Liputan6.com, Jakarta - Kasus campak di Indonesia meningkat di 2022 dibandingkan 2021. Pada 2022 terkonfirmasi ada 3.341 kasus campak, setahun sebelumnya 'hanya' 132. Â
"Ada 3.341 kasus di tahun 2022 di laporkan di 223 kab kota dari 31 provinsi," kata Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik, Siti Nadia Tarmizi lewat pesan teks pada Rabu, 18 Januari 2023.
Baca Juga
Saat terjadi peningkatan kasus campak di waktu yang sama COVID-19 juga masih ada. Campak maupun COVID-19 merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus. Campak disebabkan oleh virus campak sementara COVID-19 disebabkan oleh SARS-CoV-2 yang salah satu variannya adalah Omicron.
Advertisement
Berbicara penularan, Ketua Unit Kerja Koordinasi Penyakit Infeksi Tropik Ikatan Dokter Anak Indonesia, Anggraini Alam mengatakan bahwa virus campak lebih mudah menular dibanding Omicron.
"Campak punya angka RO (reproduction number) di angka 18 sementara Omicron di atas 10 memang," kata dokter yang karib disapa Anggi ini.
Ini artinya adalah campak merupakan penyakit dengan angka reproduksi 18 di masyarakat tanpa kekebalan. Angka itu bisa menyebabkan penularan yang tinggi bila ada kasus.
"Jangan sampai ada yang mengalahkan, masih campak yang penularan bukan main. Namun kalau diberikan imunisasi dengan cakupan tinggi penyakit ini bisa dieliminasi," lanjut Anggi.
Campak disebut sangat menular lantaran penularan via udara. Saat seseorang campak bernapas saja sudah mengeluarkan virus, apalagi saat batuk, makin jauh virus penyebab campak menular.
"Bahkan, penularan campak bisa terjadi empat hari sebelum muncul ruam di tubuh pasien," kata Anggi lagi.
Sementara itu, COVID-19 menular lewat droplet atau percikan air liur yang mengandung virus SARS-CoV-2.
Keparahan Campak vs COVID-19
Banyak yang menganggap enteng campak, padahal penyakit ini bila menyerang orang yang belum divaksinasi bisa fatal.
"Bisa sebabkan kecacatan akibat kebutaan, diare hebat," kata Anggi.
Komplikasi lain dari campak pada anak yang tidak divaksinasi adalah infeksi telinga yang dapat menyebabkan gangguan pendengaran, serta diare (1 dari 10 anak).
Beberapa dapat mengalami komplikasi berat berupa pneumonia (1 dari 20 anak) yang merupakan penyebab kematian tersering pada campak, dan ensefalitis (1 dari 1000 anak) yang dapat berakhir dengan kematian.
Setiap 1000 anak yang menderita campak, 1 atau 2 di antaranya meninggal dunia seperti mengutip laman IDAI.
Sementara itu, pada COVID-19 varian Omicron disebutkan tingkat keparahan tidak separah varian terdahulu. Namun, tetap ada risiko seseorang mengalami long COVID-19. Pada orangtua dengan komorbid bila terkena COVID-19 bisa meninggal terlebih bila tidak mendapatkan vaksinasi lengkap dan booster.Â
"Jadi, lebih berat mana? Orang (kedokteran bidang) infeksi akan mengatakan berat campak (daripada COVID-19 Omicron)," tutur Anggi.
Advertisement
Gejala Campak
Demam dan ruam adalah gejala yang muncul jadi penanda awal suspek campak. Berikut gejala saat seseorang terkena campak:
1. Demam dengan suhu badan biasanya lebih dari 38 derajat Celsius selama 3 hari atau lebih dan akan berakhir setelah 4-7 hari. Demam tinggi terjadi setelah 10-12 hari setelah tertular. Terdapat pula batuk, pilek, mata merah atau mata berair (3C: cough, coryza, conjunctivitis).
2. Tanda khas (patognomonis) ditemukan Koplik's spot atau bercak putih keabuan dengan dasar merah di pipi bagian dalam.
3. Gejala pada tubuh berbentuk ruam makulopapular. Ruam muncul pada muka dan leher, dimulai dari belakang telinga, kemudian menyebar ke seluruh tubuh.
Ruam bertahan selama 3 hari atau lebih pada kisaran hari ke-4 sampai ke-7 demam. Ruam muncul saat demam mencapai puncaknya.
Ruam berakhir dalam 5 sampai 6 hari, dan menjadi berwarna seperti tembaga atau kehitaman.Anggi mengingatkan bila anak memperlihatkan gejala demam dan ruam sebaiknya segera dibawa ke puskesmas atau fasilitas kesehatan lain.
"Jadi, kalau ada demam dan ruam segera ke fasyankes. Nakes bisa memilah untuk bisa mengikuti rekomendasi dari IDAI. Lalu petugas bisa melaporkan. Ini penting supaya enggak jadi wabah," kata Anggi.