Tafsir Al Azhar oleh Buya Hamka, Pahami Metode dan Corak Penafsirannya

Latar belakang Tafsir Al Azhar, beserta dengan metode dan corak penafsiran Al Azhar.

oleh Woro Anjar Verianty diperbarui 07 Agu 2023, 10:21 WIB
Diterbitkan 07 Agu 2023, 09:45 WIB
Buya Hamka
Buya Hamka

Liputan6.com, Jakarta Tafsir Al Azhar, sebuah mahakarya intelektual dan keilmuan, adalah hasil dari pemikiran mendalam dan dedikasi ulama besar Indonesia, Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah, atau yang lebih dikenal sebagai Buya Hamka. Karya monumental ini merupakan interpretasi Al-Qur'an yang mencerminkan warisan intelektual dan spiritual Buya Hamka.

Tafsir Al Azhar bukan sekadar penjelasan ayat-ayat Al-Qur'an, melainkan juga mengandung analisis mendalam tentang makna dan pesan yang terkandung di dalamnya. Buya Hamka merangkai interpretasinya dengan keterampilan bahasa Arab yang kuat, serta kekayaan ilmu hadis, fiqih, dan sejarah Islam

Tafsir Al Azhar menjadi salah satu sumbangan terbesar Buya Hamka bagi keilmuan Islam di Indonesia dan dunia. Karya ini tidak hanya mencerminkan pencerahan ilmu keislaman, tetapi juga memperkaya literatur tafsir dalam konteks bahasa dan budaya Indonesia. 

Untuk lebih memahaminya, berikut ini telah Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber pada Senin (7/8/2023). Latar belakang Tafsir Al Azhar, beserta dengan metode dan corak penafsiran Al Azhar.

Latar belakang Tafsir Al Azhar

Buya Hamka dan Siti Raham.
Cicit Buya Hamka, Ali Akbar Hasyemi, membenarkan jenazah almarhum tak dikebumikan di TMP Kalibata melainkan Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir Jakarta.

Tafsir Al Azhar bukanlah hasil sekadar refleksi pikiran, tetapi menemukan akarnya dalam kajian mendalam ayat-ayat Al-Qur'an. Dimulai dari tahun 1959, Buya Hamka menyampaikan ceramah Subuh di Masjid Agung al Azhar. Dari ceramah tersebut, Buya Hamka mulai mengarang Tafsir al-Azhar. Dia menulis setiap pagi setelah salat Subuh. Meskipun tantangan datang berjalan dalam bentuk waktu yang terbatas dan berbagai hambatan, semangatnya tak pernah surut.

Nama "al-Azhar" sendiri memiliki makna yang mendalam. Dinamai demikian karena tempat penafsiran ini terbit adalah Masjid Agung al-Azhar, yang mendapat namanya dari Rektor Universitas al-Azhar Mesir, Syeikh Mahmud Syaltut. Dalam upaya Buya Hamka menggugah pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur'an, Tafsir al-Azhar menjadi cahaya yang menerangi masjid tersebut.

Meski Buya Hamka terjerat dalam jeratan penahanan penguasa Orde Lama pada tahun 1964, hal ini tidak menghentikan semangatnya dalam menulis Tafsir al-Azhar. Bahkan, penahanan tersebut malah memberikan jeda dan kesempatan yang lebih luas bagi Buya Hamka untuk menyempurnakan karya besar ini. Dalam sel tahanan, Buya Hamka terus meramu makna dan memberi kehidupan pada ayat-ayat suci Al-Qur'an.

Dalam waktu dua tahun penahanan tersebut, Buya Hamka meneruskan pembuatan Tafsir al-Azhar. Dan ketika tirai Orde Lama terjatuh dan Orde Baru muncul, Buya Hamka kembali meraih kebebasannya pada tahun 1966. Dalam kebebasan yang baru diperolehnya, Buya Hamka merampungkan penyempurnaan Tafsir al-Azhar yang telah lama digarapnya. Dari sini, lahirlah sebuah karya monumental yang akan melambangkan perjalanan perjuangan dan pemikiran seorang ulama.

Tafsir al-Azhar, dengan semua hikmah yang terkandung di dalamnya, menjadi warisan tak ternilai dari Buya Hamka bagi dunia keilmuan Islam. Karya ini bukan sekadar rangkaian kata-kata, melainkan penjelasan mendalam tentang ajaran Al-Qur'an yang memancarkan cahaya kebenaran dan kebijaksanaan. Tafsir ini menjadi sumber inspirasi dan pengetahuan bagi umat Islam dalam menggali makna-makna Al-Qur'an yang mendalam.

Tafsir al-Azhar adalah bukti nyata bagaimana semangat dan tekad seseorang dalam menyebarkan ilmu dan pengetahuan tidak pernah terhenti oleh apapun. Buya Hamka membuktikan bahwa keterbatasan fisik atau situasi eksternal tidak pernah mampu meredam semangat pengetahuan dan cinta akan Al-Qur'an. Karya ini akan terus bersinar sebagai cahaya ilmu yang mengarahkan umat menuju pemahaman yang lebih mendalam tentang ajaran suci Islam.

 

Metode dan Sistematika Penulisan Tafsir al Azhar

Buya Hamka
Buya Hamka

Tafsir al-Azhar menggunakan metode tahlili. Meskipun menggunakan metode tahlili, yang umumnya merinci aspek makna dan kata per kata, Tafsir al-Azhar menghadirkan pendekatan yang lebih menyeluruh dan fokus pada pemahaman keseluruhan pesan Al-Qur'an.

Metode Tahlili dengan Pendekatan Komprehensif

Metode tahlili adalah pendekatan analitis dalam menafsirkan Al-Qur'an, yang umumnya membahas ayat-ayat secara berurutan sesuai susunan dalam mushaf. Dalam Tafsir al-Azhar, Buya Hamka menggunakan metode tahlili sebagai landasan utama. Namun, yang membedakan adalah fokusnya pada pemahaman menyeluruh dan komprehensif dari ayat-ayat tersebut, tanpa banyak berkutat pada makna kata per kata.

Pendahuluan yang Menyelaraskan Konteks

Sistematika penulisan Tafsir al-Azhar dimulai dengan pendahuluan yang memberikan konteks mengenai surah yang akan ditafsirkan. Buya Hamka menjelaskan arti nama surah, sebab-sebab penamaannya, serta latar belakang asbab al-nuzul (sebab-sebab turunnya ayat). Pendahuluan ini membantu pembaca memahami latar belakang dan konteks surah sebelum memasuki penjelasan ayat-ayat.

Pendekatan Makna dan Petunjuk

Setelah pendahuluan, Buya Hamka memasuki inti penjelasan ayat-ayat. Namun, daripada hanya merinci makna kata per kata, Buya Hamka cenderung memberikan penekanan pada pemahaman makna dan petunjuk yang terkandung dalam ayat secara menyeluruh. Ia menggambarkan esensi dan pesan utama yang ingin disampaikan oleh ayat tersebut.

Penjelasan Tematik

Sistematika penulisan Tafsir al-Azhar mencakup pemberian judul-judul tematik pada kelompok ayat yang berkaitan. Buya Hamka mengelompokkan ayat-ayat yang memiliki kesamaan tema atau topik, dan memberikan judul yang mencerminkan pokok bahasan tersebut. Pendekatan ini membantu pembaca memahami lebih baik struktur dan keterkaitan antara ayat-ayat.

Penegasan Poin-Poin Sentral

Dalam penjelasannya, Buya Hamka tidak jarang menekankan poin-poin sentral yang dianggap penting. Ia mengulang dan merangkum makna pokok dalam ayat-ayat tertentu, memberikan penegasan terhadap pesan-pesan yang ingin disampaikan oleh Al-Qur'an.

Sesudah menjelaskan ayat-ayat, Buya Hamka menyimpulkan makna dan pengajaran yang dapat diambil dari surah tersebut. Kesimpulan ini memberikan poin-poin penting yang ingin disampaikan kepada pembaca, serta memberikan arahan bagi pemahaman lebih lanjut.

Metode dan sistematika penulisan Tafsir al-Azhar menciptakan sebuah cahaya ilmu yang terang benderang, menggambarkan dedikasi Buya Hamka dalam memberikan penjelasan yang luas, mendalam, dan menyeluruh mengenai ayat-ayat Al-Qur'an. 

Pendekatan yang diambil mencerminkan perpaduan antara analisis tahlili dan pemahaman menyeluruh terhadap pesan suci Al-Qur'an. Dalam rangkaian ini, Tafsir al-Azhar tidak hanya menjadi karya penafsiran, melainkan panduan pengetahuan dan spiritual bagi umat Islam.

 

Corak Penafsiran Tafsir al Azhar

Tafsir al-Azhar, sebuah karya ilmiah monumental yang ditinggalkan oleh Buya Hamka, tergolong dalam corak penafsiran budaya kemasyarakatan, sebuah pendekatan yang mendekatkan pesan Al-Qur'an dengan realitas sosial dan budaya masyarakat pada zamannya. Corak ini memungkinkan pemahaman ayat-ayat suci yang lebih mudah diakses dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Tafsir al-Azhar berupaya menghubungkan petunjuk-petunjuk Al-Qur'an dengan masalah-masalah nyata masyarakat, menjadikannya sebagai pedoman dalam mengatasi tantangan sosial dan kultural yang dihadapi oleh umat Islam.

  1. Konteks Sosial dan Kultural: Tafsir al-Azhar berusaha mengaitkan pesan Al-Qur'an dengan kondisi sosial dan budaya masyarakat pada masanya. Buya Hamka menjelaskan ayat-ayat dengan memperhatikan konteks sosial dan tantangan yang dihadapi oleh masyarakat, sehingga pesan-pesan Al-Qur'an dapat diaplikasikan secara konkret dan relevan.
  2. Penyembuhan Masalah Sosial: Tafsir al-Azhar menerapkan pendekatan yang proaktif dalam mengatasi masalah-masalah sosial dan penyakit masyarakat. Buya Hamka menggunakan ayat-ayat Al-Qur'an sebagai sarana untuk memberikan nasihat, solusi, dan panduan dalam menghadapi masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat.

  3. Bahasa yang Mudah Dipahami: Tafsir al-Azhar berfokus pada bahasa yang enak dan mudah dipahami oleh masyarakat luas. Buya Hamka menggunakan bahasa yang sederhana dan jelas agar pesan-pesan Al-Qur'an dapat dijangkau dan dipahami oleh berbagai lapisan masyarakat.

  4. Pendorong Kebaikan dan Kemajuan: Tafsir al-Azhar berusaha untuk mendorong masyarakat menuju kebaikan dan kemajuan. Buya Hamka menjadikan Al-Qur'an sebagai sumber inspirasi dan panduan untuk membangun masyarakat yang lebih baik dan harmonis.

  5. Kaitan dengan Fiqih dan Lainnya: Meskipun berfokus pada corak budaya kemasyarakatan, Tafsir al-Azhar juga memberikan penjelasan terkait dengan aspek-aspek lain seperti fiqih, tasawuf, dan ilmu-ilmu lainnya. Namun, penjelasan ini selalu dikaitkan dengan tujuan utama, yaitu memberikan pemahaman Al-Qur'an yang relevan dengan kehidupan sosial masyarakat.

Corak penafsiran budaya kemasyarakatan, yang hadir dalam Tafsir al-Azhar, tidaklah terisolasi. Sebagai bagian dari tradisi penafsiran Islam, pendekatan ini telah diembangkan oleh ulama sebelumnya seperti Muhammad Abduh dan Rashid Rida. Buya Hamka melanjutkan dan mengembangkan tradisi ini dengan fokus pada penyampaian pesan-pesan Al-Qur'an dalam konteks sosial masyarakat Indonesia.

Dengan corak penafsiran budaya kemasyarakatan, Tafsir al-Azhar menjadi sebuah sumber ilmu yang merangkul dimensi sosial dan kultural. Karya ini tidak hanya berbicara kepada individu-individu tertentu, tetapi juga memancarkan cahaya ilmu yang mampu menerangi jalan menuju kebaikan dan harmoni bagi seluruh masyarakat. Tafsir al-Azhar tetap relevan hingga kini, mengingat tantangan dan perubahan zaman yang terus berkembang.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya