Liputan6.com, Jakarta - Umat Islam di Indonesia dan beberapa negara lain memperingati Nuzulul Qur'an pada 17 Ramadhan. Al-Qur'an turun pada malam Al-Qadr atau malam Lailatul Qadar.
Ada perbedaan antara Nuzulul Qur'an dengan Malam Lailatul Qada. Dalam berbagai literatur dijelaskan, Nuzulul Qur'an merujuk pada diturunkannya wahyu pertama melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW.
Sementara, Lailatul Qadar adalah waktu diturunkannya Al-Qur'an dari Lauhul Mahfudz ke langit dunia.
Advertisement
Baca Juga
Pada kesempatan paruh kedua Ramadhan 1444 Hijriyah ini, redaksi mengetengahkan materi ceramah tentang Lailatul Qadar. Kali ini yang dibahas adalah nasib wanita haid. Apakah mereka memperoleh Lailatul Qadar?
Berikut ini adalah materi atau bahan yang bisa disampaikan untuk ceramah singkat kultum, maupun untuk dibaca sendiri agar ilmu bertambah.
Ulasan ini ditulis oleh Ustadz A Zaeini Misbaahuddin Asyuari, Alumni Ma’had Aly Lirboyo Kediri dan pegiat literasi pesantren, dinukil dari NU Online.
Saksikan Video Pilihan Ini:
Fiqih Ramadhan: Perempuan Haidh Apakah Memperoleh Lailatul Qadar?
Apakah perempuan haid dapat memperoleh Lailatul Qadar? Lailatul Qadar merupakan malam yang ini begitu istimewa dan penuh berkah ketimbang yang lainnya. Bahkan sering juga disebut dengan malam 1000 bulan.
Bagaimana tidak, pada lailatul qadar Al-Qur’an diturunkan pertama kalinya. Allah swt berfirman:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ، وَمَا أَدْراكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ ، لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ
Artinya, “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari 1000 bulan.” (QS Al-Qadr: 1-3).
Selain itu, keutamaan Lailatul Qadar dapat diperoleh dengan cara menghidupkan malam ini seraya beribadah seperti berdzikir, melakukan shalat sunah, dan shalat berjamaah. Dengannya Allah swt akan mengampuni dosa-dosa yang terdahulu, sebagaimana disampaikan oleh Rasulullah saw:
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Artinya: “Barangsiapa beribadah pada malam Lailatul Qadar karena iman dan mengharapkan pahala, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lampau.” (HR Al-Bukhari).
Perihal makna hadits ini Syekh Ibnu Hajar Al-Asqalani (wafat 852 H) dalam kitabnya Fathul Bari menerangkan:
“Dalam redaksi hadits tersebut maknanya ialah barangsiapa menghidupkan malam Lailatul Qadar dan tidak menemukan Lailatul Qadar, maka akan tetap mendapatkan pahalanya. Dan barangsiapa yang menghidupkan malam ini lantas menemukan Lailatul Qadar, maka juga akan mendapatkan pahala. Inilah kemudian yang berlaku dan dipilih dalam mengartikan maksud ‘mengetahui’ dan yang dipilih menurut pandanganku.” (Ahmad Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari Syarhu Shahihil Bukhari, (Beirut: Dar Al-Ma’rifah), juz IV, halaman 267).
Karena itu, banyak yang ingin meraih kemuliaan dan keagungan Lailatul Qadar. Tak terkecuali perempuan yang tengah mengalami haid, namun mereka mengalami dilema sebab kodratnya sebagai perempuan dewasa menghalanginya untuk melakukan sejumlah ibadah tertentu.
Advertisement
Wanita Haid Dapat mMmperoleh Lailatul Qadar?
Lantas timbul pertanyaan, apakah perempuan haid dapat memperoleh Lailatul Qadar?
Sebelumnya perlu diketahui bahwa meski perempuan tengah mengalami haid dilarang oleh syariat untuk melakukan berbagai peribadatan, namun bukan berarti ia tidak berpeluang untuk meraih pahala. Sebab, tatkala datang haid dengan hanya berniat mengikuti aturan syariat untuk tidak melakukan hal yang diharamkan saja ia sudah mendapatkan pahala. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Syekh Ahmad bin Salamah Al-Qalyubi (wafat 1069 H) dalam kitabnya:
Artinya, “Perempuan haid bisa mendapatkan pahala saat meninggalkan ibadah yang diharamkan baginya, jika dalam haidnya ia berniat mengikuti perintah syariat untuk meninggalkan keharaman.” (Ahmad bin Salamah Al-Qalyubi, Hasyiyata Qalyubi wa Umairah, [Beirut: Dar Al-Fikr], juz I, halaman 114).
Mengenai perempuan haid ini terdapat keterangan menarik yang disampaikan oleh pakar hadits terkemuka Imam Ad-Dhahak (wafat 212 H):
قَالَ جُوَيْبِرْ: قُلْتُ لِلْضَّحَاكِ: أَرَأَيْتَ الْنُّفَسَاءَ وَالْحَائِضَ وَالْمُسَافِرَ وَالْنَّائِمَ لَهُمْ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدَرِ نَصِيْبٌ؟ قَالَ: نَعَمْ كُلُّ مَنْ تَقَبَّلَ اللهُ عَمَلُهُ سَيُعْطِيْهِ نَصِيْبُهُ مِنْ لَيْلَةِ الْقَدَرِ
Artinya: “Jubair berkata: “Aku pernah bertanya kepada Imam Ad-Dhahak, bagaimana pendapatmu mengenai perempuan yang sedang nifas, haid, orang yang tengah bepergian (musafir) dan orang yang tidur, apakah mereka bisa memperoleh bagian dari Lailatul Qadar?” Lantas oleh Imam Ad-Dhahak dijawab: “Ya, mereka masih bisa memperoleh bagian. Setiap orang yang diterima amalnya, maka Allah swt akan memberikan bagiannya dari Lailatul Qadar.” (Ibn Rajab Al-Hanbali, Lathaiful Ma’arif, [Beirut: Dar Ibn Hazm], halaman 192).
Statemen yang disampaikan oleh Imam Ad-Dhahak di atas menunjukkan bahwa seorang perempuan yang tengah mengalami haid sekalipun, dapat memperoleh Lailatul Qadar. Lantas apa yang dapat dilakukan oleh perempuan haidl guna menghidupkan dan mengisi lailatul qadar?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut ada baiknya untuk menilik kembali keterangan yang dijelaskan oleh Syekh Nawawi Al-Bantani (wafat 1316 H) dalam kitabnya:
وَمَرَاتِبُ إِحْيَائِهَا ثَلاَثَةٌ عُلْيَا وَهِيَ إِحْيَاءُ لَيْلَتِهَا بِالْصَّلَاةِ وَوُسْطَى وَهِيَ إِحْيَاءُ مُعْظَمِهَا بِالْذِّكْرِ وَدُنْيَا وَهِيَ أَنْ يُصَلِّيَ الْعِشَاءَ فِيْ جَمَاعَةٍ وَالصُّبْحِ فِيْ جَمَاعَةٍ وَالْعَمَلِ فِيْهَا خَيْرٌ مِنَ الْعَمَلِ فِيْ أَلْفِ شَهْرٍ وَيَنَالُ الْعَامِلُ فَضْلَهَا وَإِنْ لَمْ يَطَّلِعُ عَلَيْهَا عَلَى الْمُعْتَمَدِ
Artinya, “Tingkatan dalam menghidupkan Lailatul Qadar ada tiga (3). Yang tertinggi adalah menghidupkan Lailatul Qadar dengan melakukan shalat. Sedangkan, tingkatan yang sedang ialah menghidupkan Lailatul Qadar dengan dzikir. Adapun tingkatan terendah ialah dengan melaksanakan shalat Isya dan Subuh secara berjamaah. Melakukan hal tersebut pada malam Lailatul Qadar lebih baik ketimbang malam lainnya selama 1000 bulan, dan orang yang melakukannya akan mendapatkan keutamaan meski tidak menyaksikan Lailatul Qadar menurut pendapat mu’tamad.” (Muhammad bin Umar Nawawi Al-Bantani, Nihayatuz Zain fi Irsyadil Mubtadiin, [Beirut: Dar Al-Fikr], juz I, halaman 198).
Simpulan Ala kullil hal, dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perempuan haid berpeluang meraih pahala dengan berniat mengikuti aturan syariat untuk tidak melakukan hal yang diharamkan, serta dapat memperoleh Lailatul Qadar yakni dengan melakukan berbagai amalan yang diperbolehkan seperti berdzikir, berdoa, dan semisalnya. Wallahu a’lam bis shawab. (Sumber: nu.or.id)
Tim Rembulan