Liputan6.com, Jakarta - Ibadah Haji dan umrah tidak bisa lepas dari air zamzam, air suci bagi umat muslim yang selalu menjadi oleh-oleh.
Dari berbagai penelitian kesehatan, air zamzam juga mengandung banyak elektrolit dan mineral, sehingga baik untuk dikonsumsi bagi kesehatan, termasuk saat berpuasa.
Tak mengherankan jika, air zamzam selalu ditunggu oleh keluarga sebagai oleh-oleh, di samping oleh-oleh khas Tanah Suci lainnya.
Advertisement
Sebaik-baiknya air di muka bumi adalah air zamzam. Air tersebut bisa menjadi minuman yang mengenyangkan dan penawar rasa sakit.” (HR Thabrani).
Baca Juga
Air zamzam adalah air yang sangat istimewa. Banyak nash, hadits, atsar, ataupun khabar yang menjelaskan tentang keutamaan dan keistimewaan air zamzam.
Salah satunya adalah hadis yang diriwayatkan Thabrani di atas. Di situ dijelaskan bahwa air zamzam bisa menjadi pengganti makanan karena ia mengenyangkan. Dia juga bisa menjadi obat yang menyembuhkan.
Namun, tahukah kamu sumur Zamzam pernah hilang di masal lalu akibat kelaliman suku Jurhum.
Simak Video Pilihan Ini:
Berawal Nabi Ibrahim AS Mendapat Perintah Allah SWT
Menukil dari nu.or.id sebagai satu-satunya sumber air di padang tandus, Zamzam menjadi titik kumpul sejumlah suku hingga tercipta sebuah peradaban yang makmur.
Selebihnya, zamzam adalah air istimewa karena beberapa keutamaannya, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an dan hadis.
Semua dimulai ketika Nabi Ibrahim AS menerima mandat dari Allah SWT untuk mengasingkan istri tercintanya, Hajar dan sang bayi yang amat ia sayangi, Ismail. Berbekal tekad yang kuat, ketiganya bertolak dari Palestina menuju Ka’bah, menembus pada pasir dan teriknya matahari yang begitu menyengat.
Sejak keberangkatannya dari Palestina, Ibrahim AS tidak memberitahu Hajar apa tujuan perjalanannya dan Hajar pun tidak bertanya ada hajat apa. Sang suami hanya tahun bahwa itu mandat dari Allah, sementara sang istri hanya memahami bahwa itu perintah suami yang harus ditaati, tanpa protes sepatah kata pun.
Setibanya di Makkah, tepat di dekat sebatang pohon besar dan di atas titik yang saat ini menjadi lokasi sumur Zamzam, Ibrahim meninggalkan istri dan anaknya seorang diri. Tidak ada siapa-siapa di sana. Betul-betul sepi dan tidak ada tanda-tanda kehidupan.
Nabi Ibrahim AS hanya membekali mereka beberapa biji kurma dan air secukupnya. Setelah berhasil menguatkan diri, Ibrahim AS bertolak untuk pulang dan tak sedikit pun menoleh ke arah Hajar.
“Hai Ibrahim, hendak ke mana engkau? Akan kah kau tinggalkan kami berdua di lembah tak berpenghuni dan sunyi ini?” kata Hajar heran sambil mengejar suaminya. Ibrahim AS hanya diam dan terus melangkah. Hingga berkali-kali Hajar bertanya namun tak juga ada respons, ia pun berkata, “Apakah Allah yang memerintahkanmu?” “Betul,” jawab Ibrahim singkat.
Advertisement
Nabi Ibrahim Tinggalkan Anak dan Istrinya
“Baiklah. Kalau begitu, Allah tidak mungkin membuat kami sengsara,” timpal Hajar meneguhkan. Hajar pun kembali ke tempat semula.
Sesampainya di tikungan, Ibrahim AS menoleh ke tempat ia meninggalkan istri dan anaknya dan berdoa agar kedua orang yang ia sayangi itu selalu berada dalam ketakwaan, tetap dijaga oleh Allah, dan diberi kecukupan rezeki (QS. Ibrahim [14]: 37).
Hajar mulai lapar dan haus hingga tidak lama berselang bekal yang dititipi Ibrahim AS habis. Air susunya juga sudah kering hingga Ismail kecil mulai menangis. Dirinya mulai panik dan menaiki Bukit Shafa untuk melihat ke lembah, barangkali menemukan orang yang bisa ia mintai tolong.
Tak mendapati siapa-siapa, Hajar pun lari ke Bukit Marwah untuk melihat lagi ke lembahnya berharap ada yang bisa dimintai bantuan. Namun tetap saja kosong. Ia melakukannya sebanyak tujuh kali. Kelak napak tilas Hajar ini menjadi rukun haji yang dinamakan Sa’i.
Singkat kisah, Hajar mendengar seperti ada suara gemercik air. Semula ia mengira itu halusinasi belaka, hingga kemudian melihat ke sumber suara, dan ternyata ada sosok malaikat mengorek sesuatu dengan sayapnya di samping Ismail hingga keluarlah air. Hajar pun menghampiri sumber air itu dan mengumpulkannya, “Zammî Zammî! (berkumpullah-berkumpullah!),” terikatnya kegirangan.
Sejak saat itu sumber air tersebut dinamakan Zamzam. (Ibnu Katsir, Qashashul Ambiyâ’, 2018: 109-110) Hilangnya Sumur Zamzam Sekali waktu Makkah kedatangan dua suku besar dari Yaman, yaitu Kabilah Jurhum di bawah pimpinan Mudhadh bin Amr dan Kabilah Qathura bin Karkar di bawah pimpinan As-Samaida’ bin Hautsar.
Tidak lama kemudian mereka melihat sekawanan burung di suatu tempat. Biasanya itu pertanda ada sumber air di tengah padang tandus. Diutuslah dua orang untuk memastikan keberadaannya. Setelah diketahui ada sumber air di sana, mereka berpindah ke lokasi tersebut dan meminta izin kepada Siti Hajar untuk tinggal di wilayahnya. Hajar dengan senang hati mengizinkan.
Kezaliman Jurhum Membuat Mata Air Zamzam Berhenti Mengalir
Singkat kisah Ismail sudah dewasa dan menikah dengan perempuan dari Suku Jurhum. Ismail kemudian menikah untuk kedua kalinya dari suku yang sama setelah berpisah dengan istri pertama. Dari pernikahannya itu ia dikaruniai 12 anak.
Setelah Ismail wafat dalam usianya yang ke-137 tahun, kepengurusan Zamzam diwariskan kepada Nabit, salah satu putranya. Usia Nabit pun tidak lama sehingga kepengurusan Zamzam dipegang oleh Qaidar yang juga putra Ismail. Setelah Qaidar wafat kepengurusan dipegang oleh Mudhadh bin Amr, pemimpin Jurhum.
Sejak saat itu Makkah berada di bawah kendali suku Jurhum. Untuk menghindari konlfik antarsuku, wilayah kekuasaan di Makkah dibagi dua, Suku Jurhum mendapat daerah Qu’aiqi’an sementara Qathura di daerah Jiyad. Seiring waktu berlalu terjadi gesakan hingga kedua suku itu kekuasaan, peperangan pun tak bisa dihindari. Dalam pertempuran itu As-Samaida’ tewas.
Setelah beberapa pertimbangan, mereka memutuskan untuk berdamai. Singkat kisah, Suku Jurhum yang berkuasa di Makkah ternyata tidak bisa dipercaya. Mereka banyak melakukan kezaliman di Tanah Suci itu termasuk menjarah harta kekayaan yang ada di dalam Ka’bah. Aturannya, jika ada orang berbuat zalim di Makkah maka harus diusir.
Kezaliman Jurhum ini membuat mata air Zamzam berhenti mengalir hingga sumurnya kering. (Ibnu Hisyam, As-Sîrah an-Nabawiyah, 2009: juz 1, h. 83-85) Suku-suku lain yang mendengar perbuatan orang-orang Jurhum tidak rela Ka’bah dihuni oleh kaum zalim.
Akhirnya, Bani Kinanah dan Bani Khuza’ah bersatu untuk mengusir mereka dari Tanah Suci. Terjadilah pertempuran besar antara Jurhum dengan sekutu Kinanah dan Khuza’ah.
Pertempuran berakhir dengan kekalahan Jurhum. Mereka pun diusir dari Makkah dan kembali ke negeri asalnya, Yaman. Sebelum pergi, mereka mengubur rapat-rapat sumur Zamzam. Jurhum tidak ingin keberadaan Zamzam itu diketahui suku lain setelah kepergian mereka.
Seiring berjalannya waktu dan dinamika geografis serta beberapa bencana alam, bekas sumur Zamzam tidak lagi tampak, betul-betul rata dengan tanah. Hingga berabad-abad kemudian sumur itu kembali ditemukan oleh kakek Nabi Muhammad, Abdul Muthalib, dengan sumber yang mengalir seperti awal mula kemunculannya. (Ibnud Dhiya, Târîkhu Makkah al-Musyriqah wal Masjidil Ḫaram, tanpa tahun: juz 1, h. 62). Walahu'Alam
Penulis: Nugroho Purbo
Advertisement