Pengusaha Benang dan Konveksi: Industri Tekstil Nasional Runtuh Akibat Pemerintah Pro-Impor

Ketua Umum Ikatan Pengusaha Konveksi Berkarya (IPKB), Nandi Herdiaman, mengungkapkan bahwa jumlah perusahaan tekstil yang tutup bukan hanya perusahaan besar, tetapi juga industri kecil dan menengah (IKM).

oleh Tira Santia Diperbarui 10 Mar 2025, 11:45 WIB
Diterbitkan 10 Mar 2025, 11:45 WIB
Pabrik Tekstil
Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Bea Cukai menyatakan fasilitas kawasan berikat telah berdampak positif terhadap pertumbuhan perekonomian Indonesia. Faktanya, fasilitas ini telah memainkan peran penting dalam mendukung dan memajukan industri tekstil di Indonesia. (Dok. Istimewa)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Kalangan pertekstilan nasional meminta pertanggung jawaban pemerintah atas terjadinya PHK dan penutupan 60 perusahaan TPT termasuk yang terakhir Sritex.

Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, menegaskan bahwa dalam 2 tahun pemerintah telah membiarkan sektor tekstil dalam tekanan akibat masuknya produk impor secara masif.

Redma menjelaskan bahwa pemerintah sudah sangat paham jika permasalahan utama sektor TPT adalah banjirnya barang impor murah yang masuk baik secara legal maupun ilegal.

"Jadi, kan solusinya sudah jelas, kendalikan impor legal dan berantas praktik importasi ilegal, dalam hal ini penegakan hukum dan perbaikan kinerja bea cukai," ujar Redma, Senin (10/3/2025).

Namun, langkah pemerintah dalam mengendalikan impor dinilai setengah hati. Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) 36 Tahun 2023 yang awalnya bertujuan membatasi impor hanya bertahan tiga bulan sebelum, akhirnya direvisi menjadi Permendag 8 Tahun 2024 yang kembali melonggarkan aturan impor.

“Apa lagi yang ilegal, pemerintah tutup mata bahkan enggan mengakuinya, seakan semua baik-baik saja, padahal mudah dilihat kasat mata," ujarnya.

Industri Kecil Menengah Lebih Terpukul

Ketua Umum Ikatan Pengusaha Konveksi Berkarya (IPKB), Nandi Herdiaman, mengungkapkan bahwa jumlah perusahaan yang tutup bukan hanya perusahaan besar, tetapi juga industri kecil dan menengah (IKM).

“IKM yang tutup saja jumlahnya hampir mencapai 1000 unit dengan tenaga kerja yang kehilangan pekerjaan mencapai ratusan ribu orang," kata Nandi.

Nandi juga mengecam kebijakan pemerintah, terutama kinerja Menteri Keuangan, yang dinilai membiarkan buruknya pengawasan terhadap Bea Cukai.

“Ibu Menteri membiarkan jajarannya menjalankan praktik impor borongan, padahal negara sedang membutuhkan pendapatan untuk menjalankan program-programnya, tapi barang impor dibiarkan masuk tanpa membayar bea masuk dan pajak” ujar Nandi.

 

Birokrasi Pro-Impor

Kemenperin Akan Tingkatkan Daya Saing Industri Tekstil
Aktivitas jual beli bahan kain di Pasar Tanah Abang, Jakarta, Kamis (1/4/2021). Kemenperin ingin meningkatkan daya saing industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) nasional, salah satunya dengan berupaya mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku tekstil impor. (Liputan6.com/Johan Tallo)... Selengkapnya

Menurut Nandi, salah satu penyebab utama runtuhnya industri tekstil nasional adalah praktik korupsi di dalam birokrasi pemerintahan yang pro-impor.

“Permasalahan banjir impor ini memang sengaja dibiarkan karena memang banyak oknum birokrasi dipemerintahan mendapatkan keuntungan dari praktik ilegal ini, kami harap Presiden Prabowo segera membersihkannya," ujarnya.

Hal senada disampaikan Direktur Eksekutif Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Rayon Tekstil, Agus Riyanto, menilai bahwa Presiden Prabowo harus memulai reformasi dari Kementerian Koordinator Perekonomian dan Kementerian Keuangan.

“Agenda pengendalian impor selalu dihambat disini, bahkan sudah rahasia umum jika relaksasi impor yang mengubah Permendag 36 2023 didorong dari Kementerian ini," ujar Agus.

 

Peran Bea Cukai

Agus juga menyoroti peran Bea Cukai yang selama ini menjadi muara praktik impor ilegal. Menurutnya, reformasi menyeluruh harus dilakukan, bahkan jika perlu, Bea Cukai dibekukan seperti pada era Orde Baru dan diganti dengan sistem Pre-shipment Inspection (PSI).

“Kedua kementerian ini menjadi biang kerok runtuhnya industri manufaktur padat karya, khususnya industri TPT nasional,” tambahnya.

“Ironi di negeri kita yang para pejabatnya tidak tahu malu meski menjadi penyebab ratusan ribu rakyatnya kelihangan pekerjaan” pungkasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya