Liputan6.com, Jakarta Bulan lalu, warganet global dihebohkan dengan kabar hubungan romansa antara musisi Taylor Swift dan vokalis The 1975, Matty Healy. Berita ini membuat banyak orang heran, terutama penggemar Taylor Swift yang disebut Swifties.
Bagaimana tidak? Sang pelantun "Daylight" disebut berpacaran dengan Matty setelah belum lama dikabarkan putus dari Joe Alwyn, kekasih Taylor selama 6 tahun.
Baca Juga
Chloe Grace Moretz Konfirmasi Rumor Pertunangannya dengan Kate Harrison, Bikin Penggemar Syok
Kumpulan Foto Hoaks Sepekan: Jokowi Jadi Ketum Golkar hingga Taylor Swift Makan Es Krim di Depan Anak Kelaparan
Taylor Swift Pakai Gaun Kristal Mini Senilai Rp70 Jutaan di Pesta Ulang Tahun ke-35, Cincinnya Bikin Penasaran
Namun, baru sebulan jadi perbincangan hangat, pada 5 Juni 2023 lalu Taylor dikabarkan putus dengan Matty, seperti melansir TMZ.
Advertisement
Kabar itu disebut pertama kali dibeberkan oleh salah seorang sumber dekat wanita kelahiran 1989 itu.
"Taylor dan Matty putus. Mereka berdua sangat sibuk dan menyadari bahwa mereka tidak cocok satu sama lain,” ujar sang sumber.
Para penggemar tampak tak kaget, sebab sedari awal banyak yang berasumsi bahwa hubungan Taylor dan Matty merupakan rebound relationship. Lantas, apa itu rebound relationship?
Menurut seorang pekerja sosial klinis berlisensi di layanan kesehatan mental Humantold di Amerika Serikat (AS), Micaela Stein, rebound relationship adalah hubungan yang dijalankan sebagai reaksi terhadap hubungan sebelumnya.
Biasanya, salah satu atau kedua pasangan mantan kekasih masih bersaing. Salah satu cara “persaingan” ini dilakukan ialah dengan menemukan kekasih baru terlebih dahulu.
“Rebound relationship biasanya berlangsung singkat dan dapat membingungkan secara emosional. Sebab, salah satu atau keduanya tidak yakin dengan apa yang mereka inginkan dan masih sangat terlibat secara emosional dengan masa lalu,” kata Stein kepada Very Well Mind.
Sekilas, hubungan ini tampaknya hanya sarana bersenang-senang. Namun, rebound relationship ternyata dapat berdampak buruk untuk kesehatan mental, baik untuk salah satu maupun kedua orang yang terlibat.
Dampak Rebound Relationship untuk Diri Sendiri
Jika seseorang sadar sedang menjalankan rebound relationship, Stein menyarankan, penting untuk melakukan refleksi diri.
“Lakukan pengecekan terhadap diri sendiri untuk memastikan tidak ada masalah emosional yang sedang Anda hindari,” tuturnya.
Sebab, hubungan ini bisa bersifat destruktif, sekalipun dapat berguna untuk memulai hubungan baru.
Terutama, mengutip Stein, tak jarang orang menjalani rebound relationship untuk menghindari emosi yang negatif dari patah hati sebelumnya. Hal ini termasuk menghindari perasaan kesepian dan harus menjadi mandiri lagi.
Seiring berjalannya waktu, rebound relationship dapat membuat perasaan dan energi emosional terkuras. Sebab, ada perasaan negatif dari masa lalu yang dipendam dan tak terselesaikan.
Advertisement
Dampak Rebound Relationship untuk Pasangan
Sebenarnya, rebound relationship bisa sehat dengan satu syarat: hubungan itu disadari, diinginkan, dan/atau dibutuhkan kedua belah pihak.
Namun, jika pasangan tidak memiliki perasaan yang sama mengenai hubungan yang dijalankan, tentu dapat berdampak buruk bagi sang pasangan.
Misalnya, saat seseorang berniat menjalankan rebound relationship semata, tetapi sang pasangan berniat untuk ke jenjang yang lebih serius.
“Ketika berhubungan dengan Anda yang tak siap, pasangan dapat merasa ditolak, tak dilihat, dan bingung. Hal ini juga dapat menyebabkan perasaan insecure (tidak aman) terhadap dirinya sendiri,” Stein menerangkan.
Apakah Rebound Relationship Bisa Langgeng?
Menurut Stein, rebound relationship biasanya hanya berlangsung maksimal sampai satu tahun. “Hubungan ini biasanya tidak berlandaskan kecocokan, jadi perbedaan kerap kali merusak koneksi dalam hubungan."
Kendati demikian, Stein mengungkap bahwa rebound relationship bisa langgeng, bahkan sangat mungkin berlanjut menjadi hubungan serius menuju pernikahan.
“Dalam beberapa kasus, hubungan ini berkembang menjadi serius dan melewati fase rebound,” ia menjelaskan.
“Akhirnya, hubungan ini seperti hubungan yang sehat lainnya, didasarkan pada rasa saling menghormati, kepercayaan, dukungan untuk pertumbuhan satu sama lain, dan kasih sayang,” pungkas Stein.
Advertisement