Ateis Artinya Kepercayaan Bahwa Tidak Ada Tuhan, Kenali Tantangan dan Perspektifnya

Ateis artinya pandangan atau kepercayaan, yang menolak mempercayai adanya Tuhan.

oleh Silvia Estefina Subitmele diperbarui 02 Jun 2023, 18:00 WIB
Diterbitkan 02 Jun 2023, 18:00 WIB
Ateis
Negaranya yang mayoritas warganya ateis

Liputan6.com, Jakarta Ateis artinya suatu pandangan atau kepercayaan, yang menolak atau tidak mempercayai adanya Tuhan atau entitas ilahi. Secara harfiah, istilah ateisme berasal dari bahasa Yunani "atheos," yang terdiri dari "a" (tidak) dan "theos" (Tuhan), sehingga secara harfiah berarti "tidak ada Tuhan."

Secara umum, ateis artinya mengacu pada ketidaktergantungan pada keyakinan agama atau kepercayaan supernatural. Ateis meyakini bahwa tidak ada cukup bukti atau dasar rasional, yang mendukung keberadaan Tuhan atau entitas ilahi.

Nilai dan keyakinan ateis bervariasi, dan mereka dapat memiliki pandangan yang berbeda tentang agama, moralitas, dan etika. Beberapa ateis mungkin menganut pandangan skeptisisme ilmiah, di mana mereka menolak keberadaan Tuhan karena tidak adanya bukti empiris yang meyakinkan. 

Perlu dicatat bahwa ateisme bukanlah suatu doktrin atau sistem kepercayaan yang terstruktur. Sebaliknya, itu adalah penolakan terhadap keyakinan tertentu, dan merupakan keadaan ketidaktergantungan pada Tuhan atau entitas ilahi. Berikut ini Liputan6.com merangkumk dari berbagai sumber tentang ateis artinya orang yang menegaskan ketiadaan Tuhan, Jumat (2/6/2023). 

Mengenal Arti Ateis

[Bintang] Ilustrasi umat beragama
Ilustrasi umat beragama. Foto: via penumbramag.com

Kata “ateisme” bersifat polisemi yaitu memiliki banyak arti yang berkaitan. Dalam arti kata psikologis, ateisme adalah keadaan psikologis, khususnya keadaan menjadi seorang ateis, di mana seorang ateis didefinisikan sebagai seseorang yang bukan seorang teis dan seorang teis didefinisikan sebagai seseorang yang percaya bahwa Tuhan itu ada (atau bahwa Tuhan itu ada). adalah dewa). Stigma ini menghasilkan definisi berikut

Ateisme adalah keadaan psikologis yang kurang percaya bahwa Tuhan itu ada. Namun, dalam filsafat, dan lebih khusus dalam filsafat agama, istilah "ateisme" secara standar digunakan untuk merujuk pada proposisi bahwa Tuhan tidak ada (atau, lebih luas lagi, pada proposisi bahwa tidak ada tuhan). Jadi, untuk menjadi seorang ateis dalam definisi ini, tidaklah cukup untuk menangguhkan penilaian tentang apakah Tuhan itu ada, meskipun hal itu mengimplikasikan kurangnya kepercayaan teistik. Sebaliknya, seseorang harus menyangkal bahwa Tuhan itu ada. 

Melansir dari laman plato.stanford.edu, Definisi ini juga ditemukan dalam berbagai ensiklopedia dan kamus filsafat. Misalnya, dalam Concise Routledge Encyclopedia of Philosophy, William L. Rowe (juga seorang ateis) menulis, “Ateisme adalah posisi yang menegaskan ketiadaan Tuhan. Ini mengusulkan ketidakpercayaan positif daripada hanya penangguhan keyakinan” (2000: 62). Cambridge Dictionary of Philosophy mengenali banyak pengertian dari kata "ateisme", tetapi jelas tentang mana yang standar dalam filsafat:

Menariknya, Encyclopedia of Philosophy merekomendasikan sedikit perluasan definisi standar "ateis" di mana masih membutuhkan penolakan terhadap kepercayaan kepada Tuhan, sebagai lawan dari kurangnya kepercayaan itu, tetapi dasar penolakannya tidak harus karena teisme itu salah. 

Menurut definisi yang paling umum, seorang ateis adalah orang yang berpendapat bahwa tidak ada Tuhan, yaitu kalimat "Tuhan itu ada" mengungkapkan proposisi yang salah. Setidaknya hingga saat ini, pemahaman metafisik standar tentang makna "ateisme" begitu tertanam dalam filsafat sehingga para filsuf, dapat menggunakan kata "ateisme" dalam pengertian itu tanpa khawatir akan disalahpahami dan tanpa merasa perlu mempertahankannya. 

Tantangan yang Dihadapi Ateis

Ilustrasi orang pendiam
Ilustrasi orang pendiam. (Photo by Amy Tran on Unsplash)

Stigma dan Diskriminasi

Ateis sering kali menghadapi stigma dan diskriminasi dalam masyarakat yang mayoritas beragama. Mereka dapat dianggap sebagai orang yang tidak bermoral, tidak memiliki dasar nilai, atau dianggap sebagai ancaman terhadap nilai-nilai agama dan tradisi. Hal ini dapat berdampak negatif pada kehidupan sosial, profesional, dan pribadi ateis. Mereka mungkin menghadapi kesulitan dalam mencari pekerjaan atau mempertahankan hubungan sosial yang sehat karena adanya prasangka dan diskriminasi terhadap keyakinan atau ketiadaan keyakinan mereka.

Ketidakpahaman dan Stereotip

Ateis sering kali dihadapkan pada ketidakpahaman dan stereotip yang tidak akurat. Banyak orang masih memiliki pemahaman yang salah tentang ateisme dan seringkali menggeneralisasi ateis sebagai tidak memiliki moralitas atau kepercayaan pada apapun. Stereotip negatif ini dapat mempersulit upaya ateis dalam menjalin dialog yang konstruktif, dengan penganut agama dan memperdalam pemahaman tentang pandangan mereka.

Penolakan dan Isolasi Sosial

Ateis dapat menghadapi penolakan dan isolasi sosial, terutama di lingkungan yang sangat beragama. Mereka mungkin mengalami kesulitan dalam mencari dukungan sosial, dan membangun hubungan dengan orang-orang yang memiliki keyakinan berbeda. Penolakan ini dapat berdampak negatif pada kesejahteraan mental dan emosional ateis, dan meningkatkan tingkat isolasi sosial yang mereka alami.

Kurangnya Representasi dan Partisipasi

Ateis sering kali merasa kurangnya representasi dan pengakuan dalam ruang publik dan politik. Agama sering memiliki pengaruh yang kuat dalam kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan. Pandangan ateis sering diabaikan atau tidak diperhitungkan secara serius. Ini dapat menghambat partisipasi ateis dalam kehidupan politik, mempengaruhi kebijakan yang relevan bagi mereka, dan membuat mereka merasa tidak diwakili dalam pembuatan keputusan yang berkaitan dengan kehidupan mereka.

Perspektif

Ilustrasi orang pendiam
Ilustrasi orang pendiam. (Photo by Adi Yusuf on Unsplash)

Ateisme Naturalis

Perspektif ateis naturalis berpendapat bahwa alam semesta, dan semua fenomena yang ada di dalamnya dapat dijelaskan secara menyeluruh melalui hukum-hukum alam dan proses-proses alami. Mereka meyakini bahwa tidak ada kebutuhan akan adanya Tuhan atau entitas supernatural, untuk menjelaskan asal-usul, struktur, dan fungsi alam semesta.

Ateis naturalis cenderung memandang dunia secara materialis, yaitu bahwa semua fenomena dapat dijelaskan oleh materi dan energi yang berinteraksi sesuai dengan hukum-hukum alam yang ada.

Ateisme Ilmiah

Perspektif ateis ilmiah mendasarkan pandangannya pada metode ilmiah, sebagai cara utama untuk memahami dunia. Mereka menolak keberadaan Tuhan atau entitas supernatural, karena kurangnya bukti empiris yang memadai. Ateis ilmiah cenderung menggunakan pendekatan skeptis dan rasional, dalam mengevaluasi klaim-klaim agama. Mereka berargumen bahwa dalam dunia yang didasarkan pada pemahaman ilmiah, penjelasan rasional dan berdasarkan bukti menjadi kunci dalam membentuk pandangan mereka tentang alam semesta.

Ateisme Etis

Perspektif ateis etis menekankan pada nilai-nilai moral yang tidak bergantung pada agama, atau kepercayaan pada Tuhan. Mereka berpendapat bahwa moralitas dapat dikembangkan berdasarkan pemahaman tentang kemanusiaan, empati, rasionalitas, dan pengalaman manusia.

Ateis etis memandang etika sebagai hasil refleksi kritis dan pengambilan keputusan berdasarkan konsekuensi, prinsip universalitas, dan pemahaman akan pengaruh tindakan pada kesejahteraan manusia dan masyarakat secara keseluruhan.

Ateisme Post-Strukturalis

Perspektif ateis post-strukturalis melihat agama sebagai produk dari struktur kekuasaan, dan dominasi sosial. Mereka berpendapat bahwa agama dapat digunakan untuk mempertahankan status quo, menekan kebebasan individu, dan memperkuat ketidaksetaraan sosial.

Ateis post-strukturalis menganalisis bagaimana agama dan institusi keagamaan, memainkan peran dalam menciptakan hierarki sosial, penindasan, dan konflik dalam masyarakat. Mereka sering mengaitkan agama dengan kontrol sosial dan penindasan terhadap kelompok-kelompok yang berbeda.

Ateisme Humanis

Perspektif ateis humanis menekankan martabat manusia, dan kesejahteraan sosial sebagai nilai utama. Mereka berpendapat bahwa manusia dapat mencapai kebahagiaan, etika, dan pemenuhan melalui keterlibatan dalam hubungan manusiawi, proyek-proyek sosial, dan pengembangan potensi diri.

Ateis humanis menekankan pentingnya membangun masyarakat yang berpusat pada kebutuhan dan kebahagiaan manusia, tanpa bergantung pada agama atau kepercayaan pada Tuhan. Mereka memandang bahwa nilai-nilai moral dapat ditemukan dalam hubungan sosial dan pengalaman manusia, serta berdasarkan prinsip-prinsip seperti kesetaraan, keadilan, empati, dan penghargaan terhadap kebebasan individu.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya