Jangan FOMO, Ini Saran Psikolog biar Enggak Gampang Ikut-Ikutan Tren Hiburan

Merasa takut ketinggalan atau fear of missing out (FOMO) yang sedang tren seperti boneka, liburan, tempat wisata, konser. Ini cara agar bisa mengerem agar tidak ikut-ikutan tren.

oleh Benedikta Desideria diperbarui 13 Okt 2024, 15:30 WIB
Diterbitkan 13 Okt 2024, 15:30 WIB
Nonton konser musik
Ilustrasi nonton konser musik.

Liputan6.com, Jakarta Dunia media sosial membuat seseorang jadi mudah mengetahui tren terkini. Di sisi lain hal ini membuat orang merasa takut ketinggalan atau fear of missing out (FOMO) mulai dari tren boneka, liburan, tempat wisata, konser.

Menurut psikolog yang juga dosen Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Adhissa Qonita, penting untuk melihat kembali melakukan kegiatan hiburan di atas.

"Ini nggak harus FOMO (Fear of Missing Out), konteksnya adalah bagaimana cara kita mengerem diri, secara umum kita bisa melihat ke diri kita sendiri sebelum kita menyimpulkan dan menyelesaikan sesuatu," kata Adhissa.

Adhissa mengajak untuk berpikir sejenak sambil melihat faktor kerugian dan keuntungan suatu kegiatan hiburan sebelum melakukannya (terutama yang bersifat tren belaka). Jangan lupa untuk melihat ketersediaan anggaran dan tenaga sebelum melakukan suatu kegiatan hiburan.

"Tidak harus sehari (berpikirnya) sebenarnya cuma butuh beberapa menit saja dan kita bisa melihat pro's (pro) & con's (kontra). Take a time dulu," kata Adhissa mengutip Antara.

Aspek pertama yang perlu dipertimbangkan adalah soal keuangan. Apakah uang tersebut tidak dipakai untuk kebutuhan lain atau tidak.

Terkadang sulit menentukan prioritas tiap orang karena tidak semuanya memiliki prioritas yang sama. Selama seseorang tidak terjerumus dalam mengikuti tren secara berlebihan, kegiatan hiburan sah-sah saja untuk dilakukan.

"Yang penting supaya kita tidak terjerumus dengan tren, kita lihat juga keuangan dan tenaganya," kata Adhissa.

 

Cek Ulang Baik dan Buruknya

"Jadi, kembali lagi ke diri sendiri. Cek ulang apa baik dan buruknya (kegiatan hiburan tersebut), kita pasti akan berhenti melakukannya kalau ujung-ujungnya banyak buruknya," kata Adhissa.

Ia mencontohkan konser yang akhir-akhir ini banyak digelar dengan mengundang artis dalam dan luar negeri. Tidak sedikit masyarakat ikut serta dalam kegiatan tersebut.

Alih-alih menikmati konser, banyak dari individu tersebut yang memaksakan diri dan berujung hanya mengikuti tren saja. Oleh karena itu, jangan lupa untuk melihat faktor keuntungan maupun kerugian dari suatu kegiatan hiburan agar tidak terjebak dalam fenomena FOMO.

"Mengukur diri itu wajib, kita harus lihat dari dua sisi yang menguntungkan atau merugikan kita," katanya.

"Kalau kita merasa hal itu masih menguntungkan, jangan-jangan itu bukan FOMO, tapi kebutuhan sifatnya," kata Adhissa menutup percakapan.

Tentang FOMO

Ilustrasi FOMO
Ilustrasi FOMO. (Image by freepik)

FOMO adalah singkatan dari "Fear of Missing Out" yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai "ketakutan akan kehilangan momen" seperti mengutip Hot Liputan6.com.

Secara lebih spesifik, FOMO adalah:

1. Perasaan cemas atau gelisah bahwa orang lain mungkin sedang mengalami pengalaman yang menyenangkan sementara kita tidak ada di sana.

2. Keinginan untuk terus terhubung dengan apa yang orang lain lakukan.

3. Ketakutan bahwa kita telah membuat keputusan yang salah tentang bagaimana menghabiskan waktu kita.

Istilah Muncul pada 1996

Ilustrasi FOMO
Ilustrasi FOMO. (Image by freepik)

FOMO adalah fenomena psikologis yang dapat mempengaruhi orang-orang dari berbagai usia dan latar belakang. Meskipun istilah ini baru populer dalam beberapa tahun terakhir, konsep di baliknya sudah ada sejak lama.

Dr. Dan Herman, seorang ahli strategi pemasaran, pertama kali memperkenalkan istilah "fear of missing out" dalam sebuah makalah penelitian pada tahun 1996.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya