Liputan6.com, Jakarta Beberapa orang mulai memilih untuk mendonorkan bagian tubuhnya setelah meninggal dunia. Mulai dari mata hingga ginjal.
Dilihat dari sisi sosial, hal dapat membantu orang lain yang membutuhkan. Namun, bagaimana menurut pandangan Islam?
Baca Juga
Menurut Pengurus Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBM NU) Purworejo, Ustaz Muhamad Hanif Rahman, para ulama memiliki pendapat berbeda terkait hukum menyumbangkan atau mendonorkan (transplantasi) organ tubuh.
Advertisement
Di antaranya adalah fatwa dari Mufti Mesir yang memperbolehkan mengambil bola mata orang yang sudah meninggal untuk mengganti bola mata orang tunanetra.
Fatwa ini ditanggapi oleh Keputusan Muktamar NU ke-23 tahun 1962 di Solo.
مَسْأَلَهُ مَا قَوْلُكُمْ فِي افْتَاءِ مُفْتِي الدِّيَارِ الْمِصْرِيَّةِ بِجَوَازِ أَخْذِ حَدَاقَةِ الْمَيِّتِ لِوَصْلِهَا إِلَى عَيْنٍ الْأَعْمَى هَلْ هُوَ صَحِيحٌ أَوْ لَا قَرَّرَ الْمُؤْتَمَرُ بِأَنَّ ذَلِكَ الْإِفْتَاءَ غَيْرُ صَحِيحٍ، بَلْ يَحْرُمُ أَخْذُ حَدَاقَةِ الْمَيِّتِ وَلَوْ غَيْرَ مُحْتَرَمٍ كَمُرْتَدٌ وَحَرْبِي وَيَحْرُمُ وَصْلُهُ بِأَجْزَاءِ الْأَدَيِّ لِأَنَّ ضَرَرَ الْعَمَى لا يَزِيدُ عَلَى مَفْسَدَةِ انْتِهَاكِ حُرُمَاتِ الْمَيِّتِ كَمَا فِي حَاشِيَةِ الرَّشِيدِي عَلَى ابْنِ الْعِمَادِ ص ٢٦
Artinya:
“Permasalahan: Bagaimana pendapat kalian tentang fatwa oleh Mufti Mesir yang memperbolehkan cangkok bola mata mayat untuk dipasangkan ke mata orang buta. Apakah fatwa ini benar apa tidak? Muktamar menetapkan bahwa fatwa itu tidak benar dan bahkan haram mencangkok bola mata mayat meskipun dari orang yang tidak terhormat. Seperti orang murtad dan orang kafir harbi.”
“Haram pencangkokan dengan bagian-bagian tubuh manusia, karena bahaya kebutaan tidak melebihi kerusakan pencemaran kehormatan mayat sebagaimana dijelaskan dalam Hasyiyah Ar-Rasyidi 'ala Ibnil 'Imad halaman 26,” (Ahkamul Fuqaha, Masalah Nomor 315).
Dua Pendapat Berbeda Soal Donor Organ Mayat
Namun, dalam Keputusan Munas Alim Ulama di Kaliurang, Yoyakarta pada 30 Syawal 1401 H/30 Agustus 1981 M, cangkok mata disebutkan hukumnya ada dua pendapat, yakni:
Haram
Haram, walaupun mayit itu tidak terhormat seperti mayitnya orang murtad. Demikian pula haram menyambung anggota manusia dengan anggota manusia lain, bahaya buta itu tidak sampai melebihi bahayanya merusak kehormatan mayit.
Boleh
Boleh, disamakan dengan diperbolehkannya menambal dengan tulang manusia, asalkan memenuhi empat syarat:
- Karena dibutuhkan
- Tidak ditemukan selain dari anggota tubuh manusia
- Mata yang diambil harus dari mayat yang muhaddaraddam (nonmuslim)
- Antara yang diambil dan yang menerima harus ada persamaan agama, (Ahkamul Fuqaha, Masalah Nomor 332).
Advertisement
Referensi Kebolehan Donor Organ Tubuh Mayat
Keterangan kitab atau referensi yang menjadi rujukan atas kebolehannya adalah kitab Hasyiyatur Rasyidi 'ala Fathil Jawad:
قَالَ الْحَلَبِيُّ وَيَبْقَى مَا لَوْ لَمْ يُوجَدُ صَالِحُ غَيْرُهُ فَيَحْتَمِلُ جَوَازُ الْجَبْرِ بِعَظْمِ الْأَدَبِي الْمَيِّتِ كَمَا يَجُوزُ لِلْمُضْطَرِّ أَكُلُ الْمَيْتَةِ وَإِنْ لَمْ يَخْشَ إِلَّا مُبِيحَ التَّيَمُّمِ فَقَدْ وَقَدْ يُفَرَّقُ بِبَقَاءِ الْعَظْمِ هُنَا فَالِامْتِهَانُ دَائِمٌ وَجَزَمَ الْمَدَابِغِيُّ عَلَى الْخَطِيبِ بِالْجَوَازِ وَنَصُّهُ فَإِنْ لَمْ يَصْلُحُ إِلَّا عَظْمُ الْأَدَيِّ قُدِمَ عَظْمُ نَحْو الْحَرْبِيِّ كَالْمُرْتَدِ ثُمَّ الذَّمِّيِّ ثُمَّ الْمُسْلِمِ
Artinya:
“Al-Halabi berkata: ‘Dan masih menyisakan kasus, andaikan tidak ditemukan tulang penambal yang layak selain tulang manusia, maka mungkin saja boleh menambal pasien dengan tulang manusia yang telah mati. Seperti halnya diperbolehkan memakan bangkai bagi seseorang dalam kondisi darurat, meskipun dia hanya khawatir atas uzur yang memperbolehkan tayamum saja.”
“Kasus (menambal dengan tulang manusia) tersebut terkadang dibedakan (dengan kasus memakan bangkai dalam kondisi darurat). Sebab tulang yang digunakan menambal masih wujud, maka penghinaan terhadap mayit (yang diambil tulangnya) terus terjadi.”
Ulama yang Bolehkan Transplantasi Anggota Tubuh dari Orang yang Meninggal
Al-Madabighi dalam catatannya atas karya Al-Khatib mantap atas kebolehan menambal dengan tulang mayit. Redaksinya yaitu:
"Bila tidak ada yang layak kecuali tulang manusia, maka tulang kafir harbi seperti orang murtad harus didahulukan, kemudian tulang kafir dzimmi, dan baru tulang mayit muslim,” (Husain Ar-Rasyidi, Hasyiyatur Rasyidi 'ala Fathil Jawad, (Indonesia, Dar Ihya'il Kutub Al-'Arabiyah, t. th.), halaman 26-27).
Ulama kontemporer berkebangsaan Syiria Syekh Wahbah Az-Zuhaili (w 2015) termasuk ulama yang memperbolehakan trasplantasi anggota tubuh mayit. Ia menegaskan:
يجوز نقل عضو من ميت إلى حي تتوقف حياته على ذلك العضو، أو تتوقف سلامة وظيفة أساسية فيه على ذلك. بشرط أن يأذن الميت أو ورثته بعد موته، أو بشرط موافقة وليّ المسلمين إن كان المتوفى مجهول الهوية أو لا ورثة له
Artinya:
“Diperbolehkan memindahkan organ tubuh orang yang sudah meninggal kepada orang yang masih hidup yang kehidupannya tergantung pada organ tersebut, atau untuk menjaga fungsi penting dalam tubuhnya. Hal itu dengan syarat bahwa orang yang meninggal telah memberikan izin, atau ahli warisnya memberikan izin setelah kematiannya.”
“Jika orang yang meninggal tidak diketahui identitasnya atau tidak memiliki ahli waris, maka harus mendapat persetujuan dari wali muslimin (Penguasa Pemerintah)," (Wahbah bin Musthafa Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, [Damaskus, Darul Fikr: 1418 H], juz VII, halaman 5124).
Advertisement
Islam Sangat Memuliakan Tubuh Mayat
Lebih lanjut Hanif menjelaskan, syariat Islam sangat memuliakan tubuh manusia baik saat hidup maupun setelah meninggal. Dan melarang untuk merendahkan, merusak, atau sembrono dengan tubuh manusia dengan cara apapun.
Salah satu bentuk penghormatan Islam dapat terlihat dalam syariat keharusan memandikan, mengafani, menshalati, dan menguburkan jenazah.
Dalam sejarah, setelah selesai perang, Rasulullah tidak meninggalkan tubuh manusia tergeletak di tanah, baik itu tubuh Muslim maupun Nonmuslim. Dalam Perang Badar, Rasulullah SAW memerintah umat Islam untuk menguburkan kaum Musyrikin, seperti halnya beliau memerintahkan untuk menguburkan para syuhada Muslim.
Nabi bersabda:
كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا
Artinya:
"Mematahkan tulang mayit sama seperti mematahkannya saat hidup," (HR Abu Dawud dengan syarat periwayatan Imam Muslim) seperti mengutip NU Online, Sabtu (3/8/2024).
Dari hadits terlihat jelas bahwa kemuliaan manusia tetap harus dijaga sampai meninggal dunia. Hukuman bagi yang merusak tubuh mayit sama dengan hukuman bagi orang yang merusak tubuh orang yang masih hidup.