Arya Ondrio, si Muda Berprestasi Penemu Manfaat Batu Ziolite

Di usia yang masih muda, M Arya Ondrio (20) telah mampu meneliti kegunaan dari batu zeolite untuk mengatasi keterbatasan jumlah pohon.

oleh Aditya Eka Prawira diperbarui 20 Sep 2013, 17:30 WIB
Diterbitkan 20 Sep 2013, 17:30 WIB
aryo--130920b.jpg

Tidak hanya keren secara fisik, pemuda satu ini memiliki otak yang cukup encer. Buktinya, di usia yang masih muda, M Arya Ondrio (20) telah mampu meneliti kegunaan dari batu zeolite untuk mengatasi keterbatasan jumlah pohon yang kian hari semakin berkurang, dalam mengatasi masalah polusi.

Arya mengungkapkan, kalau batu zeolite ini dapat berfungsi sebagai stomata dan klorofil seperti yang terdapat di dalam pohon. Tidak susah baginya untuk menemukan bebatuan ini. Sebab, bebatuan jenis zeolite ini dapat ditemukan di dalam akuarium, yang sudah pasti banyak dijual di toko-toko penjual ikan hias.

Tidak mudah bagi Arya untuk melakukan penelitian ini. Butuh waktu 4 tahun lebih, untuk benar-benar memastikan penemuannya itu berguna atau tidak untuk khalayak ramai.

"Tidak hanya itu, bahkan saya harus meneliti 80 varian batu dan tumbuhan. Sampai pada akhirnya, saya menemukan batu zeolite sebagai media utama dari penelitian ini," kata Arya yang baru 2 minggu menjabat sebagai Gren Ambassador HiLo 2013.

Hal ini diungkapkan remaja kelahiran 02 April 1993 kepada tim Health Liputan6.com, saat berkunjung ke gedung SCTV Tower, Senayan City, Jakarta Selatan, Jumat (20/9/2013)

Alasan Arya memilih batuan zeolite karena jenis batuan ini sangat mudah ditemukan. Selain itu, harga satu kantong bebatuan ini tidak perlu merogeh kocek terlalu dalam. Hanya Rp 3 ribu saja, bebatuan ini dapat digunakan dalam jangka waktu 1 sampai 3 bulan lamanya.

Alasan lain menggunakan batu zeolite ini karena memiliki 4 atom molekuler yang cukup unik.

"Tapi, dari silikon atom, oksigen atom, aluminium atom, hanya 3 yang akan terisi, dan 1 yang kosong. Ini yang akan menangkap karbondioksida dan melepaskan oksigen," tambah dia.

Untuk prosesnya sendiri, Arya mengaku dibantu dengan alat yang mampu mereduksi senyawa negatif. Sehingga, proses yang berjalan kurang lebih 8 jam. "Setelah dia menangkap, dia akan memroses secara kimia dengan bebatuan ziolite ini," jelas dia.

"Bentuknya seperti pohon," tambah dia.

Alasan melakukan penelitian

Sewaktu masih duduk di bangku sekolah dasar (SD), Arya harus berpindah dari 1 kota ke kota lainnya. Terhitung, ada 6 kota yang pernah ditinggalinya, mulai dari Depok, Jakarta, Jambi, Padang, Solok dan Batam. Meski kota-kota itu berbeda, sejatinya kesemuanya itu memiliki satu permasalahn yang sama, yaitu pemanasan global yang semakin hari semakin parah.

"Termasuk tekstur wilayah. Contohnya saja di Jambi. Meskipun termasuk daerah sub tropis dan memiliki banyak hutan, tapi Jambi terasa panas. Pun dengan Jakarta. Problem seperti inilah yang harus diubah," jelas Arya.

Efek pemanasan global seperti ini dirasa sangat nyata oleh anak pertama pasangan Ondrio dan Sukma. Menurut dia, tidak perlu mengukur permukaan lain dan hal lainnya untuk melihat terjadinya pemanasan global ini. Efek yang didapat dalam kehidupan sehari-hari pun dapat dirasakan untuk melihat kondisi seperti itu.

"Butuh aksi nyata yang sustainable, yang berkelanjutan, dan menyangkut seluruh elemen yang nantinya bisa digunakan seluruh masyarakat luas," kata Arya.

Sudah 3 alat prototype yang dihasilkan oleh Arya. Untuk kebutuhan rumah tangga, industri, dan masker untuk masyarakat umum.

Dari 6 kota yang pernah ditinggali oleh Arya, Batam-lah yang dirasa cukup parah terkait dengan polusi udaranya.

"Batam itu pulau yang sangat dekat dengan air laut, dan hutannya pun banyak dibabat untuk kawasan industri. Dan ini parah banget," terang dia.

Sampai saat ini, alat prototype yang diciptakan Arya masih dalam proses hak paten, dan tengah berada di badan research untuk diuji coba.

Alat Diproduksi Massal

Bila nanti alat ini sudah diproduksi secara massal, masyarakat hanya membutuhkan biaya sebesar Rp 300 ribu untuk bisa memiliki alat ini. Untungnya, alat ini bisa digunakan dalam jangka waktu selama 5 tahun.

"Alat ini bahan dasarnya sangat murah. Batunya saja hanya Rp 3 ribu, dan dapat digunakan selama 1 sampai 3 bulan lamanya. Setahun, kurang lebih hanya butuh Rp 20 ribu untuk membeli batunya. Manfaatnya besar, dapat menghirup udara bebas," jelas dia.

Arya melanjutkan, sasaran untuk alat ciptaannya itu ialah rumah tangga. Sebab, banyak terjadi di dalam rumah tangga yang tanpa disadari berdampak buruk untuk kehidupan di rumah tangga itu sendiri.

"Polusinya berasal dari mesin cuci, dan dapur. Sehingga, bila setiap rumah menggunakan alat ini, akan menghasilkan oksigen, bukan karbondioksida lagi," papar Arya.

Untuk masyarakat yang tinggal di kawasan padat penduduk seperti Jakarta, tampaknya masker yang kelak akan diciptakan Arya pun memiliki kegunaan yang sangat besar. Terlebih, bagi masyarakat yang sehari-hari menggunakan sepeda motor dan menumpang kereta api.

"Maskernya itu bukan hanya melindungi, tapi juga bisa memberikan efek penghasilan dari oksigen tersebut," jelasnya.

Berkat sejumlah prestasi yang telah diraihnya, banyak pihak yang dengan tangan terbuka menjalin kerjasama dengannya. Sebut saja Universitas Indonesia (UI), Universitas Nasional (UNAS), Universitas Pancasila, dan lainnya. Akibatnya, beragam pengalaman pun dirasakan Arya.

Untuk prestasi lainnya, tidak usah ditanya. Baik skala nasional maupun internasional pun, pernah didapatnya. Sebagai finalis I-SWEEEP Olympiade, Texas, Amerika Serikat, serta peraih beasiswa science environmental di Texas.

Arya juga pernah mendapatkan gelar peneliti terinovatif se-Asia Tenggara versi SSYS Olympiade, Malaysia. Ia juga pernah menjadi perwakilan Indonesia di INESPO yang diselenggarakan di Belanda pada tahun 2011. Dan yang terakhir, Arya pernah meraih penghargaan sebagai relawan berdedikasi versi U.S Dept of State, Amerika Serikat.

(Adt/Igw)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya