Liputan6.com, Jakarta Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit menular yang angka kematiannya paling banyak di dunia, jauh di atas COVID-19. Sudah 1 miliar orang meninggal akibat TBC sejak 100 tahun lalu.
Eliminasi penyakit ini menjadi salah satu fokus Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dalam lima tahun ke depan dan dititip langsung oleh Presiden Prabowo Subianto.
Baca Juga
6 Potret Terbaru Evi Masamba Tengah Diet Ekstra, Sudah Bisa Pakai Baju Size S
Buntut Tersisihkan dari Agenda Natal Kerajaan, Pangeran Andrew Mogok Urus Anjing Corgi Warisan Mendiang Ratu Elizabeth II
Bintang Legenda Ular Putih, Angie Chiu dan Cecilia Yip Reuni di Atas Panggung dengan Pesona Bagaikan Anak Muda
“Beliau (Prabowo Subianto) juga titip supaya tuberkulosis ditangani dengan lebih cepat,” kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin saat ditemui di Jakarta, Senin (21/10/2024).
Advertisement
Terkait salah satu program unggulan bidang kesehatan ini, peneliti global health security Dicky Budiman memberi masukan untuk Prabowo dan Budi. Dicky menilai, diperlukan perencanaan yang rinci dan terukur, dengan penetapan timeline dan key performance indicators (KPI) yang jelas.
Dicky pun merinci saran rencana aksi 100 hari pertama Kemenkes terkait program percepatan penanganan tuberkulosis sebagai berikut:
Bulan 1-2: Deteksi dan Penemuan Kasus
Di bulan pertama dan kedua, Dicky menyarankan adanya deteksi dan penemuan kasus tuberkulosis.
Ini dapat dilakukan dengan kolaborasi dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Artinya, melakukan integrasi layanan deteksi dini TBC melalui sistem jaminan kesehatan nasional (JKN) di Puskesmas dan klinik.
“Fokus pada wilayah dengan insiden tinggi seperti Jawa Barat, Sumatera Utara, Papua, dan Jakarta,” saran Dicky lewat keterangan tertulis dikutip Rabu, 23 Oktober 2024.
Pelatihan Tenaga Kesehatan
Di bulan pertama dan kedua, Dicky juga menyampaikan perlunya pelatihan tenaga kesehatan.
“Program pelatihan intensif bagi 2.000 tenaga kesehatan di daerah dengan beban TBC tertinggi, untuk meningkatkan kapasitas deteksi dan penanganan pasien.”
Bulan 3: Pengobatan dan Akses Obat
Di bulan ketiga, Kemenkes dapat memantapkan pengobatan dan akses obat tuberkulosis.
“Pastikan distribusi obat lini pertama dan kedua melalui pengawasan langsung di 10 provinsi dengan insidensi TBC tinggi. Kolaborasi dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Kemenkes untuk memastikan rantai pasok obat terjaga.”
Tak lupa, perlu pula ada kampanye nasional dengan meluncurkan kampanye massal anti-TBC yang melibatkan media, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan komunitas, untuk mendorong deteksi dini dan kepatuhan pengobatan.
Advertisement
Key Performance Indicators (KPI)
Key Performance Indicators (KPI) atau indikator kinerja utama dari program ini adalah:
- Cakupan deteksi kasus TBC minimal 50 persen dari estimasi kasus TBC laten di 10 provinsi prioritas. Target ini didasarkan pada data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Kemenkes terkait beban TBC di Indonesia.
- Tercapainya kepatuhan pengobatan yakni 85 persen pasien TBC yang terdeteksi harus mendapatkan pengobatan lengkap. Target ini relevan dengan indikator global WHO untuk eradikasi TBC.
- Ada keterlibatan LSM dan komunitas, minimal LSM setempat terlibat dalam program advokasi dan kampanye edukasi publik anti-TBC.
Monitoring dan Pengawasan
Agar program berjalan baik, maka menurut Dicky perlu ada pengawasan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
KPK dan BPK berfungsi mengawasi pengelolaan dana obat TBC, distribusi ke daerah, dan memastikan tidak ada penyelewengan. Audit berkala dilakukan untuk memastikan pengadaan dan distribusi obat sesuai dengan standar.
Di sisi lain, LSM dan Organisasi Internasional dapat membantu edukasi, advokasi, dan kolaborasi teknis di tingkat lapangan terkait tuberkulosis.
Advertisement