Liputan6.com, Jakarta Inflasi adalah suatu kondisi ekonomi di mana harga-harga barang dan jasa meningkat secara umum dalam suatu perekonomian selama jangka waktu tertentu. Fenomena ini menyebabkan penurunan nilai uang atau daya beli, sehingga jumlah uang yang sama tidak dapat membeli barang dan jasa sebanyak sebelumnya. Â
Advertisement
Baca Juga
Dalam perjalanan sejarah perekonomiannya, Indonesia telah menghadapi beberapa periode inflasi yang signifikan. Salah satu periode inflasi yang pernah terjadi di Indonesia yang paling mencolok terjadi pada pada tahun 1965, di mana Indonesia mengalami tingkat inflasi yang mencapai lebih dari 600 persen.
Advertisement
Inflasi yang pernah terjadi di Indonesia umumnya dipengaruhi oleh faktor-faktor politis dan sosial yang menyebabkan gejolak ekonomi. Akibatnya nilai uang merosot dan daya beli masyarakat pun menurun. Berikut ulasan lebih lanjut tentang inflasi yang pernah terjadi di Indonesia yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Kamis (25/1/2024).
Inflasi Masa Awal Kemerdekaan
Pada masa awal kemerdekaan Indonesia melalui tiga fase perekonomian, yaitu penataan ekonomi pasca-kemerdekaan, penguatan pilar ekonomi, dan krisis yang mengakibatkan inflasi tinggi. Pada awal kemerdekaan, kondisi perekonomian Indonesia sangat memprihatinkan, terutama ditandai oleh kenaikan biaya hidup hingga 100 persen pada tahun 1950. Kenaikan harga bahan pangan juga berdampak pada upah para pegawai dan buruh, menciptakan situasi yang sulit bagi masyarakat.
Salah satu penyebab inflasi pada masa itu adalah beredarnya tiga jenis mata uang yang tidak terkendali di pasaran, menciptakan ketidakstabilan nilai uang. Mata uang yang berlaku pada awal kemerdekaan mencakup uang kertas De Javasche Bank, uang kertas dan logam milik pemerintah Hindia Belanda yang sudah disiapkan oleh Jepang, serta uang kertas milik Jepang.
Pada tahun 1961,pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,74 persen, namun mengalami penurunan drastis menjadi 2,24 persen pada tahun 1963. Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp 1.565,6 miliar menyebabkan inflasi tinggi atau hiperinflasi mencapai 600 persen pada tahun 1965. Presiden Soekarno mengambil beberapa kebijakan untuk mengatasi inflasi, termasuk menurunkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, membekukan Giro dan Deposito di atas Rp 25.000, redenominasi mata uang, dan melakukan sanering terhadap nilai uang kertas.
Upaya pemerintah dalam menangani inflasi pada awal kemerdekaan mencerminkan kompleksitas tantangan ekonomi yang dihadapi. Kebijakan-kebijakan tersebut, meskipun diambil dengan niat untuk mengendalikan inflasi, tidak selalu memberikan hasil yang diinginkan. Sejarah inflasi ini menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia dalam merancang kebijakan ekonomi yang lebih efektif dan berkelanjutan di masa depan, dengan mempertimbangkan pengalaman masa lalu.
Advertisement
Inflasi Era Orde Baru
Era Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, yang menjabat sebagai Presiden Indonesia selama 32 tahun (1966-1998), mencatat sejumlah peristiwa signifikan dalam sejarah ekonomi Indonesia. Meskipun awalnya mengalami kondisi perekonomian yang sulit, terutama pada periode awal kepemimpinannya, Soeharto berhasil mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang membawa pertumbuhan ekonomi Indonesia ke tingkat yang tinggi.
Pada tahun 1967, Soeharto meresmikan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967, tentang Penanaman Modal Asing, membuka pintu bagi investor asing untuk menanam modal di Indonesia. Langkah ini diikuti oleh program Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang diluncurkan pada tahun berikutnya, fokus pada mencapai swasembada dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Repelita berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 10,92 persen pada tahun 1970.
Perekonomian Indonesia terus berkembang positif hingga tahun 1997, dengan pertumbuhan stabil di kisaran 6 persen hingga 7 persen. Namun, kebijakan ekonomi yang cenderung terpusat pada pemerintah menyebabkan struktur ekonomi menjadi rapuh. Pada 1998, ketika terjadi gejolak ekonomi global, struktur ekonomi yang lemah tidak mampu menopang perekonomian nasional.
Krisis ekonomi yang mencapai puncaknya pada 1998 menyebabkan inflasi mencapai tingkat yang mencemaskan, mencapai 80 persen. Bank Indonesia, pada saat itu, meskipun telah berdiri, tidak mampu secara efektif menahan gejolak moneter. Krisis ini tidak hanya menciptakan inflasi yang tinggi tetapi juga mengejutkan pertumbuhan ekonomi hingga mencatat angka minus 13,3 persen.
Peristiwa tersebut mencerminkan tantangan yang dihadapi oleh perekonomian Indonesia di era Orde Baru. Meskipun mencatat prestasi pertumbuhan ekonomi yang signifikan dalam beberapa dekade pertama, struktur ekonomi yang rapuh dan terpusat pada pemerintah membawa dampak negatif saat krisis global melanda. Pengalaman ini menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia, menekankan pentingnya diversifikasi ekonomi, keberlanjutan, dan kewaspadaan terhadap faktor-faktor eksternal yang dapat memengaruhi perekonomian nasional.
Inflasi Pasca Reformasi (1999-2019)
Era reformasi di Indonesia yang menandai berakhirnya era Orde Baru, membawa perubahan signifikan dalam dinamika ekonomi negara. Presiden yang memimpin selama periode reformasi memberikan kontribusi berbeda terhadap kondisi ekonomi, termasuk menghadapi tantangan inflasi yang muncul dari waktu ke waktu.
Pada awal reformasi, BJ Habibie yang menggantikan Soeharto sebagai presiden, berhasil memulihkan perekonomian yang sebelumnya mencatat pertumbuhan negatif sebesar minus 13,3 persen pada 1998. Dengan kebijakan-kebijakan yang tepat, pertumbuhan ekonomi meningkat menjadi 0,79 persen pada 1999. Upaya ini juga tercermin dalam penguatan nilai kurs rupiah dari Rp 16.650 per dolar AS menjadi Rp 7.000 per dolar AS pada November 1998.
Presiden selanjutnya, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, melanjutkan upaya untuk mendongkrak ekonomi pasca-krisis 1998. Penerapan kebijakan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi menjadi 4,92 persen pada 2000. Namun, kendati berhasil meningkatkan pertumbuhan, Gus Dur menghadapi tantangan pada tahun 2001 dengan terjadinya inflasi sebesar 1,62 persen.
Di bawah kepemimpinan Megawati Soekarnoputri, Indonesia mengalami beberapa kali inflasi, terutama pada Oktober 2003. Meskipun inflasi terjadi di beberapa kota, kondisi ekonomi tetap cenderung positif. Pada masa ini, berbagai kelompok barang dan jasa mengalami kenaikan harga, menciptakan tantangan dalam menjaga stabilitas harga.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membawa inflasi pada tingkat sekitar 2 persen selama pemerintahannya. Meskipun terdampak oleh krisis finansial global pada 2008, Indonesia berhasil mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil. Pada tahun-tahun tertentu, pertumbuhan ekonomi mencapai di atas 6 persen, dan meski melambat pada 2009, Indonesia masih mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang masuk dalam tiga terbaik di dunia.
Pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo, pertumbuhan ekonomi melemah menjadi 4,88 persen. Inflasi yang tercatat sebesar 3,61 persen pada tahun 2017 dan dianggap sebagai tingkat yang masih moderat oleh para ahli.Â
Advertisement
Inflasi Covid-19 2020
Tahun 2020 menjadi tahun yang penuh tantangan bagi perekonomian Indonesia, diwarnai oleh dampak pandemi Covid-19 yang melanda dunia. Data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan dikutip dari laman resmi Kementerian Keuangan mengindikasikan bahwa Indonesia mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi sebesar -2,07 persen pada tahun tersebut.
Pandemi Covid-19 menjadi pemicu utama kontraksi ekonomi tersebut, dengan pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang memaksa sejumlah kota menerapkan lockdown guna memutus mata rantai penyebaran virus. Dampaknya terasa signifikan, terutama dalam hal penurunan perekonomian yang menyebabkan berbagai perusahaan menghadapi kesulitan, bahkan mengakibatkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena tidak mampu membayarkan upah karyawan.
Dalam konteks inflasi tahun 2020, data menunjukkan bahwa sebagian besar peningkatan laju inflasi disebabkan oleh kelompok makanan, minuman, dan tembakau, dengan andil sebesar 0,19 persen. Pandemi memberikan tekanan pada rantai pasokan dan distribusi, yang pada gilirannya mempengaruhi ketersediaan dan harga bahan pangan. Tingkat inflasi dari sektor lain juga mencapai 3,63 persen, mencerminkan ketidakstabilan ekonomi yang melibatkan berbagai sektor.
Kelompok perawatan pribadi dan jasa lainnya juga turut berkontribusi terhadap keseluruhan inflasi, dengan andil sebesar 0,35 persen dan tingkat inflasi mencapai 5,8 persen. Kenaikan harga dalam sektor ini mungkin terkait dengan peningkatan biaya operasional dan ketersediaan produk atau layanan yang terbatas selama masa pembatasan.
Kondisi inflasi yang terjadi pada tahun 2020 mencerminkan dinamika ekonomi yang dipengaruhi oleh faktor kesehatan masyarakat. Sementara langkah-langkah pemerintah seperti PSBB diambil untuk melindungi kesehatan publik, dampak ekonomi yang timbul menjadi salah satu tantangan serius. Analisis terhadap faktor-faktor penyebab inflasi tersebut penting untuk menyusun kebijakan yang tepat dalam menghadapi kondisi serupa di masa mendatang.