Tuberkulosis Ditemukan Tahun 1882, Kenapa Sih Kasus TBC Masih Ada hingga Kini?

Kasus tuberkulosis atau TBC pertama kali ditemukan pada 1882 oleh Robert Koch, dan kasusnya masih terus ditemukan hingga kini.

oleh Diviya Agatha diperbarui 25 Mar 2023, 15:00 WIB
Diterbitkan 25 Mar 2023, 15:00 WIB
Kasus TBC pertama kali ditemukan pada 1882 oleh Robert Koch, dan kasusnya masih terus ditemukan hingga kini.
Kasus tuberkulosis atau TBC pertama kali ditemukan pada 1882 oleh Robert Koch, dan kasusnya masih terus ditemukan hingga kini. | Foto oleh Anna Shvets dari Pexels

Liputan6.com, Jakarta Pada tahun 1882, kasus tuberkulosis (TBC) pertama kali ditemukan di dunia oleh Robert Koch. Setelah lebih dari 140 tahun berlalu, kasus TBC masih terus ditemukan termasuk di Indonesia.

Bahkan, menurut data Global Tuberculosis Report 2022, Indonesia berada di peringkat kedua sebagai negara penyumbang kasus TBC tertinggi di dunia. Lantas, mengapa kasus TBC masih terus ada hingga kini?

Anggota Kelompok Kerja Infeksi Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), dr Tutik Kusmiati, SpP(K) mengungkapkan bahwa penyebaran tuberkulosis terjadi dengan cepat karena memang infeksinya dapat dengan mudah terjadi.

"Penyebarannya sangat-sangat mudah. Pasien BTA yang positif bisa menginfeksi sepuluh sampai 15 orang sekitarnya," ujar Tutik dalam konferensi pers PDPI bertajuk Hari Tuberkulosis Sedunia secara daring, Jumat (24/3/2023).

"Diantara mereka, 5-10 persen akan berkembang menjadi TB yang aktif. Kemudian 90-95 persennya akan berkembang menjadi TB Laten, hanya terinfeksi tapi tidak sakit atau belum sakit," tambahnya.

Penularan TBC Layaknya Lingkaran Setan

Tutik menjelaskan, pasien TB aktif akan berkembang menjadi pasien TB positif dan menjadi sumber penularan baru. Bahkan Tutik menyebut penularan tersebut layaknya lingkaran setan yang terus berputar.

"Dari mereka yang TBC aktif ini akan berkembang menjadi sakit TB dan ini menjadi sumber penularan baru, dan akan terjadi siklus yang sama seperti tadi. Seperti lingkaran setan," kata Tutik.

Kemungkinan TB untuk berkembang dari laten menjadi aktif sendiri bergantung pada imunitas masing-masing orang. Itulah mengapa pasien TBC sangat diimbau untuk mengobatinya agar tak terus menularkan.

Apa Sih Bedanya TBC Laten dan TBC Aktif?

Perbedaan TBC Laten dan TBC Aktif, Salah Satunya Ada pada Gejala
Perbedaan TBC Laten dan TBC Aktif, Salah Satunya Ada pada Gejala | Doc: Istimewa

Lebih lanjut Tutik pun menjelaskan soal perbedaan antara TBC laten dan TBC aktif. Perbedaan paling jelas diantara keduanya tentu ada pada gejala, dimana pada TBC laten pasien tidak mengalami gejala.

"Kalau kita lihat, TBC laten itu tidak ada gejala. Jadi seperti orang sehat. Berbeda dengan TBC aktif yang ada gejala seperti batuk, demam, dan lain-lain. Tapi pada TBC laten dan aktif sama-sama menunjukkan uji tuberkulin atau IGRA positif," ujar Tutik.

TBC Laten

  • Foto toraks menunjukkan normal
  • Hasil pemeriksaan mikrobiologi negatif (BTA, kultur, dan TCM)
  • Tidak dapat menularkan
  • Perlu terapi pencegahan untuk kondisi tertentu

TBC Aktif

  • Foto toraks abnormal. Tetapi bisa berubah jadi normal pada orang imunokompromis atau TBC ekstraparu
  • Hasil pemeriksaan mikrobiologi dapat positif atau negatif, termasuk pada kasus TBC ekstraparu
  • Dapat menularkan kuman TBC ke orang lain
  • Perlu pengobatan sesuai standar terapi TBC

Risiko Penularan TBC pada Orang Terdekat

Risiko Penularan TBC pada Orang Terdekat, Bisa Melalui Percikan Air Liur
Risiko Penularan TBC pada Orang Terdekat, Bisa Melalui Percikan Air Liur | Doc: Istimewa

Seperti diketahui, penyakit TBC yang tidak disembuhkan dapat berisiko menular, terutama pada orang-orang terdekat. Apalagi selama pandemi COVID-19, pasien TBC sempat mengalami peningkatan di Indonesia.

Untuk itu menurut Tutik, penting mengingat bahwa TBC yang dialami pasien tidak hanya berdampak pada diri pasien sendiri, melainkan dapat menular ke orang lain.

"Jangan lupa pada saat edukasi (terkait TBC) tidak hanya untuk kepentingan si pasien saja, bahwa pengobatan ini diperlukan untuk menjaga kesehatan dari keluarga intinya," kata Tutik.

"Jadi kalau bapak ibu sayang kepada anak, istri, cucu, neneknya, maka harus mau diobati karena kalau tidak mau diobati nanti mereka otomatis bisa tertular," tambahnya.

Tantangan Mengobati Pasien TBC

Tantangan dalam Mengobati Pasien TBC di Indonesia
Tantangan dalam Mengobati Pasien TBC di Indonesia. Foto diambil saat kegiatan screening TB gratis di Kota Medan.

Tutik mengungkapkan bahwa yang kerap menjadi tantangan dalam mengobati pasien TBC sendiri adalah penanganannya tidak bisa hanya mengandalkan dokter dan perawat. Artinya, dibutuhkan dukungan dari pihak lagi termasuk mantan pasien.

"Tantangan yang besar buat kita. Ini menunjukkan bahwa dokter perawat tidak bisa berdiri sendiri. Jadi butuh dukungan dari masyarakat, dan yang paling penting dari pengalaman saya, pengalaman kami semua, peran dari mantan pasien itu sangat penting," kata Tutik.

Tutik menjelaskan, banyak pasien TBC yang justru lebih nurut ketika diberitahu oleh mantan pasien ketimbang dokter atau perawat. Pasalnya, mereka menilai mantan pasien sudah pernah mengalami lebih dulu sehingga bisa jadi lebih akurat.

"Jadi banyak mereka yang nurut kalau dibilangin sama mantan pasien, dibandingkan sama dokternya. Mereka percaya kalau mantan pasien yang bilang, karena mantan pasien pernah mengalami," ujar Tutik.

infografis Kebiasaan Saat Puasa Ramadan di Indonesia
Kebiasaan Saat Puasa Ramadan di Indonesia (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya