Kisah Karomah Sunan Muria dan Lahirnya Tradisi Guyang Cekatak untuk Meminta Hujan

Pelana kuda Sunan Muria yang dianggap memiliki nilai sakral ini digunakan dalam ritual minta hujan yang dikenal dengan nama Guyang Cekatak

oleh Liputan6.com diperbarui 12 Nov 2024, 22:30 WIB
Diterbitkan 12 Nov 2024, 22:30 WIB
[Bintang] Ciri Orang Kembali Fitrah Menurut Wali Songo
Sunan Muria | Dok. Bintang.com/Ardini Maharani

Liputan6.com, Jakarta - Sunan Muria dikenal sebagai salah satu wali yang meninggalkan jejak bersejarah bagi masyarakat sekitar Gunung Muria, Kudus, Jawa Tengah.

Salah satu karomah atau keistimewaannya yang masih dirasakan hingga kini adalah penggunaan pelana kuda peninggalannya sebagai wasilah atau perantara untuk meminta hujan. Tradisi ini dilakukan ketika terjadi musim kemarau panjang yang menyebabkan kekeringan di wilayah tersebut.

Dikutip dari tayangan video di kanal YouTube @SPORTS_30626, pelana kuda Sunan Muria yang dianggap memiliki nilai sakral ini digunakan dalam ritual minta hujan yang dikenal dengan nama Guyang Cekatak. Tradisi unik ini biasanya dilakukan pada hari Jumat Wage, yang dipercaya sebagai hari istimewa dalam perhitungan Jawa. Guyang Cekatak dilakukan di musim kemarau dengan tujuan memohon kepada Allah agar menurunkan hujan.

Prosesi Guyang Cekatak dimulai dengan membawa pelana kuda dari kompleks Masjid Muria ke mata air Sendang Rejoso, yang terletak di Bukit Muria. Mata air ini diyakini sebagai tempat yang memiliki nilai spiritual tinggi, dan masyarakat sekitar meyakini kekuatan spiritual yang terkandung di dalamnya. Pelana kuda Sunan Muria kemudian dimandikan atau dicuci di mata air Sendang Rejoso tersebut.

Saat pelana kuda dicuci, air dari mata air itu dipercik-percikkan ke arah warga yang hadir. Percikan air ini dianggap membawa berkah dan harapan akan datangnya hujan, sehingga banyak warga yang dengan antusias mengikuti ritual ini. Air yang sudah digunakan untuk mencuci pelana kuda Sunan Muria diyakini dapat membawa manfaat dan mendatangkan keberkahan bagi masyarakat.

Setelah proses mencuci pelana kuda selesai, ritual dilanjutkan dengan pembacaan doa dan pelaksanaan salat istisqa, yaitu salat khusus yang ditujukan untuk meminta hujan. Salat istisqa dilakukan oleh seluruh warga yang hadir, dan doa-doa dipanjatkan agar Allah mengabulkan permohonan mereka untuk segera mendapatkan hujan yang dapat menghidupkan kembali lahan-lahan yang kering.

Usai berdoa, tradisi Guyang Cekatak diakhiri dengan makan bersama. Makanan yang disajikan dalam acara ini mencerminkan kearifan lokal masyarakat Kudus. Di antaranya adalah sayuran yang disajikan dengan parutan kelapa, opor ayam, dan gulai kambing, yang melambangkan keberlimpahan dan harapan akan kehidupan yang lebih baik setelah datangnya hujan.

 

Simak Video Pilihan Ini:

Prosesi Guyang Cekatak

Kawasan Gunung Muria, dengan komplek makam dan masjid Sunan Muria
Kawasan Gunung Muria, dengan komplek makam dan masjid Sunan Muria. (Dok: Instagram @misbah.munir.69)

Dalam acara makan bersama tersebut, disajikan pula makanan dan minuman khas warga Kudus, salah satunya adalah dakwat wallahuam. Makanan dan minuman ini menjadi pelengkap ritual dan simbol persatuan warga yang bersama-sama memanjatkan doa dan harapan untuk kesejahteraan wilayah mereka. Tradisi makan bersama ini juga menjadi momen untuk mempererat tali silaturahmi antarwarga.

Guyang Cekatak sudah berlangsung turun-temurun di masyarakat sekitar Gunung Muria dan telah menjadi tradisi yang dijaga dengan baik. Masyarakat percaya bahwa dengan melestarikan tradisi ini, mereka sekaligus menjaga warisan Sunan Muria yang telah banyak berkontribusi bagi kesejahteraan mereka. Pelana kuda Sunan Muria tidak hanya menjadi benda bersejarah, tetapi juga dianggap sebagai simbol karomah yang membawa keberkahan.

Tradisi Guyang Cekatak ini menunjukkan bagaimana masyarakat Jawa masih memegang erat nilai-nilai leluhur yang telah diwariskan oleh para wali. Karomah Sunan Muria sebagai wali yang dihormati masih terus hidup dalam keseharian mereka. Selain itu, ritual ini menjadi sarana untuk memperkuat keimanan dan rasa syukur mereka kepada Sang Pencipta atas segala nikmat yang diberikan.

Meskipun zaman terus berkembang, warga Kudus dan sekitar Gunung Muria tetap mempertahankan tradisi ini sebagai bagian dari identitas budaya mereka. Setiap kali musim kemarau tiba, mereka dengan tekun melaksanakan Guyang Cekatak sebagai usaha batin dan ikhtiar meminta pertolongan dari Allah. Pelana kuda Sunan Muria menjadi bagian penting dari ritual ini dan selalu dijaga dengan penuh hormat.

Kepercayaan masyarakat terhadap karomah pelana kuda ini juga menunjukkan bagaimana keberadaan para wali di Nusantara masih memiliki pengaruh kuat, meski mereka sudah lama tiada. Para wali seperti Sunan Muria diingat tidak hanya sebagai tokoh penyebar agama, tetapi juga sebagai sosok yang memberikan warisan berharga berupa ajaran, peninggalan, dan tradisi yang terus dijaga hingga kini.

Harapan Warga Kudus

Cuaca Ekstrem Jakarta, Warga Diimbau Kurangi Aktivitas di Luar Rumah
ilustrasi hujan deras (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Masyarakat Gunung Muria memiliki keyakinan bahwa dengan menjalankan Guyang Cekatak, mereka tidak hanya meminta hujan tetapi juga memohon agar keberkahan dan keselamatan selalu menyertai mereka.

Tradisi ini menjadi pengingat bagi masyarakat untuk selalu menjaga hubungan baik dengan alam dan sesama, serta untuk selalu mengingat jasa para wali yang telah menyebarkan ajaran Islam dengan cara yang penuh kelembutan dan kebijaksanaan.

Guyang Cekatak merupakan perpaduan antara adat dan kepercayaan yang sudah menyatu dalam kehidupan masyarakat Kudus. Kehadiran tradisi ini tidak hanya menjadi upaya untuk mendapatkan hujan, tetapi juga menjadi media untuk melestarikan kearifan lokal yang sarat dengan makna spiritual dan budaya.

Bagi masyarakat Kudus, pelana kuda Sunan Muria bukanlah sekadar benda mati. Benda tersebut merupakan saksi bisu dari sejarah panjang dakwah Sunan Muria dan kini menjadi simbol harapan serta kepercayaan yang tetap hidup di hati mereka. Setiap ritual Guyang Cekatak dilaksanakan, masyarakat Kudus seakan diajak untuk kembali mengingat dan menghayati perjuangan para wali dalam menyebarkan agama Islam.

Tradisi ini juga menjadi momen bagi warga untuk merenungkan pentingnya menjaga nilai-nilai kebersamaan dan solidaritas. Dengan mengikuti ritual bersama, warga merasakan kedekatan satu sama lain dan menjadikan Guyang Cekatak sebagai sarana untuk memperkuat ikatan sosial.

Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya