Keutamaan Lailatul Qadar dan Kadar Minimal Menghidupkannya Menurut Beberapa Tokoh Islam

Allah berfirman dalam surat Al-Qadar bahwa lailatul qadar lebih utama daripada 1000 bulan.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 02 Apr 2024, 11:00 WIB
Diterbitkan 02 Apr 2024, 11:00 WIB
Keutamaan Lailatul Qadar dan Kadar Minimal Menghidupkannya Menurut Beberapa Tokoh Islam
Keutamaan Lailatul Qadar dan Kadar Minimal Menghidupkannya Menurut Beberapa Tokoh Islam . (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Lailatul qadar adalah malam istimewa yang hanya ada di bulan Ramadhan. Bahkan, keistimewaan malam ini telah disebut oleh Allah dalam Al-Quran.

Allah berfirman dalam surat Al-Qadar bahwa lailatul qadar lebih utama daripada 1000 bulan. Dalam arti, ibadah di malam itu mempunyai nilai tambah berupa kemuliaan dan pahala yang lebih baik dari ibadah 1000 bulan.  

Dalam hadits shahih riwayat Imam Al-Bukhari disebutkan keutamaan menghidupkan malam lailatul qadar adalah akan dihapuskan dosa-dosa yang telah dikerjakan. 

 وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ القَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Artinya:

"Dan barangsiapa menghidupkan malam lailatul qadar karena iman kepada Allah dan mengharapkan pahala-Nya maka akan diampuni dosa-dosa yang telah dikerjakannya." (HR Al-Bukhari).

Dosen Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo, Ustaz Muhamad Hanif Rahman mengatakan bahwa lailatul qadar secara hakikatnya tidak ada yang mengetahui kecuali Allah atau orang-orang yang Allah kehendaki.

“Sehingga, yang dimaksud dengan malam lailatul qadar di sini adalah malam-malam gasal pada 10 terakhir bulan Ramadhan sebagaimana telah diketahui,” kata Hanif mengutip NU Online, Selasa (2/4/2024).

Menghidupkan Malam Lailatul Qadar 

Ubaidillah Ar-Rahmani Al-Mubarakfuri (wafat 1994) dalam kitabnya, Mir'atul Mafatih, menjelaskan frasa 'man qama lailatalqadar' maksudnya menghidupkan malam lailatul qadar baik ia mengetahui malam tersebut ataupun tidak.  

Ada yang berpendapat bahwa melakukan shalat isya berjamaah sudah terhitung sebagai bentuk menghidupkan malam lailatul qadar.

Kadar Menghidupkan Lailatul Qadar Masih Diperselisihkan Ulama

Namun, ada lahiriah hadits sebagaimana disampaikan oleh Al-Karmani. Hadis ini menunjukkan bahwa orang tidak dikatakan telah menghidupkan malam kecuali telah menghidupkan seluruh malam atau sebagian besarnya. (Ubaidillah Ar-Rahmani Al-Mubarakfuri, Mir'atul Mafatih Syarh Misykatul Mashabih, [Banaras India, Idaratul Buhuts Al-Ilmiyah: 1984], juz VI, halaman 405).  

Dengan demikian, kadar menghidupkan malam lailatul qadar sehingga seseorang berhak mendapatkan keutamaannya sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas sebenarnya masih diperselisihkan ulama.

Melihat lahiriah hadits, untuk mendapatkan keutamaan lailatul qadar, seseorang harus menghidupkan seluruh malamnya atau sebagian besar waktu malamnya. Di sisi lain, ada pendapat yang mengatakan hanya cukup dengan mengerjakan shalat isya secara berjamaah.

Kadar Minimal Menghidupkan Lailatul Qadar

Sayyid Abdullah Al-Ghumari dalam kitab Ghayatul Ihsan banyak menyebutkan riwayat tentang kadar minimal seorang dianggap telah menghidupkan malam lailatul qadar sebagai berikut:  

Imam Malik

Disampaikan oleh Imam Malik dalam kitabnya, Al-Muwatha', telah sampai kepada beliau bahwa Sa'id bin Musayyib berkata: 

 مَنْ شَهِدَ الْعِشَاءَ مِنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ-يعني في جماعة-  فَقَدْ أَخَذَ بِحَظِّهِ مِنْهَا  

Artinya:

"Barang siapa mengerjakan shalat Isya secara berjamaah pada malam lailatul qadar maka ia telah memperoleh bagiannya dari lailatul qadar."

Imam As-Syafi’i

Imam As-Syafi'i dalam qaul qadim berkata: 

 مَنْ شَهِدَ الْعِشَاءَ والصبح لَيْلَة الْقَدْرِ فَقَدْ أَخَذَ بِحَظِّهِ مِنْهَا  

Artinya:

"Barang siapa mengerjakan shalat Isya dan subuh secara berjamaah pada malam lailatul qadar maka ia telah memperoleh bagiannya dari lailatul qadar."  

Menurut Riwayat Lainnya

Abu Hurairah

Diriwayatkan dari Abu Hurairah dengan kualitas hadits mar'fu: 

 من صلى العشاء الآخرة جماعة في رمضان فقد ادرك ليلة القدر  

Artinya:

"Barang siapa shalat Isya yang akhir (shalat isya) dengan jamaah di bulan Ramadhan maka ia telah memperoleh lailatul qadar."  

Ibnu Abid Dunya

Kemudian dia menyebutkan hadits mursal (dha'if) yang diriwayatkan oleh Ibnu Abid Dunya dari Abi Ja'far Muhammad bin Ali, bahwa Nabi Muhammad saw bersabda: 

 مَنْ أَتَى عَلَيْهِ رَمَضَان صَحِيحًا مُسْلِمًا، صَامَ نَهَارَهُ، وَصَلَّى وِرْدًا مِنْ لَيْلِهِ، وَغَضَّ بَصَرَهُ، وَحَفِظَ فَرْجَهُ وَلِسَانَهُ وَيَدَهُ، وَحَافَظَ عَلَى صَلَاتِهِ مَجْمُوعَةً، وَبَكَّرَ إِلَى جُمَعِهِ، فَقَدْ صَامَ الشَّهْرَ، وَاسْتَكْمَلَ الْأَجْرَ، وَأَدْرَكَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ، وَفَازَ بِجَائِزَةِ الرَّبِّ  

Artinya:

"Barangsiapa menjumpai Ramadhan dalam keadaan sehat dan muslim lalu ia puasa di siang harinya, shalat rutin di sebagian malamnya, menjaga pandangan matanya, menjaga kemaluan, lisan dan tangannya, menjaga shalat berjamaah dan bersegera pergi (pagi-pagi) menuju shalat Jumat, maka ia telah berpuasa sebulan penuh, mendapatkan pahala secara utuh, mendapatkan lailatul qadar, dan berhasil mendapatkan hadiah (piala penghargaan) dari Allah."  (HR Ibnu Abid Dunya). 

Al-Ghumari

Setelah menyebutkan riwayat-riwayat di atas kemudian Al-Ghumari menyimpulkan:  

"Anugerah Allah sangatlah luas sehingga orang yang mengerjakan shalat Isya dan subuh dengan berjamaah sepanjang bulan Ramadhan, maka harapannya ia tidak terhalang mendapatkan lailatul qadar." (Abdullah bin Muhammad bin As-Shiddiq Al-Ghumari, Ghayatul Ihsan fi Fadhli Zakatil Fitri wa Fadhli Ramadhan, [Beirut, Alamul Kutub: 1985], halaman 58).  

infografis journal
infografis Kebiasaan Saat Puasa Ramadan di Indonesia. (Liputan6.com/Abdillah).
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya