Berikan Sanksi, Majelis Kehormatan Dokter Bakal Dituntut

KKI (Konsil Kedokteran Indonesia) dan MKDKI (Majelis Kehormatan dan Disiplin Kedokteran Indonesia) dituntut usai berikan sanksi disiplin.

oleh Fitri Syarifah diperbarui 19 Agu 2013, 12:57 WIB
Diterbitkan 19 Agu 2013, 12:57 WIB
hukum-iluts130718b.jpg
Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) mengaku tidak menyetujui jika ada pihak yang menggugat KKI (Konsil Kedokteran Indonesia) dan MKDKI (Majelis Kehormatan dan Disiplin Kedokteran Indonesia) dalam hal sanksi kedokteran melaui PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara).

Hal ini disampaikan langsung oleh ketua YPKKI dr. Marius Widjajarta, S.E dalam konferensi pers di kantor Konsil Kedokteran Indonesia, Jakarta pada Senin (19/8/2013).

"MKDKI akan dituntut esok hari di PTUN setelah memberikan sanksi disiplin pada seorang dokter. Padahal Undang-undangnya sudah jelas bahwa MKDKI sesuai pasal 67 No 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran bertugas memeriksa dan memberikan keputusan terhadap pengaduan yang hanya berkaitan dengan disiplin dokter dan dokter gigi. Bukan sengketa dengan PTUN," tegas Marius.

Marius menyampaikan, jika ada dokter yang tidak suka dengan kinerja MKDKI atau KKI, kenapa ketika diberikan jangka waktu untuk membuktikan kebenarannya dokter tersebut tidak melakukan apa-apa.

"YPKKI sendiri sangat menyayangkan kasus ini dan tidak setuju bila ada pihak yang bermaksud menggugat MDKI dan KKI melalui PTUN," ujar Marius.

Marius menambahkan, pemberian sanksi tegas kedisiplinan dari MKDKI adalah untuk melindungi masyarakat sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dari dokter dan dokter gigi.

MKDKI sebelumnya memberikan sanksi disiplin pada seorang dokter bernama Tamtam Otamar Syamsudin. SpOG yang berpraktik di Rumah Sakit MMC, Jakarta. Ia dirasa lalai karena memaksakan kondisi pasien yang semestinya tidak bisa dioperasi.

Kasus tersebut menimpa pasien bernama Santi Mulyasari. Santi dinyatakan meninggal dunia tahun lalu setelah dokter Tamtam melakukan operasi seksio sesaria (prosedur melahirkan bayi dengan melakukan sayatan pada kulit perut dan membuka rahim ibunya untuk mengeluarkan bayi).

Masalahnya, ini adalah kali keempat dokter tersebut melakukan penangan seksio tersebut dengan status HB (hemoglobin) pasien berstatus sembilan. Setelah itu, pasien mengalami pendarahan dan akhirnya meninggal dunia. Padahal seharusnya dengan operasi yang berisiko, seorang dokter harusnya bisa menyiapkan persediaan darah terlebih dahulu.

Maka itu, dari hasil penelusuran MKDKI, dokter Tamtam  dinyatakan bersalah dengan sanksi disiplin dicabut SRT(Surat Tanda Registrasi). Atau dengan kata lain, dokter tersebut tidak diizinkan praktek selama 9 bulan.

Tidak puas dengan gugatan tersebut, dokter Tamtam kini menggugat balik MKDKI dan KKI dengan gugatan, semua yang dilakukannya sudah sesuai prosedur.

Namun MKDKI berkilah bahwa kasus dokter Tamtam bukan hanya itu saja terjadi. Sebab belum lama ini seorang pasien juga menilai dokter Tamtam tidak melakukan prosedur melahirkan yang diminta pasien. Ketika itu, pasien minta di seksio, tapi dokter Tamtam tetap melakukan persalinan water birth.

Water birth dianggap MKDKI merupakan prosedur yang belum di standarisasi di Indonesia. Jadi prosedur ini sangat berisko. MKDKI pun kembali memutuskan sanksi disiplin dicabut STR 1 tahun pada dokter Tamtam.

YPKKI berharap, kasus seperti dokter Tamtam ini semestinya tidak terjadi pada pasien jika dokternya menjalankan segala sesuatunya dengan benar.

(Fit/Mel/*)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya