Liputan6.com, Jakarta Istilah monolog mungkin sudah tidak asing lagi di telinga. Melansir situs Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta, monolog adalah salah satu bentuk teater modern atau non tradisional yang tumbuh serta berkembang di lingkungan masyarakat perkotaan, khususnya para kaum ‘terpelajar’ yang sudah mendapatkan pengaruh dari teori negara-negara barat.
Baca Juga
Asal istilah monolog adalah dari kata “mono” yang artinya satu, dan “logi” yang artinya ilmu. Apabila dirunut berdasar asal katanya, monolog bisa dimaknai sebagai suatu ilmu terapan yang mengajarkan mengenai seni peran, di mana hanya dibutuhkan satu orang atau dialog bisu dalam melakukan adegan atau sketsa yang ditampilkan.
Advertisement
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) monolog adalah pembicaraan yang dilakukan dengan diri sendiri. Monolog terdiri atas kata-kata yang diucapkan seorang tokoh tunggal pada saat kritis yang mengungkapkan keadaan dirinya dari situasi yang dihadapinya.
Seiring perkembangan zaman, teater modern termasuk monolog, berupaya untuk kembali pada akar tradisi, yaitu seni yang ditujukan untuk semua orang, di mana lokasi pementasan tidak selalu di ruang tertutup yang hanya dapat dinikmati oleh segelintir penonton saja, akan tetapi bisa juga di area berupa ruang terbuka.
Memahami monolog adalah cara generasi mendatang untuk melestarikan sebuah peninggalan seni. Berikut ini Liputan6.com telah merangkum dari berbagai sumber, mengenai berbagai hal tentang monolog yang dirangkum dari berbagai sumber, Rabu (30/12/2020).
Sejarah Singkat Monolog
Monolog sendiri dikenalkan sekitar tahun 1960-an dengan memanfaatkan media televisi sebagai panggung. Ketika itu dunia pertelevisian tidak kenal dubbing atau pengisian suara, Maka tidak heran jika monolog banyak digunakan dalam pembuatan film-film bergenre komedi maupun horor.
Salah satu pengagas monolog di dalam dunia televisi yang melegenda adalah Charlie Chaplin. Setelah diperkenalkan pertama kali di Hollywood sekitar 1964, monolog semakin berkembang menjadi sarana seni dan teater.
Monolog adalah salah satu cabang seni teater modern asalnya dari latihan seorang aktor dalam menghafal naskah serta mendalami adegan yang jadi bagiannya. Pasalnya, di dalam sebuah naskah drama biasanya terdapat pembicaraan panjang seorang tokoh dengan tokoh lainnya.
Percakapan tokoh inilah yang dimaksud dengan monolog. Panjangnya percakapan bisa membuat emosi perasaan dan karakter tokoh akan berubah-ubah sesuai isi dari percakapannya. Perubahan emosi serta karakter inilah yang selalu dilatih oleh seorang aktor sebelum dilangsungkannya pementasan.
Kemudian seiring perkembanganya, tantangan berlatih peran monolog menjadi daya pikat tersendiri bagi para seniman, hingga menjadikan monolog sebagai seni peran yang dapat berdiri sendiri tanpa harus selalu bergantung pada sebuah bingkai pertunjukan drama.
Advertisement
Perkembangan Monolog di Indonesia
Monolog adalah salah satu barometer dari kemampuan totalitas seorang seniman pada dunia seni peran yang digeluti. Contohnya seperti Bing Slamet, Butet Kertaredjasa, serta Putu Wijaya yang merupakan beberapa seniman dengan kepiawaian monolog.
Seniman Bing Slamet yang dijuluki “Presiden Pelawak Indonesia”, sangat pandai bermain mimik muka untuk menunjang setiap adegan monolog yang dibawakan. Selain itu, Butet Kertaredjasa yang notabene bukan aktor pertama dengan kemampuan berakting tunggal, bisa sangat baik di atas panggung. Bahkan kelihaian membawakan monolog selalu mengundang decak kagum.
Pemberian mimik wajah, intonasi suara, sampai pembawaannya, sangat menarik dan bisa membuat penonton terhipnotis. Salah satu aksi monolognya yang paling melekat di benak masyarakat ketika dirinya menirukan suara mantan presiden RI, Soeharto.
Menurut Butet Kertaradjasa, kendati dilakukan sendirian, monolog menjadi sebuah seni peran yang tidak mudah untuk dilakukan. Sangat dibutuhkan penjiwaan yang sangat mendalam, serta stamina lebih ketika memainkan naskah drama yang biasanya menghambiskan durasi sekitar 1-2 jam.
Jenis Monolog
Ada beberapa jenis monolog yang perlu diketahui. Jenis monolog tersebut adalah:
Monolog Naratif Biografis
Monolog ini saat aktor atau pemeran mengingat kembali cerita dalam hidupnya. Monolog jenis ini meceritakan suatu cerita atau dongeng tersendiri.
Monolog Fictional Cracter-Driven
Monolog ini pemeran menciptakan banyak karakter dan menunjukkan atau menceritakan karakter yang ceritanya imajinatif.
Monolog Karakter Biografi
Jenis monolog tersebut lebih mengutamakan karakter tampil dengan dialog dibandingkan cerita. Pada monolog jenis ini, penulis atau aktornya mengeluarkan cerita sendiri, tapi juga menampilkan banyak karakter atau peran untuk menggerakkan cerita pada monolog tersebut.
Monolog Dokumen Berbasis Realitas
Sedangkan monolog dibuat dari peristiwa nyata. Aktornya memakai kata dari orang yang terlibat dalam cerita atau peristiwa yang diceritakan dalam monolog tersebut.
Monolog Storytelling
Kemudian, monolog jenis ini berupa fiksi dan ditulis dalam bentuk paragraf narasi, di mana aktor berperan sebagai pencerita serta pada saat tertentu beralih jadi suatu karakter dan kembali berperan sebagai pencerita.
Monolog Topical
Monolog jenis ini bergantung pada peristiwa sehari-hari.
Advertisement
Tujuan Pementasan Monolog
Salah satu tujuan pementasan monolog adalah krtik sosial tentang situasi yang ada di tengah masyarakat, baik di masa lalu maupun masa sekarang. Maka tidak heran, jika banyak pentas monolog yang mengambil setting cerita dengan latar berlatar tradisi, tokoh, kisah nyata, atau bahkan politik.
Putu Wijaya menjadi salah satu seniman yang berani melontarkan kritik sosial tersebut. Salah satu karyanya yang terkenal adalah “Surat Kepada Setan” yang merupakan pentas monolog dengan kisah realita sosial Indonesia tepat saat menginjak usia 60 tahun.
Karyanya menggambarkan tokoh dengan kesenjangan dari realita perayaan kemerdekaan Indonesia yang ke 60 tahun, layaknya usianya yang juga tepat 60 tahun. Tokoh miskin dan tua renta tersebut sedang kelaparan mencari sesuap nasi.
Kemudian dirinya mendatangi beberapa kepala pemerintahan untuk mengadu nasib. Akan tetapi para pejabat justru membuka kebobrokanya. Melihat bangsa Indonesia tak lagi memiliki harga diri, muncul hasrat untuk bersekongkol dengan setan.
Hingga akhirnya sang tokoh mengirim sebuah surat perdamaian, karena setan yang dianggapnya menjadi penyebab semua kejadian. Tapi, uniknya pada akhir monolog ini sang tokoh ternyata adalah setannya.
Putu Wijaya menyadaran penikmat karyanya, bahwa kemiskinan, kelaparan, peningkatan TKW (Tenaga Kerja Wanita), pelacuran, korupsi, para wakil rakyat yang tidak peduli rakyatnya, serta berbagai permasalahan lainnya adalah secuil dari berbagai hal yang dialami oleh bangsa Indonesia, bahkan hingga saat ini.