Perang di Gaza Akibatkan 10.000 Wanita Tewas, 19 Ribu Anak Menjadi Yatim Piatu

Perang yang berlangsung sejak Oktober 2023 itu menyebabkan 10 ribu wanita meninggal dunia yang mana membuat 19 ribu anak menjadi yatim piatu.

oleh Fariza Noviani Abidin diperbarui 23 Apr 2024, 12:00 WIB
Diterbitkan 23 Apr 2024, 12:00 WIB
Seorang wanita menangis usai serangan di RS Gaza, Selasa 17 Oktober 2023. Dok: AP Photo/Abel Khaled
Seorang wanita menangis usai serangan di RS Gaza, Selasa 17 Oktober 2023. Dok: AP Photo/Abel Khaled

Liputan6.com, Jakarta - Perang antara Israel dan Palestina yang berlangsung sejak Oktober 2023 terus membawa dampak yang sangat besar untuk warga sipil terutama wanita dan anak-anak. 

UN Women, sebuah organisasi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bergerak di bidang kesetaraan gender melaporkan bahwa setelah enam bulan perang di Gaza berlangsung, setidaknya ada 10.000 wanita Gaza yang tewas. Diantaranya diperkiraan terdapat 6.000 yang merupakan seorang ibu, meninggalkan sekitar 19.000 anak menjadi yatim piatu.

UNICEF bahkan menyebut Gaza sebagai "tempat paling berbahaya bagi seorang anak".

Lalu, wanita yang selamat dari serangan pun juga harus berjuang lantaran hal-hal mendasar seperti makan, air bersih, sarana kesehatan pun sulit didapatkan. 

"Wanita yang selamat dari serangan bom menderita kelaparan, penyakit, dan ketakutan yang konstan setiap hari. Perang di Gaza tanpa keraguan merupakan perang terhadap wanita, dengan membayar harga yang sangat mahal untuk perang yang bukanlah buatan mereka," kata Susanne Mikhail, Direktur Regional UN Women untuk Negara-negara Arab dalam sesi media di Jenewa.

Selain itu, UN Women juga menyoroti kekerasan seksual dan kejahatan yang berbasis gender selama perang terjadi. Dilaporkan dari 250 orang, terdapat 65 wanita yang diculik. 

Disamping itu semua, wanita yang tengah hamil dapat dibilang menjadi yang paling merasakan kesusahan dan sakit. Dilansir dari Charity Care, terdapat sekitar 50.000 wanita yang hamil di Gaza dan 40 persen diantaranya mengalami kehamilan dengan risiko tinggi. 

Sedikitnya tenaga kesehatan, infrastruktur kesehatan yang hampir hancur, obat-obatan serta peralatan kebersihan yang tidak memadai membuat proses persalinan juga tidak berjalan seperti yang seharusnya. 

Operasi Caesar tidak jarang dilakukan tanpa anestesi sama sekali, dokter bedah yang melakukannya pun tidak dapat mensterilkan tangan akibat akses air yang kurang.

Kesehatan Ibu dan Bayi yang Memprihatinkan

Anak Anak Pengungsi Palestina di Khan Yunis Jalur Gaza Selatan
Seorang wanita berjalan sambil menggendong bayi di taman bermain di sebuah sekolah yang dikelola oleh Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) yang telah diubah menjadi tempat penampungan bagi para pengungsi Palestina di Khan Yunis di Jalur Gaza selatan pada 25 Oktober 2023. (Mahmud HAMS/AFP)

Setelah terpaksa harus melahirkan dalam situasi dan kondisi yang tidak layak, para ibu di Gaza juga harus mengalami hal yang memprihatinkan saat mengurus bayi mereka yang baru lahir. 

Para ibu tidak dapat mengakses makanan dan air bersih yang cukup untuk menunjang produksi ASI bagi bayi mereka, dan saat susu formula tersedia di perkemahan pengungsi, menemukan air bersih untuk menyeduhnya juga merupakan tantangan harian.

Bahkan pada bulan Desember, bayi berusia sebulan yang lahir di perkemahan pengungsi belum pernah dibasuh dengan air bersih sejak kelahirannya. Begitu banyak aspek kesehatan ibu dan bayi yang dulu menjadi sebuah hal yang mudah, sekarang menjadi masalah antara hidup atau mati.

Kebutuhan Dasar Lainnya yang Juga Tidak Terpenuhi

Perempuan Palestina Penuhi Kebutuhan Popok untuk Bayi dan Anak-Anak
Wanita Palestina menjahit popok di sebuah pabrik di Rafah, selatan Jalur Gaza, pada 18 Februari 2024. (MOHAMMED ABED/AFP)

Lebih dari 1 juta perempuan di Gaza mengalami kelaparan yang mengancam kesehatan. Hampir tidak ada akses makanan, air minum yang memadai, toilet yang berfungsi atau bahkan aliran air.

Padahal akses pada air bersih merupakan hal yang penting untuk ibu hamil dan menyusui untuk menjaga kebersihan sehingga meminimalisasi penyakit. 

Selain itu, perempuan juga tidak memiliki akses pada produk sanitasi saat mereka sedang menstruasi. Disalah satu pengungsian di Rafah,  tidak ada bantuan yang diizinkan masuk, sehingga warga terkurung tanpa produk higienis, dan sanitasi.

Karena kurangnya produk untuk menstruasi, mereka yang mengalami pendarahan pasca persalinan dan dari keguguran, serta wanita dan gadis yang sedang menstruasi, harus menggunakan bagian-bagian kain tenda, pakaian, dan potongan-potongan handuk, meningkatkan risiko infeksi. Hanya ada satu kamar mandi untuk setiap 2.000 orang dan satu toilet untuk setiap 500 orang.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya