Liputan6.com, Jakarta Perjanjian Roem-Royen merupakan kesepakatan antara Belanda dengan pemerintah Republik Indonesia yang dilakukan pada tanggal 7 Mei 1949. Kesepakatan ini melibatkan kedua belah pihak, untuk mengakhiri Perang Kemerdekaan Indonesia dan Belanda yang sudah berlangsung selama cetusan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945.
Perjanjian Roem-Royen dan sejarahnya diawali dengan perundingan antara kedua belah pihak, untuk mencapai kesepakatan damai. Dalam perundingan ini, Pemerintah Belanda menyepakati kembalinya pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta, setelah sebelumnya mengungsikan pemerintah RI ke Sumatera selama beberapa bulan.
Advertisement
Perjanjian Roem-Royen dan sejarahnya memiliki dampak, yaitu tercapainya perdamaian antara Indonesia dan Belanda, serta kembalinya pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta sebagai ibu kota negara. Kesepakatan ini juga membantu memperkuat legitimasi Indonesia sebagai negara merdeka di mata internasional.
Advertisement
Selain itu, Perjanjian Roem Royen juga menetapkan penarikan pasukan Belanda dari Yogyakarta dan kedaulatan Republik Indonesia di Yogyakarta akan dipulihkan. Hal ini menandai akhir dari Agresi Militer Belanda II dan mengembalikan kekuasaan penuh, kepada pemerintah Republik Indonesia di Yogyakarta. Berikut ini perjanjian Roem-Royen dan sejarahnya yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Kamis (29/2/2024).
Isi Perjanjian Roem Royen
Serangan umum pada tanggal 1 Maret 1949 secara dramatis, membuka mata dunia terhadap ketidakbenaran propaganda yang telah digunakan oleh Belanda dalam konteks konflik dengan Indonesia. Dengan panduan dan dorongan dari Dewan Keamanan PBB dan UNCI, terjadi pembukaan kembali perundingan antara kedua pihak yang terlibat.
Pada tanggal 14 April 1949, perundingan pun dilangsungkan di Hotel des Indes Jakarta, yang dipimpin oleh Merle Cochran sebagai perwakilan PBB. Delegasi Indonesia yang diketuai oleh Mr. Mohammad Roem dan Mr. Ali Sastroamidjojo, melibatkan tokoh-tokoh seperti Dr. Leimena, Ir. Juanda, Prof. Dr. Soepomo, Mr. A.K. Pringgodigdo dan Mr. Latuharhary. Di sisi Belanda, perundingan diwakili oleh Dr. J.H. Van Roijen, bersama dengan anggotanya yaitu Mr. N.S. Blom, Mr. A.S. Jacob, dan R.J.J. Van Der Velde.
Hasil dari perundingan yang sengit ini akhirnya terwujud dalam penandatanganan perjanjian pada tanggal 7 Mei 1949. Meskipun dinamakan sebagai perjanjian yang "alot," sebenarnya isi perjanjian ini mencerminkan kesediaan kedua belah pihak untuk mencapai rekonsiliasi dan perdamaian. Perjanjian tersebut tidak hanya menjadi simbol kesungguhan dalam mencapai penyelesaian konflik, tetapi juga menetapkan landasan bagi hubungan lebih baik antara Indonesia dan Belanda di masa depan.
Pihak delegasi Indonesia dalam perjanjian tersebut menyatakan kesediaannya untuk:
- Mengeluarkan perintah kepada “pengikut Republik yang bersenjata” untuk menghentikan perang gerilya.
- Melakukan kerja sama dalam mengembalikan perdamaian, serta menjaga ketertiban dan keamanan.
- Turut serta dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, dengan maksud untuk mempercepat penyerahan kedaulatan yang serius dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat.
Pihak delegasi Belanda dalam perjanjian itu menyatakan kesediaannya untuk:
- Menyetujui kembalinya pemerintahan Indonesia ke Yogyakarta.
- Menjamin penghentian gerakan-gerakan militer dan membebaskan semua tahanan politik.
- Tidak akan mendirikan atau mengakui negara-negara yang ada di daerah yang dikuasai oleh RI sebelum tanggal 19 Desember 1949, dan tidak akan meluaskan negara atau daerah dengan merugikan Republik.
- Menyetujui adanya RI sebagai bagian dari Negara Indonesia Serikat.
- Berusaha dengan sesungguh-sungguhnya supaya KMB segera diadakan setelah pemerintah Republik kembali ke Yogyakarta.
Advertisement
Latar Belakang Perjanjian Roem Royen
Meskipun kemerdekaan Indonesia telah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, kondisi negara ini masih belum stabil. Pasukan sekutu dari Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) di bawah kepemimpinan Sir Philip Christisson tiba tidak lama setelah proklamasi kemerdekaan. Tujuan mereka termasuk melucuti senjata tentara Jepang, menegakkan dan mempertahankan keadaan damai, serta menyerahkan pemerintahan kepada pemerintah sipil. Namun, Belanda menyusup dengan menggunakan nama Netherlands Indies Civil Administration (NICA).
Partisipasi Belanda dalam AFNEI sebenarnya memiliki agenda tersembunyi, yakni menginginkan kembali pengendalian atas Indonesia, wilayah yang sebelumnya mereka kuasai sebelum Perang Dunia II melawan Jepang. Peristiwa ini memicu perjuangan panjang bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaannya, melibatkan serangkaian perundingan dan perjanjian dengan Belanda yang sering kali dilanggar. Salah satu perjanjian awal setelah kedatangan Belanda kembali adalah Perjanjian Linggarjati, yang diselenggarakan pada 15 November 1946, dan ditandatangani pada 25 Maret 1947. Namun, perjanjian ini tidak bertahan lama karena Belanda melanggarnya dengan melancarkan Agresi Militer Belanda I pada 20 Juli 1947.
Tindakan ini mendapat kecaman dari dunia internasional yang mengecam pelanggaran gencatan senjata yang disponsori oleh Dewan Keamanan PBB dan Komisi Tiga Negara (Belgia, Amerika Serikat, dan Australia). Amerika Serikat akhirnya mendorong Indonesia dan Belanda untuk melakukan perundingan serius. Perundingan Renville yang dimulai pada 8 Desember 1947, menghentikan Agresi Militer Belanda I. Namun, Belanda kembali melanggar kesepakatan dengan melancarkan Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948, dengan Yogyakarta sebagai sasarannya.
Selama serangan Agresi Militer Belanda II, para pemimpin Indonesia diasingkan dari Jawa, termasuk Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Meskipun begitu, Indonesia tidak menyerah. Pemerintahan dialihkan kepada Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang bermarkas di Bukittinggi, Sumatera Barat. Pada 1 Maret 1949, terjadi serangan umum oleh tentara Indonesia terhadap Belanda. Yogyakarta, yang sebelumnya diduduki oleh Belanda, berhasil direbut kembali dan berhasil dipertahankan selama 6 jam, menunjukkan eksistensi dan ketangguhan Indonesia.
Serangan ini merugikan posisi politik Belanda di mata dunia. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan banyak negara internasional mengutuk tindakan Belanda. Pada saat yang sama, tekanan internasional memaksa Belanda untuk mengikuti anjuran PBB dan kembali ke meja perundingan. Perundingan antara Indonesia dan Belanda dipimpin oleh Merle Cochran di Hotel des Indes, Jakarta. Pada 7 Mei 1949, perjanjian Roem Royen ditandatangani, mengamanatkan pengembalian pemimpin Republik Indonesia, termasuk yang ditahan, ke Yogyakarta. Kedua belah pihak sepakat untuk mengadakan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, pada tahun yang sama. Keputusan Indonesia untuk mengikuti perundingan selanjutnya tidak diambil tanpa syarat. Pemerintah Indonesia menuntut penarikan mundur tentara Belanda di sekitar Yogyakarta, dan Belanda setuju. Pada 2 Juni 1949, wilayah Yogyakarta ditarik mundur dari tentara Belanda di bawah pengawasan United Nations Commissioner for Indonesia (UNCI). Kota ini dipilih sebagai tempat pengosongan karena saat itu menjadi ibu kota sementara Indonesia.
Setelah Peristiwa Perjanjian Roem Royen
Agresi Militer Belanda II menimbulkan tekanan yang signifikan dari dunia internasional terhadap pemerintah Belanda. Dampak serius dari kritik global ini akhirnya mendorong Belanda untuk mengambil langkah-langkah konstruktif dalam menyelesaikan konflik dengan Indonesia. Puncaknya terjadi dengan disetujuinya perundingan baru yang menghasilkan perjanjian Roem Royen. Proses ini menjadi langkah awal menuju pemulihan hubungan antara kedua negara.
Perjanjian Roem Royen yang ditandatangani pada 7 Mei 1949, tidak hanya menandai kesediaan Belanda untuk berdamai, tetapi juga membuktikan keterbukaan mereka untuk mematuhi janji dan kesepakatan dengan pemerintah Indonesia. Hasil dari perjanjian ini adalah pengembalian pemerintahan Republik Indonesia ke Yogyakarta pada tanggal 24 Juni 1949, dan penarikan mundur pasukan Belanda dari Yogyakarta pada 1 Juli 1949.
Pemindahan pemerintahan ke Yogyakarta membuka jalan menuju pembahasan mengenai penghentian permusuhan antara kedua pihak. Pada 6 Juli 1949, Presiden Soekarno dan Mohammad Hatta, yang sebelumnya diasingkan dari pulau Jawa, kembali ke Yogyakarta. Perlu dicatat bahwa sebelumnya, Mohammad Hatta telah menunjuk Sjafruddin Prawiranegara sebagai Presiden Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) pada 22 Desember 1948.
Langkah berikutnya dalam proses rekonsiliasi adalah dimulainya gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia pada 3 Agustus 1949, yang berlaku di Jawa dan Sumatera. Walaupun Konferensi Meja Bundar berhasil mencapai kesepakatan dalam pertemuan tersebut, masih ada isu yang belum terselesaikan, yaitu masalah Papua-Belanda.
Advertisement