Liputan6.com, Jakarta - Seorang wanita muslim yang mengalami haid atau datang bulan akan berstatus sebagai orang yang berhadas besar. Secara syariat, muslimah yang sedang haid tidak dapat diperlakukan sebagaimana orang yang suci.
Wanita yang sedang haid tidak dapat melakukan ibadah tertentu seperti sholat, tawaf, dan membaca atau menyentuh mushaf Al-Qur’an. Dia boleh melakukan kecuali setelah bersuci dengan melakukan mandi besar ketika darah berhenti.
Advertisement
Ketentuan wanita muslim yang mengalami datang bulan tersebut didasarkan pada hadis nabi yang diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah.
Advertisement
عن عائشة رضي الله عنها، أن فاطمة بنت أبي حبيش كانت تستحاض، فقال لها رسول الله صلى الله عليه وسلم: أن دم الحيض دم أسود يعرف، فاذا كان ذلك فامسكي عن الصلاة، فاذا كان الآخر فامسكي عن الصلاة وصلي (رواه ابو داود)
Artinya: “Dari Sayyidah Aisyah ra bahwa Fatimah binti Abi Hubaisy mengeluarkan darah, kemudian Nabi berkata kepadanya, ‘Sesungguhnya darah haid adalah darah hitam yang sudah diketahui, maka jika darah tersebut keluar, tinggalkanlah sholat, dan jika selain darah haid yang datang maka wudhulah, kemudian sholatlah." (HR Abu Dawud). (Ibn Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram min Adillatil Ahkam, [Al-Haramain: 2009], halaman 38).
Baca Juga
Setelah darah berhenti, maka wanita yang mengalami hadas besar wajib bersuci agar bisa melakukan ibadah lagi seperti sholat. Adapun sholat yang ditinggalkan selama haid tidak diwajibkan untuk diqadha. Dasarnya adalah hadis dari Sayyidah Aisyah berikut.
كُنَّا نحيضُ على عهد رسول الله ﷺ، ثُمَّ نَطْهرُ، فيأمرنا بقضاءِ الصَّوم، ولا يأمرُنا بقضاءِ الصَّلاة (رواه النسائى)
Artinya: “Kami semua haid pada masa Nabi SAW, kemudian kami suci. Lalu Nabi SAW memerintahkan kami untuk mengqadha’ puasa dan tidak memerintahkan kami untuk mengqadha’ shalat". (HR. Nasa’i). (Abu Abdirrahman Al-Nasa’i, Kitab Sunan An-Nasa’i, [Dar Al-Risalah Al-Alamiyyah], juz IV, halaman 808).
Seorang jemaah Al Bahjah bertanya kepada KH Yahya Zainul Ma’arif alias Buya Yahya. Jika suci dari haid di waktu Ashar, haruskah mengqadha sholat Dzuhur? Simak penjelasan Buya Yahya.
Saksikan Video Pilihan Ini:
Penjelasan Buya Yahya soal Suci Haid di Waktu Ashar
Buya Yahya menyampaikan, jika seorang wanita suci di waktu Ashar, ulama menganjurkan untuk mengqadha waktu Dzuhur. Hal ini dilakukan sebagai bab kehati-hatian karena waktu Dzuhur bisa ditarik ke waktu Ashar dalam kondisi sholat jamak.
“Jadi, ini adalah masalah bab kehati-hatian dan sudah hampir kesepakatan ulama. Padahal waktu Dzuhur sudah berlalu. Akan tetapi, kalau seandainya waktu Dzuhur ditarik ke Ashar, kan masih bisa dalam keadaan menjamak,” jelas Buya Yahya dikutip dari YouTube Al Bahjah TV, Jumat (21/2/2025).
“Maka, ini dalam irama kehati-hatian. Para ulama mengatakan, jika ada seorang wanita berhenti darahnya di waktu Ashar, maka waktu Dzuhur harus diqadha,” sambung Buya Yahya sambil menekankan anjuran ulama.
Menurut Buya Yahya, kondisi wanita suci dari haid di waktu Ashar tidak akan pernah terjadi hanya sekali atau dua kali. Buya Yahya meyakini bahwa seorang wanita beberapa kali suci dari hadas besar di waktu Ashar. Akan tetapi, tidak semuanya yang mengqadha sholat Dzuhur karena ketidaktahuan ilmu.
Lantas, bagaimana jika demikian? Buya Yahya tetap menyarankan untuk mengqadhanya. Tidak perlu menghitung jumlah pastinya berapa kali suci haid di waktu Ashar, tapi diperkirakan saja kemudian yakin dengan jumlah tersebut. Setelah itu, melakukan qadha sholat Dzuhur dengan dicicil.
Advertisement
Meninggalkan Sholat tapi Belum Bersuci padahal Darah Haid Sudah Berhenti, Apakah Harus Diqadha?
Mengutip NU Online, jika wanita meninggalkan sholat saat haid padahal darahnya sudah berhenti dan ia belum melaksanakan mandi besar, maka tentu sholat yang ditinggalkan wajib untuk diqadha.
Kewajiban mengqadha sholat juga berlaku jika wanita meninggalkan sholat saat waktu sholat telah tiba namun wanita tersebut belum melaksanakan sholat dan kemudian ia terpaksa meninggalkan sholat sebab datangnya darah haid.
Sebab, saat waktu sholat telah tiba dan darah haid belum keluar ia sudah terkena kewajiban untuk melaksanakan sholat tersebut.
Imam Ibnu Hajar dalam kitabnya Tuhfatul Muhtaj bi Syarhi Alfadzil Minhaj menjelaskan:
ومن ثم لو اعتادت الانقطاع في جزء من الوقت بقدر ما يسع الوضوء والصلاة ووثقت بذالك لزمها تحريه فاذا وجد الانقطاع فيه لزمها المبادرة بالفرض
Artinya: “Dan karena itu, jika seorang wanita terbiasa putus darahnya dalam bagian waktu tertentu, sekira waktu yang memuat wudhu’ dan sholat, serta ia yakin dengan kemungkinan tersebut, maka ia wajib untuk memperhatikan waktu tersebut. Jika ditemukan terputusnya darah dalam waktu tadi, wajib baginya untuk segera melaksanakan kefardhuan." (Ibnu Hajar, Tuhfatul Muhtaj bi Syarhi Alfadzil Minhaj, [Darul Fikr], juz I, halaman 421).
Penjelasan di atas menunjukkan kewajiban bagi wanita untuk berhati-hati dan memperhatikan waktu-waktu yang mungkin saja ia diwajibkan sholat dalam waktu tersebut, baik sebab terputusnya darah haid saat waktu sholat masih tersisa, atau saat mulai akan keluar darah dan ia mampu melaksanakan shalat namun tidak melaksanakannya.
Oleh karenanya, Imam Malik merekomendasikan kepada para wanita yang menjumpai tanda-tanda darah akan berhenti agar rutin mengecek keluarnya darah dalam dua waktu utama. Pertama setiap akan melaksanakan shalat dan kedua adalah pada setiap menjelang tidur di malam hari. (Muhammad bin Ahmad Ad-Dasuqi, As-Syarhul Kabir lis Syaikh Ad-Dardir wa Hasyiyatud Dasuqi, [Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah], juz I, halaman 281).
Wallahu a’lam.
