Fitofarmaka Belum Ditanggung BPJS Kesehatan, Dirut Ali Ghufron Mukti Ungkap Alasannya

Menurut Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Ali Ghufron Mukti, fitofarmaka termasuk obat herbal, untuk masuk program nasional maka perlu dilakukan health technology assessment (HTA).

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 06 Mar 2024, 18:52 WIB
Diterbitkan 06 Mar 2024, 18:52 WIB
Dirut BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti
Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Ali Ghufron Mukti dalam 17th International Conference on Information and Communication Technology in Social Security (ICT) di Bali, Rabu (6/3/2024). (Foto: LIputan6.com/Ade Nasihudin)

Liputan6.com, Denpasar - Fitofarmaka atau obat tradisional yang menggunakan bahan alam dan sudah memiliki bukti ilmiah belum tercakup dalam pendanaan BPJS Kesehatan.

Menurut Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Ali Ghufron Mukti, fitofarmaka termasuk obat herbal, untuk masuk program nasional maka perlu dilakukan health technology assessment (HTA).

“Ini bukan BPJS Kesehatan yang menentukan. Ini perlu dilakukan HTA, dinilai dulu benar enggak (khasiatnya),” kata Ali dalam 17th International Conference on Information and Communication Technology in Social Security (ICT) di Bali, Rabu (6/3/2024).

Dia memberi contoh, daun pepaya mentah yang dijus kemudian diminum untuk mengatasi dengue level empat atau berat. Hasilnya, dengue yang diderita sembuh dan cara ini dijadikan tulisan. Namun, langkah ini saja tidak cukup untuk menjadikan fitofarmaka tersebut sebagai salah satu obat yang di-cover BPJS.

Ali Ghufron mengatakan, ada proses yang harus dilalui terlebih dahulu agar fitofarmaka bisa masuk dalam formularium. 

“Fitofarmaka itu harus melalui proses HTA dulu untuk dia bisa masuk ke formularium. Tapi tidak mudah untuk membuktikan fitofarmaka (efektif atau tidak) karena di BPJS itu tidak cukup hanya efektif.”

“Harus efektif dan cost effective, lebih efisien. Tidak harus lebih murah, tapi cost effective tuh walaupun mahal jika dampaknya lebih bagus ya oke.”

Hal ini menjadi salah satu pertimbangan mengapa fitofarmaka belum dicover BPJS Kesehatan.

 

 

Jaga Kesehatan dengan Hal Sederhana

Alih-alih mendorong masyarakat untuk menggunakan fitofarmaka, Ali Ghufron lebih menyarankan masyarakat untuk menjalankan gaya hidup sehat.

“Untuk sehat itu yang paling sederhana kurangi garam, kurangi gula, kurangi nasi putih, olahraga, istirahat cukup.”

“Lima ini kalau diterapkan, BPJS (Kesehatan) enggak banyak ngeluarin duit karena orang-orang pada sehat.” BPJS Kesehatan

 

Mulai Dilirik Dunia

Dalam kesempatan yang sama, Ali mengatakan bahwa BPJS Kesehatan kini mulai dilirik oleh dunia.

Pada beberapa kesempatan, BPJS Kesehatan dijadikan rujukan karena dinilai baik dalam pelayanannya terutama setelah mengembangkan Information and Communication Technology (ICT).

ICT atau teknologi informasi dan komunikasi membuat layanan BPJS Kesehatan lebih mudah diakses oleh masyarakat Indonesia.

Kinerja BPJS Kesehatan dinilai cukup baik, meski Indonesia terdiri dari 17 ribu pulau tapi penggunaannya dapat membantu masyarakat.

“BPJS Kesehatan itu hampir enggak ada yang mengalahkan dari sisi data yang besar, terintegrasi, real time, kita bisa monitor perilaku fasilitas kesehatan, rumah sakit, hingga klinik seluruh Indonesia,” kata Ali.

Dia menambahkan, banyak negara lain tidak memiliki 3.000 rumah sakit. Sementara, Indonesia memiliki lebih dari 3.000 rumah sakit yang termonitor. Melihat kemampuan ini, kini Indonesia dinilai memiliki jaminan kesehatan yang maju.

Awal Mula Curi Perhatian Dunia

Ali berkisah, awal mula dunia mulai memberi perhatian pada BPJS Kesehatan adalah ketika badan tersebut mulai melakukan perubahan. Diketahui, sejak berdiri, badan ini selalu defisit.

“Jangankan orang luar negeri, orang dalam negeri saja, teman saya para dokter melihat BPJS (Kesehatan) itu bikin kecewa karena bayarannya kurang, diutang, dan macam-macam,” kenang Dirut BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti saat menjawab pertanyaan Health Liputan6.com.

Melihat situasi yang tak baik, BPJS Kesehatan akhirnya berupaya membalik keadaan. Mengubah situasi yang awalnya defisit menjadi positif.

“Bagaimana yang jelek jadi baik, bagaimana yang prosedurnya susah jadi mudah. Maka transformasi mutu cepat (dilakukan).”

Transformasi dilakukan dengan pengembangan ICT, salah satunya untuk mengatasi antrean yang terlampau lama hingga enam jam. Dengan ICT, antrean dibuat daring atau antrean online. Hal ini cukup memangkas waktu tunggu dari enam jam menjadi 2,5 jam, bahkan ada yang 30 menit.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya