Ancaman Dibunuh, Hijrah hingga Perjanjian Nabi Muhammad SAW dengan Kaum Musyrikin

Hijrah Nabi Muhammad ke Madinah bersama Para Sahabat

oleh Muhamad Husni TamamiLiputan6.com diperbarui 15 Des 2022, 16:30 WIB
Diterbitkan 15 Des 2022, 16:30 WIB
Ilustrai- Kafilah pengendara unta di padang pasir. (Foto: Tangkapan layar film The Messenger)
Ilustrai- Kafilah pengendara unta di padang pasir. (Foto: Tangkapan layar film The Messenger)

Liputan6.com, Jakarta - Allah SWT mengutus Nabi Muhammad SAW ke dunia ini sebagai rasul yang terakhir untuk menyebarkan agama Islam melalui dakwah yang berlandaskan dalil-dalil yang dapat meyakinkan kebenarannya, tidak ada paksaan berlandaskan kekuatan senjata dan harta benda. 

Akan tetapi kaum musyrikin terus menentang dengan segala macam cara, mulai dari perkataan sampai kepada perbuatan yang di luar batas perikemanusiaan, sehingga banyak kaum Muslimin terpaksa hijrah ke negeri Habsyah (Ethiopia) dan tempat-tempat lain.

Lantaran Nabi Muhammad saw dan sebagian sahabatnya masih bertahan di Mekah, untuk melanjutkan dakwah, maka kaum musyrikin Quraisy mengadakan musyawarah di suatu tempat yang bernama "Darun Nadwah" untuk mengambil suatu keputusan apakah Muhammad harus dibunuh atau dibuang saja.

Akhirnya mereka memutuskan bahwa Muhammad harus dibunuh. Dalam keadaan yang gawat ini, Allah memerintahkan Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah, yang kemudian diikuti oleh para sahabatnya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Saksikan Video Pilihan ini:


Hijrah ke Madinah

Di Madinah, Nabi dan para sahabatnya yang turut hijrah disambut dengan luar biasa oleh penduduk Muslim di sana, seperti yang diterangkan Allah dalam firman-Nya:

“Dan mereka mengutamakan (Muhajirin), atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan.” (al-hasyr/59: 9)

Selanjutnya, Nabi SAW mengadakan perjanjian damai dan tolong-menolong dengan orang-orang Yahudi. Tetapi mereka berkhianat dan melanggar janji dengan menolong orang musyrikin yang selalu memusuhi Nabi di Mekah.

Sehingga permusuhan dari kaum musyrikin bertambah meningkat. Bahkan mereka bermaksud hendak menghancurkan agama Islam, maka perang disyariatkan dalam Islam. 

Kemudian Nabi mengadakan perjanjian damai dengan kaum musyrikin di Hudaibiyah untuk masa sepuluh tahun dengan syarat-syarat yang sangat mudah untuk dipenuhi, yang seakan-akan menguntungkan kaum musyrikin. Tetapi kaum musyrikin melanggar perjanjian itu, sehingga tidak ada pilihan lain bagi Nabi Muhammad SAW dan kaum Muslimin, selain menghadapi tantangan itu dengan penuh keimanan dan keberanian. 

Akhirnya pada tahun ke-8 Hijriah, kota Makkah dapat ditaklukkan oleh kaum Muslimin. Dengan demikian kekuatan kaum musyrikin menjadi lemah.

Akan tetapi mereka masih mengadakan perlawanan dengan segala cara yang masih bisa mereka lakukan, sehingga turunlah surah ini yang menyatakan pembatalan perjanjian perdamaian dan pemutusan hubungan dengan kaum musyrikin. 

Ayat ini menyatakan pembatalan berbagai perjanjian damai dengan kaum musyrikin dengan cara yang lebih tegas dan positif dari yang sudah diterangkan Allah dalam firman-Nya: 

“Dan jika engkau (Muhammad) khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berkhianat.” (al-Anfal/8: 58) 

Waktu yang diberikan kaum Muslimin kepada kaum musyrikin untuk menentukan sikap, tidak boleh lebih dari empat bulan. Kecuali terhadap mereka yang mengadakan perjanjian dengan kaum Muslimin, dan terhadap mereka yang tidak mengurangi isi perjanjian itu dan tidak membantu orang-orang yang memusuhi kaum Muslimin.

Maka perjanjian itu harus dipelihara dan disempurnakan sesuai dengan isinya sampai kepada batas waktunya. Ibnu Abi hatim meriwayatkan bahwa Nabi menyempurnakan janjinya dengan suku Bani Amrah dan Bani Kinanah.

Ayat-ayat ini dan ayat-ayat lainnya menunjukkan bahwa setiap perjanjian yang masih berlaku, wajib dipenuhi dan disempurnakan sesuai dengan syarat-syarat perjanjian itu walaupun perjanjian itu dengan kaum musyrikin. Ini berlaku selama mereka masih memenuhi semua syarat-syarat perjanjian itu. 

Akhir ayat ini menerangkan bahwa Allah SWT menyukai orang-orang yang bertakwa. Hal ini menunjukkan bahwa memelihara dan menyempurnakan janji termasuk takwa. Karena memelihara perjanjian artinya memelihara pertanggun jawaban terhadap keadilan antara manusia yang membawa kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

Penulis : Putry Damayanty

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya