Prof. DR. H. Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan nama pena Buya Hamka adalah seorang sastrawan asal Indonesia. Pria yang lahir pada tanggal 17 Februari 1908 ini juga aktif sebagai seorang ulama dan pengajar.
Selain aktif sebagai sastrawan dan ulama, ia juga berkecimpung di partai politik Masyumi dan pernah menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia dan aktif juga di Muhammadiyah.
Sosoknya yang begitu berpengaruh membuat ia mendapatkan gelar doktor kehormatan di Universitas Al-Azhar, Kairo dan Universitas Nasional Malaysia. Selain itu, Universitas Moestopo Jakarta menganugerahkannya sebagai guru besar.
Lahir dan besar di dusun Nagari, Sungai Batang, Hamka yang gemar melakukan perjalanan jauh sudah merantau ke pulau Jawa di usia 16 tahun. Ia sudah mahir bahasa Arab sedari muda dan mendalami sejarah islam juga dunia sastra secara otodidak.
Beberapa karyanya yang cukup termahsyur adalah Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, Tafsir Al-Azhar dan Di Bawah Lindungan Ka'bah.
Beban Menerjemahkan Karya Buya Hamka
Pevita Pearce tengah sibuk mempersiapkan film terbarunya berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Film itu merupakan adaptasi dari karya novel Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang lebih dikenal Buya Hamka dengan judul yang sama.
"Dua hari lagi syutingnya baru selesai. Syutingnya yang di luar kota itu di Padang, Makasar, Jakarta dan Surabaya," kata Pevita ditemui di Gandaria City, Jakarta Selatan, Kamis (3/10/2013) malam.
Terlibat di dalam film itu bikin Pevita punya beban saat memerankan tokoh Hayati. Apa pasal? Ya, novel yang pertama kali dicetak pada 1938 ini terbilang karya terbaik Hamka dan sudah mengalami cetak ulang sampai 22 kali.
"Sedikit ada beban sih. Tapi aku hanya lakukan yang terbaik. Aku memberikan 100 persen kemampuanku untuk film ini," tutur cewek kelahiran 6 Oktober 1992 ini.
Belajar Banyak dari Buya Hamka
Relasi antara Hamka dengan Pramoedya diwarnai pertentangan mengenai ideologi dan pemikiran budaya. Perbedaan visi, saling kritik, dan perang ideologi keduanya berlangsung sejak era Orde Lama hingga lahirnya Orde Baru.
Melalui harian Bintang Timur, dalam Lembaran Lentera yang diasuh oleh Pram, karya-karya Hamka menjadi bahan kajian kritis. Salah satu kritik tajam adalah tudingan bahwa Hamka melakukan plagiasi. Novel Hamka, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck disebut sebagai jiplakan dari novel Magdalena karya Mustafa Lutfi Al-Manfaluthi, seorang penulis Mesir.
Dalam sebuah ulasan, Hamka juga disebut mencuri karangan Alvonso Care, seorang pujangga Perancis. Polemik berlangsung keras. Banyak orang percaya, sudah bersifat personal.
Setelah Gerakan 30 September meletus, Pram ditahan di Pulau Buru selama belasan tahun. Dari tanah pengasingan itu, Pram justru menyelesaikan karya-karya monumentalnya seperti tetralogi Bumi Manusia. Dibebaskan dari Pulau Buru pada 1979, Pramoedya tak menjalin kontak lagi dengan Hamka.
Berita Terbaru
Lindungi Pekerja Migran Indonesia, PKB Minta Presiden Prabowo Contoh Gus Dur
Pasca-Insiden Pesawat American Airlines dan Helikopter Black Hawk, Bandara Ronald Reagan Ditutup Sementara
Ciri Batu Badar Lumut Asli: Panduan Lengkap Mengenali Keunikannya
Kenali 10 Tanda Si Dia Benar-Benar Menyukaimu Menurut Ahli
Daftar Lengkap Tim yang Lolos ke Babak 16 Besar Liga Europa, Salah Satunya Manchester United
Ancaman Tarif Dagang Donald Trump Batasi Kenaikan Harga Minyak
Daya Tarik BXSea Bintaro, Wisata Aquarium Menarik di Tangerang
350 Caption Hari Jumat Islami Penuh Berkah dan Inspirasi
6 Potret Ashanty di 4 Bulanan Aaliyah Massaid, Penampilan Berhijab Banjir Pujian
Zsa Zsa Utari Bagikan Reaksinya di Adegan Panas Serial Scandal 3: The Final & Sexiest
Arti Stay Safe: Makna Mendalam di Balik Ungkapan Sederhana
Puan Maharani & Ketua Parlemen Singapura Bahas Kerja Sama Strategis untuk Perkuat Hubungan Bilateral