Liputan6.com, Jakarta - Istitha'ah adalah istilah dalam agama Islam yang merujuk pada kondisi atau kemampuan seseorang untuk melaksanakan ibadah haji ke Baitullah di Mekah, Saudi Arabia. Istitha'ah sangat penting karena menjadi salah satu syarat utama dalam kewajiban beribadah haji bagi umat Muslim.
Konsep istitha'ah artinya mencakup beberapa aspek yang harus dipenuhi, seperti memiliki bekal finansial yang mencukupi untuk biaya perjalanan haji dan keluarga yang ditinggalkan, memahami tata cara manasik haji, hati yang ikhlas, sabar, dan bersyukur, serta dalam kondisi kesehatan mental dan fisik yang memadai.
Istitha'ah dibagi menjadi dua jenis, yaitu Istitha’ah Mubasyirah, berupa kemampuan seseorang untuk melaksanakan haji dan umrah secara mandiri tanpa kesulitan berarti. Lalu, Istitha’ah Ghoiru Mubasyirah, yang mengizinkan seseorang dengan kondisi finansial yang cukup untuk mewakilkan orang lain untuk melaksanakan haji dan umrah atas namanya.
Advertisement
Agar lebih paham, berikut Liputan6.com ulas lebih mendalam tentang arti istitha'ah, Selasa (1/8/2023).
Kemampuan Melaksanakan Haji
Istitha'ah artinya kondisi atau kemampuan seseorang untuk melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu tempat suci bagi umat Islam di Mekah, Saudi Arabia. Konsep istitha'ah menjadi sangat penting karena merupakan salah satu syarat utama yang harus dipenuhi oleh setiap Muslim yang ingin menjalankan ibadah haji, yang merupakan salah satu dari lima rukun Islam.
Dalam jurnal penelitian berjudul "KONSEP ISTIṬĀ’AH DALAM AL-QUR’AN PADA IBADAH HAJI" yang ditulis oleh Ahmad Bahrin Nada, konsep istitha'ah adalah pemahaman yang lebih jelas mengenai aspek-aspek penting yang harus dipersiapkan sebelum menunaikan ibadah haji.
Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI) turut memberikan pandangan mengenai istitha'ah sebagai syarat wajib haji. Menurut pandangan Kemenag RI, istitha'ah adalah melibatkan sejumlah aspek yang harus dipenuhi oleh calon jemaah haji, diantaranya:
1. Bekal Finansial:
Pertama, seseorang harus memiliki bekal finansial yang cukup untuk membiayai perjalanan haji dan memenuhi kebutuhan keluarga yang ditinggalkan selama pelaksanaan ibadah. Kekuatan ekonomi yang mencukupi sangatlah penting untuk memastikan kelancaran dan kesempurnaan pelaksanaan haji.
2. Menguasai Pengetahuan Manasik Haji:
Selanjutnya, istitha'ah artinya juga melibatkan pemahaman mendalam terhadap manasik haji. Ibadah haji memiliki prosedur dan tata cara yang harus dipatuhi dengan sungguh-sungguh oleh setiap jemaah haji. Oleh karena itu, pengetahuan tentang manasik haji menjadi salah satu aspek krusial dalam persiapan seorang Muslim sebelum berangkat menunaikan ibadah haji.
3. Hati yang Ikhlas, Sabar, dan Syukur:
Selain itu, istitha'ah artinya mencakup kondisi hati yang ikhlas, sabar, dan penuh syukur. Ibadah haji bukan hanya sekadar perjalanan fisik semata, tetapi juga sebuah perjalanan spiritual dan penyucian hati. Kesungguhan, ketulusan, dan kesabaran dalam melaksanakan ibadah haji menjadi hal yang sangat dijunjung tinggi oleh agama Islam.
4. Tawakkal dan Tawaddlu':
Aspek selanjutnya dalam istitha'ah adalah tawakkal dan tawaddlu', yaitu keyakinan sepenuh hati kepada Allah SWT dan kesederhanaan dalam menghadapi perjalanan ibadah haji. Dalam pelaksanaan haji, seorang Muslim harus memiliki keyakinan teguh bahwa segala urusan ada dalam kendali Allah SWT. Keikhlasan dan kesederhanaan juga menjadi cermin dari ketaqwaan seorang Muslim dalam menghadapi ujian dan tantangan selama beribadah haji.
5. Kesehatan Mental dan Fisik:
Selain pandangan dari Kemenag RI, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga memberikan pandangannya mengenai definisi istitha'ah.
Menurut MUI, istitha'ah artinya seseorang dianggap mampu melaksanakan ibadah haji jika kondisi jasmani, rohani, dan bekalnya memungkinkan dia untuk menunaikan ibadah haji tanpa mengabaikan kewajibannya terhadap keluarganya. Ini berarti seorang Muslim harus memastikan bahwa dirinya dalam kondisi fisik dan rohani yang memadai sebelum memutuskan untuk berhaji.
“Siapa saja yang telah memiliki bekal yang cukup dan tersedia kendaraan untuk menunaikan ibadah haji ke Baitullah, tetapi dia belum juga mau menunaikannya, maka tidak ada dosa yang setimpal baginya selain dia kelak akan mati (sebagai orang) Yahudi atau nasrani.” (HR. Imam Tirmidzi dari Ali bin Abi Thalib)
Advertisement
Macam-Macamnya
Secara umum, istitha’ah haji dapat dibagi menjadi dua macam sebagaimana dijelaskan Kemenag RI, yaitu Istitha'ah Mubasyirah dan Istitha'ah Ghoiru Mubasyirah.
Istitha’ah Mubasyirah
Istitha’ah Mubasyirah adalah kemampuan seseorang untuk melaksanakan ibadah haji dan umrah dengan menggunakan kemampuan dirinya sendiri secara fisik dan mental. Seorang Muslim yang memiliki Istitha'ah Mubasyirah dianggap memiliki kondisi fisik yang cukup kuat dan kesehatan mental yang memadai untuk menempuh perjalanan dan menghadapi berbagai tantangan selama pelaksanaan ibadah haji.
Mereka mampu mengikuti seluruh proses manasik haji, yang meliputi berbagai ritual dan tata cara ibadah haji, tanpa mengalami kesulitan yang berarti. Contoh dari Istitha'ah Mubasyirah:
Ketika seorang Muslim yang memiliki kesehatan fisik yang baik dan mental yang stabil. Mereka memiliki kebugaran yang memadai untuk menempuh perjalanan jauh dan melewati rute yang mungkin menantang selama ibadah haji. Selain itu, mereka juga memahami seluruh tata cara dan prosedur haji dengan baik, sehingga dapat melaksanakan ibadah dengan benar dan sungguh-sungguh.
Kebugaran dan pengetahuan mereka memungkinkan mereka untuk menghadapi segala rintangan dan hambatan yang mungkin terjadi selama pelaksanaan haji tanpa mengalami kesulitan berarti.
Istitha’ah Ghoiru Mubasyirah
Istitha’ah Ghoiru Mubasyirah adalah kondisi finansial seseorang yang cukup memadai, sehingga mereka dapat mewakilkan orang lain untuk melaksanakan ibadah haji dan umrah atas nama mereka. Istitha'ah Ghoiru Mubasyirah dapat diterapkan baik pada saat seseorang masih hidup maupun setelah meninggal dunia.
Dalam hal ini, individu yang memiliki kondisi finansial yang cukup, namun tidak memiliki kemampuan fisik atau kesehatan yang memadai untuk menjalankan ibadah haji secara langsung, dapat menunjuk seorang wakil (musyrif) untuk mengerjakan haji atas namanya. Contoh dari Istitha'ah Ghoiru Mubasyirah:
Ketika seorang Muslim yang usianya telah lanjut atau mengalami keterbatasan fisik yang menghalangi mereka untuk secara langsung berangkat menunaikan ibadah haji. Namun, mereka memiliki kondisi finansial yang memadai untuk membiayai perjalanan haji dan melaksanakan ibadah tersebut. Dalam hal ini, mereka dapat menunjuk seorang wakil yang akan mewakilkan mereka untuk beribadah haji dan umrah atas nama mereka.