Mengapa Tidak Ada Tahlilan di Muhammadiyah? Simak Penjelasan dan Hukumnya

Bagi warga NU, tahlilan sudah menjadi hal biasa dan sering diamalkan ketika ada orang yang meninggal. Namun berbeda dengan Muhammadiyah. Organisasi Islam yang didirikan KH Ahmad Dahlan ini tidak mengadakan tahlilan saat ada orang yang meninggal.

oleh Muhamad Husni Tamami diperbarui 20 Agu 2023, 08:30 WIB
Diterbitkan 20 Agu 2023, 08:30 WIB
Foto: Momen Haru saat Skuad Arema FC Berziarah ke Makam Korban Tragedi Kanjuruhan
Ilustrasi tahlilan. (AP/Dicky Bisinglasi)

Liputan6.com, Jakarta - Tahlilan atau selamatan orang meninggal biasa dilakukan oleh sebagian umat Islam Indonesia. Tahlilan biasanya digelar mulai sehari hingga tujuh hari setelah kematian. Kemudian dilanjut 40 hari dan 100 hari setelah kematian.

Dalam acara tahlilan biasanya dibacakan ayat-ayat Al-Qur’an dan doa-doa untuk memohon ampun agar mendapat rahmat Allah SWT. Selain itu, selama acara tahlilan juga sering diisi dengan pembacaan sholawat dan dzikir.

Dalam praktiknya, tidak semua muslim Indonesia menggelar acara tahlilan saat ada orang yang meninggal dunia. Kebanyakan yang mengadakan tahlilan adalah kalangan Nahdliyin atau umat Islam yang mengamalkan amaliyah organisasi Nahdlatul Ulama (NU).

Bagi warga NU, tahlilan sudah menjadi hal biasa dan sering diamalkan ketika ada orang yang meninggal. Namun berbeda dengan Muhammadiyah. Organisasi Islam yang didirikan KH Ahmad Dahlan ini tidak mengadakan tahlilan saat ada orang yang meninggal.

Hal tersebut menimbulkan pertanyaan, terutama bagi umat Islam yang mengamalkan tahlilan. Mengapa tidak ada tahlilan di Muhammadiyah? Apa dasar hukumnya?

Mari simak penjelasan berikut agar mengetahui pandangan Muhammadiyah tentang tahlilan yang sering dijumpai ketika ada orang yang meninggal dunia.

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

Pandangan Muhammadiyah tentang Tahlilan

7 Momen Tahlilan 100 Hari Vanessa Angel dan Bibi Ardiansyah, Thariq Setia Temani Fuji
Momen Tahlilan 100 Hari Vanessa Angel dan Bibi Ardiansyah. (Sumber: YouTube/Fuji An) dan Bibi Ardiansyah. (Sumber: YouTube/Fuji An)

Mengutip Muhammadiyah.or.id, pada dasarnya Muhammadiyah tidak pernah melarang membaca kalimat tahlil “La Ilaha Illallah” (tiada Tuhan selain Allah). 

Sebaliknya, Muhammadiyah justru menganjurkan agar memperbanyak membaca kalimat tersebut untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hal ini sebagaimana firman-Nya dalam Q.S. al-Baqarah ayat 152 dan Q.S. al-Ahzab ayat 41.

Selain dua ayat tersebut, perintah berdzikir menyebut lafal La Ilaha illa Alllah juga banyak disebutkan dalam hadis nabi. Dalam salah satu hadis, Rasulullah SAW bersabda,

Maka sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas neraka terhadap orang yang mengucapkan ‘La Ilaha Illa Allah’, yang dengan lafal tersebut ia mencari keridhaan Allah.” (HR. al-Bukhari, Kitab as-Shalah, Bab al-Masajid fi al-Buyut, dari ‘Itban ibn Malik).

Berdasarkan keterangan di atas, maka memperbanyak tahlil adalah termasuk amal ibadah yang sangat baik, bahkan dijamin masuk surga dan haram masuk neraka. Memperbanyak tahlil tidaklah cukup sekadar mengucapkan atau melafalkan, tapi harus menghadirkan hati ketika membacanya dan merealisasikannya dalam kehidupan keseharian.

Namun, membaca tahlil ribuan kali akan menjadi sia-sia apabila masih berbuat syirik dan tidak beramal shalih. Sebab, tahlil harus benar-benar diyakini dan diamalkan dengan berbuat amal shalih sebanyak-banyaknya.

Tahlilan yang Dilarang

Tahlilan 2 tahun tsunami Anyer
Tahlilan 2 tahun tsunami Anyer

Membaca tahlil menurut pandangan Muhammadiyah tidak dilarang. Yang dilarang adalah tahlilannya.

Tahlilan yang dilarang berdasarkan Fatwa Tarjih dalam Majalah Suara Muhammadiyah No. 11 tahun 2003 adalah upacara yang dikaitkan dengan tujuh hari kematian atau empat puluh hari atau seratus hari sebagaimana dilakukan oleh pemeluk agama Hindu. 

“Selamatan tiga hari, lima hari, tujuh hari, dan seterusnya itu adalah sisa-sisa pengaruh budaya animisme, dinamisme, serta peninggalan ajaran Hindu yang sudah begitu berakar dalam masyarakat kita. Karena hal itu ada hubungan dengan ibadah, maka kita kembali saja kepada tuntunan Islam,” demikian keterangan yang dikutip dari situs resmi Muhammadiyah, Sabtu (19/8/2023).

Untuk menggelar acara tahlilan harus mengeluarkan biaya besar yang kadang-kadang harus pinjam kepada tetangga atau saudaranya. Menurut pandangan Muhammadiyah, hal seperti ini terkesan tabzir (berbuat mubazir).

Pandangan tersebut didasari dengan yang terjadi di zaman Rasulullah SAW. Pada masa Rasulullah SAW perbuatan semacam itu dilarang. 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melarang ulama Yahudi yang masuk Islam, bernama Abdullah bin Salam, yang ingin merayakan hari Sabtu sebagai hari raya. Ia ditegur oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi, kita harus masuk kepada ajaran Islam secara menyeluruh (kaffah), tidak boleh sebahagian-sebahagiannya.

“Seharusnya, ketika ada orang yang meninggal dunia, kita harus bertakziyah/melayat dan mendatangi keluarga yang terkena musibah kematian sambil membawa bantuan/makanan seperlunya sebagai wujud bela sungkawa,” tulis keterangan dalam sumber yang sama.

Muhammadiyah mencontohkan saat zaman Nabi Muhammad SAW. Pada waktu Ja’far bin Abi Thalib syahid dalam medan perang, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh kepada para shahabat untuk menyiapkan makanan bagi keluarga Ja’far, bukan datang ke rumah keluarga Ja’far untuk makan dan minum.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Muhammadiyah tidak melaksanakan tahlilan, tetapi tidak mengharamkan membaca tahlil yakni kalimat La Ilaha Illallah. Wallahu’alam.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya