Demi terlihat keren, mahasiswa di Dubai memilih mempertaruhkan nyawanya ketimbang mengenakan sabuk pengaman.
Demikian hasil survei yang dilakukan terhadap 3.000 mahasiswa usia 18 sampai 23 tahun, yang mengaku tak memakai sabuk pengaman saat mengemudi.
Seorang mahasiswa Teknik Mohammad Qazooh yang ikut dalam penelitian mengaku tekanan teman sebaya berperan besar.
"Saya tinggal di Yordania sebelum datang ke UAE untuk melanjutkan pendidikan saya. Di sana, mengenakan sabuk pengaman dianggap tidak jantan. Sayangnya, saya mengikuti kebiasaan di sini dan saya teman-teman saya melakukannya, meski saya tahu itu tak benar," kata Qazooh seperti dikutip Gulfnews, Sabtu (14/12/2013).
Selain gaya, alasan lain tak memakai sabuk mengaman adalah tidak nyaman. Seperti yang diutarakan mahasiswa bisnis Azar Parand.
"Saya mencoba memakai sabuk pengaman, tapi jujur saya tak tahan terutama ketika terjebak lalu lintas," kata Parand.
Sebuah laporan dari WHO memperkirakan, mengenakan sabuk pengaman mengurangi risiko kematian di kursi penumpang depan hingga 50 persen. Dan kursi belakang hingga 75 persen.
Meski ada laporan WHO tersebut, penelitian menunjukkan 54 persen siswa percaya mengenakan sabuk pengaman tak perlu kecuali mereka sopir, 45 persen sangat setuju sabuk pengaman sama bahayanya seperti memberikan bantuan dan 42 persen mengatakan lupa mengenakan sabuk pengaman.
Survei ini dilakukan Higher Colleges of Technology University (HCT) dengan perusahaan mobil BMW, sebagai bagian dari kampanye kesadaran `Stay Alert Stay Alive`.
Leanne Blanckenberg , Corporate Communications Manager, BMW Group Timur Tengah mengatakan mengubah persepsi mahasiwa mungkin sulit. Butuh perjalanan panjang untuk membujuk pemuda untuk mengenakan sabuk pengaman yang bisa menyelamatkan nyawanya.
"Kita harus ingat bahwa kita tidak hanya mengubah kebiasaan mengemu, kita mencoba mengubah sikap," ujarnya.
(Mel/*)
Demikian hasil survei yang dilakukan terhadap 3.000 mahasiswa usia 18 sampai 23 tahun, yang mengaku tak memakai sabuk pengaman saat mengemudi.
Seorang mahasiswa Teknik Mohammad Qazooh yang ikut dalam penelitian mengaku tekanan teman sebaya berperan besar.
"Saya tinggal di Yordania sebelum datang ke UAE untuk melanjutkan pendidikan saya. Di sana, mengenakan sabuk pengaman dianggap tidak jantan. Sayangnya, saya mengikuti kebiasaan di sini dan saya teman-teman saya melakukannya, meski saya tahu itu tak benar," kata Qazooh seperti dikutip Gulfnews, Sabtu (14/12/2013).
Selain gaya, alasan lain tak memakai sabuk mengaman adalah tidak nyaman. Seperti yang diutarakan mahasiswa bisnis Azar Parand.
"Saya mencoba memakai sabuk pengaman, tapi jujur saya tak tahan terutama ketika terjebak lalu lintas," kata Parand.
Sebuah laporan dari WHO memperkirakan, mengenakan sabuk pengaman mengurangi risiko kematian di kursi penumpang depan hingga 50 persen. Dan kursi belakang hingga 75 persen.
Meski ada laporan WHO tersebut, penelitian menunjukkan 54 persen siswa percaya mengenakan sabuk pengaman tak perlu kecuali mereka sopir, 45 persen sangat setuju sabuk pengaman sama bahayanya seperti memberikan bantuan dan 42 persen mengatakan lupa mengenakan sabuk pengaman.
Survei ini dilakukan Higher Colleges of Technology University (HCT) dengan perusahaan mobil BMW, sebagai bagian dari kampanye kesadaran `Stay Alert Stay Alive`.
Leanne Blanckenberg , Corporate Communications Manager, BMW Group Timur Tengah mengatakan mengubah persepsi mahasiwa mungkin sulit. Butuh perjalanan panjang untuk membujuk pemuda untuk mengenakan sabuk pengaman yang bisa menyelamatkan nyawanya.
"Kita harus ingat bahwa kita tidak hanya mengubah kebiasaan mengemu, kita mencoba mengubah sikap," ujarnya.
(Mel/*)