Liputan6.com, Jakarta - Kisah Nabi Adam dan Hawa begitu populer di kalangan umat Islam. Dimulai dengan penciptaan Adam, Hawa, kisah terusirnya dari surga, serta kehidupan keluarga dan anak-anaknya.
Populer di kalangan umat Islam, Nabi Adam terusir dari surga karena memakan buah khuldi. Nabi Adam makan buah khuldi karena bujukan iblis.
Advertisement
Baca Juga
Yang kerap menjadi pertanyaan adalah, seperti apakah buah khuldi? Lezatkah, sebagaimana buah-buahan ranum, dan apakah ada di bumi?
Pertanyaan-pertanyaan ini lazim karena dunia yang kita kenal hari ini juga mengenal buah-buahan. Hampir semua buah-buahan lezat. Ada yang rasanya kecut, manis kecut, manis.
Mau tidak mau, awam juga akan membandingkan buah khuldi dengan beragam buah-buahan nan lezat yang kita kenal saat ini.
Terlebih, jika buah itu membuat Nabi Adam kepincut mengonsumsinya dan akhirnya terusir dari surga. Lantas, bagaimana penjelasannya?
Â
Â
Saksikan Video Pilihan Ini:
Penjelasan Buah Khuldi Secara Epistemologis
Berbeda dari pandangan sebagian umat Islam yang mengartikan buah khuldi sebagaimana buah-buahan konsumsi, ada pandangan menarik dari Husein Ja’far Al Hadar melalui bukunya yang berjudul 'Menyegarkan Islam', dikutip dari Republika.
Dia menjelaskan, ada dua kecenderungan dalam memaknai dan menyifati buah khuldi. Pertama, menurut Husien Ja’far, mereka yang secara epistemologis mengasumsikannya sebagai 'buah pengetahuan'.
Karenanya, menurut dia, larangan memakan buah itu secara tidak langsung ‘menjebak’ manusia pada pilihan, yakni untuk memakan buah itu dan menjadi makhluk yang berpengetahuan atau mematuhi larangan memakannya dengan konsekueni tetap menikmati kenikmatan di taman surga meskipun tanpa pengetahuan.
Kedua, menurut Husen Ja’far, mereka yang secara epistemologis menyifati buah itu sebagai 'buah kebinatangan'. Maka konsekuensinya, kata dia, memakan buah itu dinilai sebagai bentuk egoisme dan keserakahan yang merupakan produk hawa nafsu lainnya yang tak lain merupakan salah satu dimensi paling primordial manusia, selain rasio.
Karenanya, menurut dia, larangan memakan buah itu secara tidak langsung ‘menjebak’ manusia pada pilihan, yakni untuk memakan buah itu dan menjadi makhluk yang berpengetahuan atau mematuhi larangan memakannya dengan konsekueni tetap menikmati kenikmatan di taman surga meskipun tanpa pengetahuan.
Kedua, menurut Husen Ja’far, mereka yang secara epistemologis menyifati buah itu sebagai 'buah kebinatangan'. Maka konsekuensinya, kata dia, memakan buah itu dinilai sebagai bentuk egoisme dan keserakahan yang merupakan produk hawa nafsu lainnya yang tak lain merupakan salah satu dimensi paling primordial manusia, selain rasio. Wallahua'lam.
Tim Rembulan
Advertisement