Tradisi Lebaran di Aceh, Warisan Budaya yang Kaya Makna dan Nilai

Tradisi-tradisi lebaran di Aceh mencerminkan harmoni antara nilai-nilai Islam dan kearifan lokal masyarakat setempat.

oleh Woro Anjar Verianty diperbarui 31 Jan 2025, 11:00 WIB
Diterbitkan 31 Jan 2025, 11:00 WIB
Menikmati Libur Lebaran 2023 di Masjid Raya Baiturrahman Aceh
Masjid Raya Baiturrahman merupakan simbol agama, budaya, dan perjuangan masyarakat Aceh. (AFP/CHAIDEER MAHYUDDIN)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta Setiap daerah di Indonesia memiliki keunikan tersendiri dalam merayakan hari raya Idul Fitri, dan tradisi lebaran di Aceh merupakan salah satu yang paling kaya akan nilai budaya dan religious. Dengan beragam ritual dan kebiasaan yang telah diwariskan secara turun-temurun, tradisi lebaran di Aceh mencerminkan harmoni antara nilai-nilai Islam dan kearifan lokal masyarakat setempat.

Masyarakat Aceh dikenal sangat menjunjung tinggi tradisi lebaran di Aceh sebagai momentum untuk mempererat tali silaturahmi dan berbagi kebahagiaan. Beberapa tradisi unik seperti Meugang, Teumeutuk, dan Meuleumak menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan lebaran yang memberikan warna tersendiri bagi kehidupan sosial masyarakat Aceh.

Keberadaan berbagai tradisi lebaran di Aceh tidak hanya sekadar ritual tahunan, tetapi juga menjadi media untuk melestarikan nilai-nilai luhur yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat. Setiap tradisi memiliki makna dan filosofi mendalam yang mencerminkan karakter dan identitas masyarakat Aceh yang religius dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan.

Lebih jelasnya, berikut ini telah Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber tradisi-tradisi lebaran di Aceh, pada Jumat (31/1).

Tradisi Meugang: Ritual Menjelang Lebaran

Tradisi Meugang
Setiap kali menjelang Bulan Suci Ramadhan, masyarakat Aceh akan menyambut bulan penuh berkah dengan cara khas, yakni tradisi mameugang atau... Selengkapnya

Meugang merupakan salah satu tradisi paling penting dalam rangkaian perayaan lebaran di Aceh. Tradisi yang telah ada sejak masa Kerajaan Aceh Darussalam ini dilaksanakan dua hari sebelum hari raya Idul Fitri. Kata "gang" dalam bahasa Aceh berarti pasar, yang mencerminkan ramainya aktivitas jual beli menjelang perayaan ini.

Sejarah mencatat bahwa tradisi Meugang mulai berkembang sekitar abad ke-14 M, bersamaan dengan penyebaran agama Islam di Aceh. Pada masa kerajaan, Sultan Iskandar Muda menginisiasi tradisi ini sebagai wujud rasa syukur menyambut datangnya hari raya. Bahkan, Denys Lombard dalam bukunya "Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda" mencatat adanya ritual khusus seperti peletakan karangan bunga di makam para sultan sebagai bagian dari upacara Meugang.

Dalam pelaksanaannya, Meugang tidak hanya sekadar tradisi membeli dan memasak daging, tetapi juga mengandung nilai-nilai sosial yang dalam. Masyarakat Aceh akan berbondong-bondong menuju pusat-pusat penjualan daging sapi, meskipun harganya bisa melonjak hingga dua kali lipat dari harga normal. Kegiatan ini menjadi momen penting untuk berkumpul bersama keluarga dan berbagi dengan kaum duafa.

Setiap daerah di Aceh memiliki variasi masakan khas Meugang yang berbeda-beda. Di Pidie, Bireun, dan Aceh Utara, daging diolah menjadi kari dan sop dengan cita rasa khas. Sementara di Aceh Besar, masyarakat lebih suka mengolah daging menjadi sie reuboh (daging yang dimasak dengan cuka), rendang, dan masakan khas lainnya.

 

Tradisi Teumeutuk: Silaturahmi Pengantin Baru

Teumeutuk atau yang juga dikenal sebagai Tamuntuak dalam bahasa Aneuk Jamee merupakan tradisi unik yang khusus dilakukan oleh pengantin baru saat lebaran. Tradisi ini menjadi bagian penting dalam rangkaian silaturahmi lebaran yang memiliki nilai sosial dan kekeluargaan yang tinggi.

Dalam pelaksanaannya, Teumeutuk memiliki aturan dan tata cara yang khas. Pasangan pengantin baru akan mengunjungi rumah keluarga dan kerabat, baik dari pihak suami maupun istri. Saat berkunjung, mereka akan menerima hadiah berupa uang dari para perempuan yang sudah menikah di setiap rumah yang dikunjungi. Tradisi ini biasanya dilakukan pada tahun pertama pernikahan dan berlangsung selama beberapa hari setelah lebaran.

Menariknya, tradisi ini berlaku untuk kedua belah pihak. Seorang istri yang baru menikah akan mendapat hadiah saat berkunjung ke keluarga suami, begitu pula sebaliknya. Jumlah uang yang diberikan tidak ditentukan, melainkan disesuaikan dengan kemampuan finansial pemberi. Yang terpenting adalah nilai silaturahmi dan penghormatan terhadap anggota baru dalam keluarga.

Di zaman modern, meski tetap dilestarikan, tradisi Teumeutuk mengalami beberapa perubahan. Jika dahulu pasangan pengantin baru akan mengunjungi semua kerabat tanpa perlu diundang, kini ada yang harus diberitahu atau bahkan diundang terlebih dahulu. Hal ini mencerminkan perubahan dinamika sosial masyarakat Aceh modern.

Tradisi Meuleumak: Memasak dan Berbagi Bersama

Meuleumak merupakan tradisi yang khas dilakukan oleh masyarakat Aceh, terutama di Kabupaten Pidie dan Pidie Jaya. Tradisi ini menunjukkan semangat gotong royong dan berbagi dalam masyarakat Aceh saat merayakan Idul Fitri.

Dalam pelaksanaan Meuleumak, masyarakat akan memasak dalam porsi besar secara bersama-sama. Makanan yang dimasak kemudian dibagikan ke rumah-rumah warga dan disantap bersama di meunasah (musholla). Kegiatan ini tidak hanya menjadi sarana berbagi makanan, tetapi juga mempererat tali silaturahmi antar warga.

Tradisi ini mencerminkan nilai-nilai kebersamaan dan kepedulian sosial yang masih terjaga dalam masyarakat Aceh. Meuleumak menjadi media untuk saling berbagi kebahagiaan dan keberkahan di hari yang fitri, sekaligus memperkuat ikatan sosial dalam komunitas.

Nilai-Nilai dan Makna Filosofis Tradisi Lebaran di Aceh

Berbagai tradisi lebaran di Aceh tidak hanya sekadar ritual tahunan, tetapi mengandung nilai-nilai luhur yang mendalam. Nilai kebersamaan, gotong royong, dan kepedulian sosial tercermin dalam setiap tradisi yang dilakukan.

Tradisi-tradisi ini juga menjadi sarana untuk menjaga silaturahmi dan memperkuat ikatan kekeluargaan. Melalui Meugang, Teumeutuk, dan Meuleumak, masyarakat Aceh tidak hanya merayakan kemenangan setelah berpuasa, tetapi juga membangun dan memperkuat hubungan sosial dalam komunitas.

Di era modern, meski menghadapi berbagai tantangan dan perubahan, tradisi-tradisi ini tetap dilestarikan dengan penyesuaian tanpa menghilangkan esensi dan nilai-nilai dasarnya. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Aceh berhasil mempertahankan warisan budaya mereka sambil beradaptasi dengan perkembangan zaman.

Tradisi lebaran di Aceh merupakan warisan budaya yang tak ternilai harganya. Melalui berbagai tradisi seperti Meugang, Teumeutuk, dan Meuleumak, masyarakat Aceh tidak hanya merayakan momen religius, tetapi juga memperkuat ikatan sosial dan nilai-nilai kebersamaan.

Seiring berjalannya waktu, tantangan untuk melestarikan tradisi-tradisi ini semakin besar. Namun, dengan kesadaran akan pentingnya nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, masyarakat Aceh terus berupaya mempertahankan dan mewariskan tradisi-tradisi ini kepada generasi berikutnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya