Liputan6.com, Jakarta - Sebagian pemilik warung makan atau restoran tetap buka dan menjual makanan di siang hari selama Ramadhan. Biasanya, warung atau tempat makan ditutup dengan tirai untuk menghargai orang-orang yang sedang menjalankan ibadah puasa.
Timbul tanya, bagaimana hukum membuka warung makan di siang hari selama Ramadhan bagi pemilik warung?
Baca Juga
Menanggapi hal ini, Pengasuh Pesantren Fathul Ulum Wonodadi Blitar, Ustaz Muhammad Zainul Millah mengatakan bahwa usaha mencari harta halal perlu diapresiasi.
Advertisement
“Mencari harta halal merupakan kewajiban tiap Muslim, dan Allah mencintai hamba yang mau bekerja,” kata Zainul mengutip NU Online, Rabu (3/4/2024).
Dalam satu hadits marfu’ riwayat Ibnu Abbas disebutkan:
طَلَبُ الْحَلَالِ جِهَادٌ وَإِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ الْمُؤْمِنَ الْمُحْتَرِفَ
Artinya:
“Mencari rezeki yang halal adalah jihad, dan Allah menyukai hamba yang beriman yang bekerja.” (HR Al-Hakim At-Tirmidzi, At-Thabarani, dan Al-Baihaqi).
Adapun hukum menjual makanan pada siang bulan Ramadhan, pada dasarnya adalah diperbolehkan.
“Namun jika diduga kuat, atau bahkan diyakini akan digunakan maksiat, seperti akan dimakan oleh orang yang wajib puasa di siang Ramadhan, maka hukum menjualnya menjadi haram,” jelas Zainul.
Dia menambahkan, jual beli merupakan akad atau transaksi yang dihalalkan dalam syariat Islam, selama memenuhi syarat-syaratnya. Di antaranya adalah barang yang dijual harus barang yang bermanfaat yang dilegalkan dalam Islam. Termasuk menjual nasi yang ada di warung-warung makan.
Hukum Jual Belinya Bisa Halal, Makruh, atau Haram
Dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 275 dijelaskan, Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Meskipun hukum jual beli telah dihalalkan syariat, tapi jika berpotensi disalahgunakan untuk melakukan kemaksiatan, maka hukumnya dapat berubah.
Jika sebatas adanya kekhawatiran akan digunakan maksiat, maka hukum jual belinya adalah makruh. Sedangkan jika diduga kuat, atau bahkan diyakini akan digunakan maksiat, maka hukum jual belinya menjadi haram.
Salah satu bentuk kemaksiatan adalah tidak melakukan puasa bagi orang yang berkewajiban puasa dan tidak ada uzur atau sebab yang memperbolehkan untuk tidak berpuasa. Seperti wanita haid, nifas, orang yang sakit, atau musafir yang melakukan perjalanan dengan jarak yang diperbolehkan qashar shalat (kurang lebih 81 km).
Advertisement
Rincian Hukum Buka Warung Makan di Siang Ramadhan
Berdasarkan beberapa pertimbangan di atas, maka hukum buka warung makan pada siang hari bulan Ramadhan dirinci sebagai berikut:
Boleh
Boleh, jika dipastikan pembeli tidak menggunakannya untuk maksiat, yaitu ketika pembelinya adalah orang-orang yang tidak berkewajiban puasa. Seperti anak kecil, wanita haid, orang yang sakit, dan musafir.
Atau bisa jadi pembeli adalah orang yang wajib puasa, namun nasi yang dibeli dibungkus dan dibawa pulang, sehingga ada kemungkinan nasi tersebut untuk persiapan berbuka, atau untuk keluarga yang tidak wajib puasa, semisal untuk anaknya.
Makruh
Makruh jika dikhawatirkan akan digunakan maksiat. Seperti ada pembeli yang berkewajiban puasa dan ada kekhawatiran dari penjual bahwa nasi tersebut akan dimakan di siang hari dalam keadaan wajib puasa.
Haram
Haram jika diduga kuat atau bahkan diyakini akan digunakan untuk maksiat. Seperti ketika diketahui pembelinya adalah orang yang wajib puasa dan penjual yakin akan dimakan di siang hari.
Misalnya, penjual mengenal pembeli adalah orang yang berkewajiban puasa, tapi sering tidak puasa.
Menurut Tokoh Islam
Terkait kasus serupa, Syekh Zakariya Al-Anshari menjelaskan dalam kitab Fathul Wahhab:
وَبَيْعِ نَحْوِ رُطَبٍ) كَعِنَبٍ (لِمُتَّخِذِهِ مُسْكِرًا) بِأَنْ يَعْلَمَ مِنْهُ ذَلِكَ أَوْ يَظُنَّهُ فَإِنْ شَكَّ فِيهِ أَوْ تَوَهَّمَهُ مِنْهُ فَالْبَيْعُ لَهُ مَكْرُوهٌ وَإِنَّمَا حُرِّمَ أَوْ كُرِهَ لِأَنَّهُ سَبَبٌ لِمَعْصِيَةٍ مُحَقَّقَةٍ أَوْ مَظْنُونَةٍ أَوْ لِمَعْصِيَةٍ مَشْكُوكٍ فِيهَا أَوْ مُتَوَهَّمَةٍ
Artinya:
“Haram menjual semisal kurma segar, seperti anggur, kepada orang yang menjadikannya sebagai minuman keras, dengan gambaran penjual mengetahui atau menduga kuat akan dijadikan hal tersebut. Tetapi jika dia meragukannya atau hanya mengira-ngira saja, maka jual belinya adalah makruh. Hukum haram atau makruh tersebut dikarenakan penjualan tersebut merupakan sebab dari terjadinya kemaksiatan yang nyata atau yang diduga, atau kemaksiatan yang diragukan atau dikira-kira.” (Abu Yahya Zakariya Al-Anshari, Fathul Wahhab, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2017], juz I, Halaman 286).
Advertisement