Liputan6.com, Jakarta - Puasa merupakan salah satu ibadah yang sangat dianjurkan dan bernilai pahala. Selain adanya kewajiban untuk berpuasa seperti puasa Ramadan dan puasa nazar, ada pula puasa yang hukumnya sunnah, makruh, bahkan haram.
Teradapat beberapa macam puasa sunnah salah satunya puasa di bulan Muharram yang dsiebut sebagai puasa utama setelah Ramadan. Puasa sunnah ini tentunya memiliki banyak keutamaan dan manfaat.
Advertisement
Baca Juga
Namun, puasa yang hukumnya makruh tidak disarankan untuk dikerjakan. Hukum makruh sendiri ada yang disebabkan oleh waktu pelaksanaannya, ada pula yang disebabkan oleh kondisi orang yang melaksanakannya.
Dengan melihat kondisi orang yang melakukannya, puasa yang asalnya wajib pun bisa berubah menjadi makruh. Lantas apa saja jenis puasa makruh tersebut?
Saksikan Video Pilihan ini:
10 Janis Puasa Makruh
Melansir dari laman NU Online, berkaitan dengan ini, Syekh Abu Al-Hasan bin Al-Muhamili dalam Kitab Al-Lubab menjelaskan ada 10 puasa yang dimakruhkan:
وأما المكروه من الصوم فعشرة صوم المريض، والمسافر، والحامل، والمرضع، والشيخ الفاني إذا خافوا المشقّة الشديدة، وصوم يوم الشّك، والنصف الأخير من شعبان إلا لمن صام الشهر كلّه أو كانت له عادة، وصوم يوم عرفة للحاج، وأن يتطوّع بالصوم وعليه صوم رمضان، وصوم يوم الجمعة منفردا
Artinya: “Adapun puasa yang dimakruhkan ada sepuluh, yaitu (1) puasa orang sakit, (2) puasa orang yang sedang bepergian jauh, (3) puasa perempuan hamil, (4) puasa perempuan yang sedang menyusui, (5) puasa orang yang sudah sangat renta dan khawatir ada bahaya yang cukup berat, (6) puasa pada hari syakk atau diragukan dan puasa pada separuh terakhir bulan Sya’ban kecuali bagi orang yang berpuasa dalam semua bulan tersebut atau sudah terbiasa puasa sebelumnya, (7) puasa pada hari Arafah bagi orang yang menunaikan ibadah haji, (9) puasa sunah bagi orang yang masih memiliki kewajiban qadha puasa Ramadhan, (1) puasa hari Jumat secara terpisah.” (Abu Al-Hasan bin Al-Muhamili, al-Lubab fil Fiqhi asy-Syafi’i, [Madinah: Darul Bukhari], 1416 H, jilid 1, halaman 190).
Seperti yang disinggung di atas, penyebab makruh bisa karena orang yang melakukannya, bisa juga waktu pelaksanaannya. Berdasar kutipan di atas, puasa orang sakit, orang yang bepergian, puasa perempuan hamil dan menyusui, serta puasa orang yang sudah renta, baik hukum asal puasanya wajib seperti puasa Ramadhan maupun puasa sunnah, dimakruhkan karena kondisi orang yang melakukannya. Sekiranya, puasa mereka tetap dilakukan akan ada bahaya tertentu yang memperberat kondisi mereka. Artinya, jika kondisi itu tidak terjadi, maka puasa tetap kepada hukum asalnya.
Sementara puasa pada hari syakk, yakni satu atau dua hari sebelum Ramadan dan puasa pada separuh kedua bulan Sya’ban dimakruhkan, terutama kalangan ulama Syafi’i, berdasarkan sabda Rasulullah saw.
“Janganlah salah seorang kalian mendahului Ramadan dengan satu atau dua hari kecuali seseorang yang biasa menunaikan puasanya. Maka berpuasalah pada hari itu,” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Advertisement
Alasan Dimakruhkan
Demikian pula halnya mengkhususkan puasa hanya hari Jumat, berdasarkan sabda Rasulullah saw. “Janganlah kalian mengkhususkan ibadah malam hanya malam Jumat atau berpuasa hanya hari Jumat, kecuali puasa yang biasa kalian jalankan.” Begitu pula mengkhususkan puasa hanya pada hari Sabtu atau hari Minggu karena merupakan hari yang diagungkan oleh umat Nasrani dan umat Yahudi.
Artinya, ketika umat Muslim hendak berpuasa pada hari Jumat, Sabtu, atau Minggu, maka harus diikuti dengan sehari sebelum atau setelahnya agar tidak menyerupai kebiasaan umat lain. Begitu pun puasa Asyura yang disunahkan Rasulullah kepada umatnya, yakni puasa sunat tanggal 10 Muharram. Hendaknya ditunaikan sehari sebelum dan setelahnya agar tidak sama persis dengan puasa Asyura umat Yahudi.
Berikutnya, puasa yang dimakruhkan adalah puasa sunnah, sementara masih ada qadha puasa wajib. Sebaiknya, tunaikan terlebih dahulu puasa wajib, baru menunaikan puasa sunat.
Termasuk ke dalam puasa makruh di kalangan Syafi’i adalah puasa wishal, baik puasa yang wajib maupun sunnah. Artinya puasa satu hari bersambung dengan puasa hari berikutnya, bahkan bersambung dengan puasa hari berikutnya lagi tanpa berbuka. Namun, sebagian ulama Syafi’i yang lain mengharamkan puasa ini. Menurut mereka, puasa wishal ini haram karena termasuk kekhususan Nabi saw. (Hasyiyatai Qalyubi wa Umairah, jilid II, halaman 78).
Sementara puasa dahri atau sepanjang masa tidak dimakruhkan selama berbuka pada hari-hari terlarang dan tidak khawatir ada bahaya. Sebaliknya, jika khawatir ada bahaya atau bisa melemahkan puasa fardu, puasa tersebut tetap makruh. (Hilyatul Ulama fi Ma’rifati Madzahibil Fuqaha, jilid II, halaman 176). Wallahu a’lam.