan dan perlindungan hukum. Termasuk mendampingi saat Berita Acara Pemeriksaan (BAP).

Serta mengumpulkan bukti dan saksi hingga memberi perlindungan terhadap ancaman pihak lain.

Sedangkan, bantuan utama yang sekarang dibutuhkan korban adalah bantuan fisik/kesehatan dan psikis.

Mengingat korban masih berusia 12, masih dalam kondisi yang rentan menjalani kehamilannya. Baik secara psikis maupun kesiapan organnya.

Sehingga perlu bantuan medis, tempat tinggal yang layak, serta suasana hati yang tenang, aman jauh dari ancaman.

Dampak Fisik dan Psikis

Bantuan kesehatan fisik dan psikis amat diperlukan karena kasus ini berdampak pada kedua aspek tersebut.

"Dampak fisiknya jelas terjadi terhadap kemampuan organ tubuhnya yang belum siap menjalani kehamilan. Bisa terjadi kelahiran prematur, pendarahan persalinan, berat badan bayi rendah, dapat menyebabkan kematian bayi dan ibunya serta terkena penyakit menular seksual," dia menambahkan.

Persalinan pada ibu di bawah usia 20 memiliki kontribusi dalam tingginya angka kematian neonatal, bayi, dan balita.

Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia menunjukkan bahwa angka kematian neonatal, postneonatal, bayi dan balita pada ibu yang berusia kurang dari 20 tahun lebih tinggi dibandingkan pada ibu usia 20-39 tahun.

Sedangkan, secara psikis, korban bisa mudah gelisah, serangan panik, depresi, gangguan stres pasca trauma (PTSD), gangguan tidur dan mimpi buruk, menyakiti diri sendiri dan yang paling berat adalah melakukan aborsi atau muncul dorongan untuk mengakhiri hidup.

Siap Mengasuh Anak?

Iva pun menjelaskan, umur 12 tahun masuk dalam fase remaja, sudah mulai memiliki pola pikir dan cara pandang yang lebih ‘dewasa’ dibanding sebelumnya.

Hal ini berkaitan dengan kemampuannya melihat salah atau benar. Meski demikian, pada saat-saat tertentu, remaja masih kesulitan untuk bisa berpikir rasional dan masih menunjukkan sisi kekanak-kanakan dalam memandang satu dan lain hal.

Dalam perkembangan usia 12 ini remaja berada dalam fase egosentris yakni hanya memikirkan diri sendiri. Perkembangan emosional yang dialami anak usia 12 sangat terasa pada perubahan suasana hati yang tak menentu.

Anak bisa saja tiba-tiba merasa sedih lalu senang, percaya diri, tapi kemudian tiba-tiba kehilangan rasa percaya diri.

“Oleh sebab itu menjadi suatu yang berat ketika anak/remaja usia 12 tahun yang masih memiliki egosentris ini harus mengurus manusia baru yaitu anaknya dengan berbagai tantangan baik kesehatan maupun perkembangannya.”

“Alangkah baiknya bila mendapat bantuan pengasuhan dari orangtua korban atau orangtua alternatif atau lembaga sosial yang concern di bidang perlindungan anak berdasarkan penunjukan pemerintah dan dilakukan secara bertanggung jawab,” kata Iva.

Infografis 1 dari 4 Perempuan Mengalami Kekerasan Fisik atau Seksual. (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis 1 dari 4 Perempuan Mengalami Kekerasan Fisik atau Seksual. (Liputan6.com/Trieyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya