Liputan6.com, Kinshasa - Ratusan perempuan diperkosa dan dibakar hidup-hidup selama kekacauan setelah kelompok pemberontak yang disebut didukung Rwanda memasuki Kota Goma di Republik Demokratik Kongo (RDC) pekan lalu.
"Para narapidana perempuan diserang di sayap penjara Munzenze di Goma selama pelarian massal," ungkap seorang pejabat senior PBB seperti dikutip dari The Guardian, Kamis (6/2/2025).
Wakil kepala pasukan penjaga perdamaian PBB MONUSCO yang berbasis di Goma Vivian van de Perre menjelaskan lebih lanjut bahwa meskipun beberapa ribu pria berhasil melarikan diri dari penjara, sayap penjara yang diperuntukkan bagi perempuan justru dibakar.
Advertisement
Gambar yang diambil segera setelah pemberontak M23 mencapai pusat Goma menunjukkan asap hitam tebal membubung dari penjara pada pagi hari tanggal 27 Januari.
Meskipun rincian insiden tersebut terbatas, kekejaman ini diyakini merupakan yang terburuk dari konflik yang dipimpin M23 baru-baru ini di timur Republik Demokratik Kongo. Namun, pasukan penjaga perdamaian PBB tidak dapat mengunjungi penjara untuk menyelidiki lebih lanjut karena pembatasan yang diberlakukan oleh pemberontak M23, yang berarti identitas para pelaku masih belum jelas.
Pada Selasa (4/2), terungkap bahwa sekitar 2.000 jasad masih menunggu penguburan di Goma setelah pasukan M23 merebut kota yang merupakan ibu kota Provinsi Kivu Utara itu pada 27 Januari.
Van de Perre, yang kini berbasis di Goma dengan ribuan tentara penjaga perdamaian PBB yang dikerahkan untuk melindungi warga sipil, mengatakan, "Ada pelarian besar-besaran dari penjara dengan 4.000 narapidana yang melarikan diri. Beberapa ratus wanita juga berada di penjara itu."
"Mereka semua diperkosa lalu mereka membakar sayap tempat narapidana perempuan. Mereka semua meninggal setelahnya."
Dugaan Keterlibatan Rwanda
Minggu ini, kantor komisaris tinggi PBB untuk hak asasi manusia (OHCHR) memperingatkan bahwa kekerasan seksual digunakan sebagai senjata perang oleh kelompok-kelompok bersenjata yang saling bersaing di Goma.
Kota yang dihuni oleh lebih dari satu juta orang ini kini sepenuhnya berada di bawah kendali pasukan M23. Namun, dalam perkembangan yang tak terduga, pada Senin (3/2)malam, M23Â mengumumkan gencatan senjata sepihak.
Sebelumnya, dilaporkan kekhawatiran meningkat bahwa Rwanda bertekad merebut lebih banyak wilayah dari tetangganya yang luas, di mana pasukan M23 bergerak menuju selatan ke Bukavu, ibu kota Provinsi Kivu Selatan yang berjarak 190 km dari Goma.
Namun, pernyataan dari koalisi politik-militer yang disebut Aliansi Fleuve Congo (Aliansi Sungai Kongo) – yang merupakan anggota M23 – mengumumkan mereka tidak berniat untuk menguasai Bukavu atau daerah-daerah lainnya.
Menanggapi berita tentang gencatan senjata yang tidak terduga tersebut, Van de Perre menyebutkan, "Saya berharap tetap seperti itu karena mereka (M23) sudah bergerak ke arah Bukavu dengan bala bantuan dan senjata berat, yang bisa terlihat melewati jalan-jalan di Goma."
"Jika mereka mundur, itu adalah kabar baik. Jika tidak, kita akan menghadapi bentrokan baru dengan potensi ribuan kematian tambahan."
Dia mengatakan M23 mungkin sedang mempertimbangkan kembali langkah-langkah mereka setelah bala bantuan dari Burundi tiba di Bukavu dan bandara terdekat digunakan oleh Angkatan Udara Republik Demokratik Kongo.
"Burundi telah mengirimkan 2.000 pasukan tambahan ke Bukavu dan mereka adalah pejuang yang sangat baik. Saya pikir M23 saat ini sedang memikirkan kembali langkah-langkah mereka," ungkap Van de Perre.
Meskipun ada bukti yang bertentangan, Rwanda membantah mereka mendukung M23 atau bahwa pasukan mereka telah melintasi perbatasan ke Kongo timur.
Namun, Van de Perre mengaku rekan-rekannya telah melihat tentara Rwanda selama patroli.
Van de Perre mendesak Dewan Keamanan PBB untuk memberikan tekanan lebih kepada Rwanda.
"Kita benar-benar perlu kembali ke meja perundingan. Dan itu hanya bisa terjadi jika anggota-anggota dewan keamanan dan negara-negara penting lainnya memberikan tekanan yang cukup kepada Rwanda dan Kongo," ungkap Van de Perre.
Sebelumnya, seorang pejabat senior PBB lainnya berspekulasi bahwa tetangga Republik Demokratik Kongo itu ingin mencaplok sebagian wilayah Republik Demokratik Kongo yang lebih besar dari Rwanda sendiri.
"Ini adalah kebijakan jangka panjang untuk membawa wilayah Kivu yang lebih luas ke dalam pengaruh Rwanda dan, nantinya, di bawah kendali administratif sepenuhnya," kata pejabat senior PBB itu.
Berbicara sebelum gencatan senjata diumumkan pada Senin malam, Van de Perre menuturkan dia khawatir dengan laporan bahwa kelompok-kelompok sedang mempersiapkan serangan balik.
"Kami sudah menerima laporan bahwa di beberapa tempat orang-orang sedang berkumpul dan mengorganisir," ujarnya.
Van de Perre mengatakan dia sedang dalam dialog terus-menerus dengan M23 dan bahwa kondisi kemanusiaan di kota itu sangat buruk.
'Menyebrang kota sangat sulit," katanya. "Mereka (M23) memungkinkan kami untuk membawa makanan dan air ke pangkalan kami, tetapi selain itu kami hampir tidak bisa bergerak."
Advertisement