Liputan6.com, Jakarta Masyarakat belakangan semakin sering mendengar ada wabah atau virus baru. Salah satu yang teranyar adalah Wetland Virus alias WELV yang ditemukan di China.
Virus ini terdeteksi pada seorang pria usia 61 di China. Ia terinfeksi virus tersebut usai digigit kutu di taman. Para peneliti mengatakan bahwa infeksi WELV dapat berdampak buruk pada otak.
Baca Juga
Timbul tanya, mengapa masyarakat dunia belakangan ini semakin sering mendengar adanya wabah atau virus baru?
Advertisement
Menjawab hal ini, epidemiolog Dicky Budiman menjelaskan beberapa alasan.
“Mengapa kita semakin sering mendengar wabah penyakit baru? Ada beberapa alasan mengapa munculnya penyakit dan wabah baru semakin sering terjadi,” katanya dalam keterangan pers yang diterima Health Liputan6.com dikutip Rabu (9/11/2024).
Beberapa faktor yang memicu situasi ini adalah:
Perubahan Ekologi dan Lingkungan
Deforestasi, urbanisasi, dan perubahan iklim memaksa satwa liar, termasuk hewan yang membawa virus zoonosis, lebih sering berinteraksi dengan manusia.
Kutu dan hewan reservoir penyakit seperti tikus dan hewan ternak menjadi lebih sering berhubungan dengan populasi manusia, meningkatkan kemungkinan penularan virus.
Globalisasi
Mobilitas manusia dan barang yang semakin tinggi menyebabkan penyebaran penyakit menjadi lebih cepat dan sulit dikendalikan. Orang yang terinfeksi atau hewan yang membawa kutu dapat menyebarkan virus ke wilayah yang sebelumnya bebas dari penyakit tersebut.
Penurunan Keanekaragaman Hayati
Alasan berikutnya, berkurangnya keanekaragaman hayati menyebabkan beberapa spesies, termasuk hewan yang menjadi inang virus, mendominasi ekosistem tertentu. Hal ini menciptakan kondisi yang lebih mendukung penularan penyakit.
Perubahan Iklim
Pemanasan global memengaruhi distribusi vektor penyakit seperti kutu dan nyamuk, memungkinkan mereka hidup di wilayah yang sebelumnya tidak cocok bagi mereka.
Perkembangan Teknologi Pengawasan
Di sisi lain, teknologi dan pengawasan virus kini semakin baik. Dengan teknologi diagnostik modern, seperti sekuensing genomik, para ilmuwan sekarang lebih mampu mendeteksi virus baru, meskipun mereka mungkin sudah ada selama beberapa waktu.
“Secara keseluruhan, WELV merupakan ancaman yang patut diwaspadai, terutama bagi negara-negara dengan populasi kutu yang tinggi. Langkah-langkah pencegahan dan deteksi dini perlu diperkuat untuk mencegah penyebaran virus ini di luar Tiongkok,” kata Dicky.
Advertisement
Apa WELV Berpotensi Jadi Endemi atau Pandemi?
Menurut Dicky, WELV saat ini masih terbatas pada wilayah tertentu di China. Untuk menjadi epidemi atau pandemi, virus harus memiliki kemampuan menyebar lebih luas melalui vektor yang umum ada di berbagai negara.
“Jika kutu yang menjadi vektor WELV ditemukan di wilayah lain di luar China, termasuk Indonesia, maka risiko epidemi meningkat. Namun, untuk saat ini WELV lebih berpotensi menyebabkan epidemi lokal di wilayah yang memiliki vektor endemik,” terang Dicky.
Indonesia sebagai negara dengan keanekaragaman ekosistem yang luas dan populasi kutu yang ada di berbagai wilayah, berpotensi terkena dampak dari penyebaran virus tick-borne seperti WELV.
Indonesia Harus Waspada WELV
Dicky menyarankan, Indonesia tetap harus waspada terhadap WELV karena pergerakan hewan dan manusia dari negara lain bisa membawa virus tersebut.
“Meski belum ada laporan kasus WELV di Indonesia, kita harus waspada karena pergerakan hewan atau manusia yang terinfeksi dari negara lain dapat membawa vektor atau virus tersebut.”
“Jika WELV menyebar di Indonesia, potensi epidemi tergantung pada kemampuan kita dalam mengendalikan populasi kutu, memonitor infeksi, dan menanggulangi kasusnya. Namun, karena WELV memiliki gejala yang mirip dengan infeksi virus lainnya, seperti demam dan gejala nonspecific, tantangan terbesar adalah diagnosis dini dan respons cepat,” papar Dicky.
Advertisement