Fenomena Belajar Agama Tanpa Guru, Simak Sentilan Menohok Gus Baha

Gus Baha menjelaskan bahwa fenomena belajar agama tanpa guru saat ini semakin marak, terutama dengan berkembangnya teknologi. Banyak orang yang merasa cukup belajar agama melalui internet atau media sosial tanpa pendampingan langsung dari seorang guru yang kompeten.

oleh Liputan6.com diperbarui 15 Sep 2024, 12:30 WIB
Diterbitkan 15 Sep 2024, 12:30 WIB
Gus Baha 1
KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha. (SS TikTok)

Liputan6.com, Jakarta - Banyak kita temukan saat ini orang-orang yang belajar ilmu agama tanpa bimbingan langsung dari seorang guru atau ulama. Mereka lebih mengandalkan buku, artikel daring, atau video untuk memahami ajaran agama.

Meskipun media tersebut bermanfaat, belajar tanpa guru berisiko menimbulkan kesalahpahaman atau penafsiran yang keliru.

Dalam tradisi Islam, pentingnya belajar dengan seorang guru sangat ditekankan, karena seorang guru dapat memberikan penjelasan yang mendalam, membimbing murid dalam memahami konteks, dan menjaga agar pemahaman tetap sesuai dengan ajaran yang benar.

Tanpa guru, kita bisa terjebak dalam penafsiran yang dangkal atau bahkan menyimpang.

KH Ahmad Bahauddin Nursalim, yang akrab disapa Gus Baha, mengungkapkan pentingnya belajar agama di bawah bimbingan seorang guru.

Dalam ceramahnya yang dikutip dari kanal YouTube @SUDARNOPRANOTO, Gus Baha menjelaskan bahwa fenomena belajar agama tanpa guru saat ini semakin marak, terutama dengan berkembangnya teknologi. Banyak orang yang merasa cukup belajar agama melalui internet atau media sosial tanpa pendampingan langsung dari seorang guru yang kompeten.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Simak Video Pilihan Ini:


Orang-orang Kosong

Ilustrasi Islami, muslim, membaca buku, belajar hadis
Ilustrasi belajar hadis. (Foto oleh Thirdman: https://www.pexels.com/id-id/foto/pria-liburan-agama-membaca-7957079/)

Menurut Gus Baha, orang-orang yang belajar agama tanpa guru ini cenderung rentan terhadap pemahaman yang salah. “Mereka itu sebetulnya adalah orang-orang yang masih kosong,” ujarnya.

Ini merujuk pada ketidakmatangan mereka dalam memahami dalil dan ajaran agama. Ia menekankan bahwa bimbingan guru sangat penting untuk memastikan bahwa pemahaman agama tidak keliru.

Sebagai contoh, Gus Baha membahas pentingnya bimbingan guru dengan memahami surat Al-Fatihah. Dalam ayat “Ihdina as-shirathal-mustaqim. Shiratha alladzina an’amta alaihim,” yang berarti “Tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat”, Gus Baha menjelaskan bahwa ayat ini menunjukkan keharusan meneladani orang-orang yang telah mendapat nikmat, yaitu para ulama dan orang-orang saleh yang telah meninggal dunia.

Menurut Gus Baha, meneladani orang yang telah meninggal lebih aman daripada meniru orang yang masih hidup, karena orang yang sudah meninggal sudah terbukti husnul khotimah dan tidak terpengaruh oleh berbagai godaan duniawi.

"Kalau kita meniru orang yang sudah meninggal, mereka sudah terbukti husnul khotimah," ungkapnya.

Sementara itu, Gus Baha menyebutkan bahwa meniru orang yang masih hidup penuh risiko karena tidak ada jaminan mereka akan terus stabil dalam menjalani agama.

“Tapi kalau niru yang masih hidup, kan nggak ada jaminan stabil,” tegasnya.


Jangan Meneladani Orang Hidup

Penyuluh Agama di Mempawah Kalbar Kenalkan Ular Tangga Muroja'ah, Cara Unik Belajar Al-Quran. Foto: Kemenag.
ilustrasi belajar . Foto: Kemenag.

Orang yang masih hidup, menurutnya, bisa tergoda oleh berbagai hal seperti kekuasaan dan jabatan, yang dapat mempengaruhi sikap dan perilaku mereka.

Gus Baha juga mengingatkan bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk berubah, terutama jika diberi jabatan atau kekuasaan.

Hal ini, menurutnya, membuat meneladani orang yang masih hidup lebih rentan terhadap penyimpangan. "Manusia kalau punya jabatan nanti macam-macam," jelasnya.

Dalam ceramahnya, Gus Baha juga menekankan bahwa guru berperan bukan hanya sebagai pengajar, tetapi juga sebagai pembimbing yang menjaga muridnya agar tidak tersesat dalam memahami agama.

Belajar agama tanpa guru, menurutnya, bisa menyebabkan seseorang merasa paling benar dan sulit menerima pandangan orang lain.

Lebih lanjut, Gus Baha menjelaskan bahwa belajar agama secara mandiri melalui internet atau buku tanpa bimbingan guru bisa menyesatkan. “Kalau belajar agama, jangan hanya sendiri. Harus ada gurunya yang membimbing,” pesannya.

Guru, tambah Gus Baha, adalah sosok yang juga mengajarkan sikap tawadhu dan menghargai perbedaan.

“Guru itu mengajarkan kita untuk rendah hati, tawadhu, dan menghargai perbedaan,” ujarnya.

Tanpa bimbingan seorang guru, seseorang cenderung memiliki pandangan yang sempit dan mudah terjebak dalam pemikiran ekstrem.

Menurut Gus Baha, proses belajar agama adalah perjalanan panjang yang membutuhkan bimbingan terus-menerus. Ia menegaskan bahwa belajar agama bukanlah proses instan, melainkan harus dilakukan dengan sabar dan konsisten, di bawah arahan seorang guru.

Di akhir ceramahnya, Gus Baha mengajak umat Islam untuk kembali kepada tradisi belajar agama dengan guru, sebagaimana yang dilakukan oleh para ulama terdahulu. “Mari kita kembalikan tradisi belajar agama dengan guru seperti yang dilakukan para ulama dulu,” tutupnya.

Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul

 

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya