Melihat Polemik Pasal Zat Adiktif dalam RUU Kesehatan

Dikutip dari data Kementerian Perindustrian, total tenaga kerja yang terserap dalam industri tembakau sebanyak 5,98 juta orang yang terdiri dari 4,28 juta orang bekerja di sektor manufaktur dan industri serta 1,7 juta orang sisanya bekerja di sektor perkebunan.

oleh Liputan6.com diperbarui 19 Mei 2023, 15:32 WIB
Diterbitkan 19 Mei 2023, 15:29 WIB
Tolak RUU Kesehatan, Massa Nakes Demo di Patung Kuda
RUU ini juga dinilai dapat memecah belah profesi kesehatan serta berpotensi memperlemah perlindungan dan kepastian hukum bagi perawat ataupun tenaga kesehatan dan masyarakat. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta - Pasal zat adiktif dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan menuai polemik dari berbagai pihak, termasuk dari anggota DPR Komisi IX dan Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (GAPRINDO). Terbaru Anggota Komisi IX DPR RI Yahya Zaini mengusulkan adanya aturan terpisah untuk perihal zat adiktif dari RUU Kesehatan. Hal itu diyakini dapat menjadi solusi perdebatan dalam RUU Kesehatan yang marak diperdebatkan oleh berbagai pihak.

Selain pasal yang mengelompokkan produk tembakau dengan narkotika dan psikotropika, di dalam RUU Kesehatan tersebut juga terdapat pasal 156 yang mengatur persoalan standarisasi kemasan produk tembakau, yang di dalamnya termasuk aturan kemasan, jumlah batangan, dan lainnya, serta peringatan kesehatan.

“RUU (Kesehatan) ini masih dibahas. Sementara persoalan pasal 154, pasal 156 yang isinya tentang ketentuan lebih lanjut mengenai standardisasi kemasan (produk tembakau) dan peringatan kesehatan belum masuk agenda pembahasan," ujarnya, Senin (15/5/2023).

Menurut Yahya, RUU Kesehatan ini belum dapat diajukan untuk dibawa ke rapat paripurna. Pasalnya belum selesai pembahasan di tingkat Komisi.

“DPR khususnya Komisi IX ingin memastikan RUU ini jika disahkan menjadi UU dengan minim polemik. Dengan demikian perlu proses pembahasan yang lebih matang,” ucapnya.

Yahya menjelaskan industri tembakau telah menjadi bagian integral dari sejarah dan kebudayaan Indonesia selama lebih dari seratus tahun. Tidak hanya dari sisi penerimaan negara tetapi juga berdampak positif dalam aspek penyerapan tenaga kerja di di Indonesia.

“Karena industri ini sangat membantu keuangan negara dan melibatkan banyak pekerja, kita akan berusaha melakukan pembicaraan dengan teman-teman fraksi yang sejalan agar masalah ini dicabut,” kata Politisi Fraksi Partai Golkar ini.

Perlu diketahui bersama, tembakau sebagai bahan baku rokok merupakan komoditas perkebunan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang perkebunan untuk meningkatkan pendapatan dan penerimaan negara. Tidak hanya itu, soal produk rokok pun diatur dalam Undang-Undang Cukai Nomor 39 Tahun 2007, dan pajak lainnya yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan

Menanggapi hal tersebut, Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wahyudi mengartikan kekuatan hukum industri tembakau dan aktivitas turunannya bersifat kuat dan mengikat. Artinya produksi dan konsumsi rokok di Indonesia tidak bisa diilegalkan karena didukung dengan izin usaha resmi dan ditambah adanya kontribusi resmi terhadap negara. Kontribusi ini mencakup penerimaan negara hingga serapan tenaga kerja.

Oleh karena itu, Benny menilai tidak ada urgensi untuk memasukkan tembakau dalam satu kategori yang sama dengan narkotika dan psikotropika. Apalagi mengingat beban Industri Hasil Tembakau nasional dan industri turunannya yang sudah cukup berat untuk dapat merealisasikan kebijakan Pemerintah yang selama ini cenderung menekan.

“Lahirnya RUU Kesehatan yang ikut mengatur ketat produksi dan penjualan rokok akan membuat IHT semakin tertekan dan justru berpotensi menurunkan kontribusi dan dampak positif yang diberikan dari industri ini,” tuturnya.

Menurut Benny, jika bicara tentang kemasan produk tembakau, pasal tersebut juga sudah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan 217/2021 yang merupakan regulasi pelaksana dari UU 39/2007 tentang Cukai. Ini membuktikan deretan pasal tembakau dalam RUU Kesehatan akan menjadi tumpang tindih dengan regulasi lain bahkan berpotensi menimbulkan disharmonisasi dengan kementerian lain.

Dikutip dari data Kementerian Perindustrian, total tenaga kerja yang terserap dalam industri tembakau sebanyak 5,98 juta orang yang terdiri dari 4,28 juta orang bekerja di sektor manufaktur dan industri serta 1,7 juta orang sisanya bekerja di sektor perkebunan.

“Padahal IHT adalah industri yang legal di tanah air, sehingga dalam menyusun kebijakan yang ada penting juga melihat IHT dari seluruh aspek mulai dari ekonomi hingga sosial serta lebih transparan untuk mendengarkan aspirasi dari pelaku industri dan ekosistem tembakau yang terlibat,” kata Benny.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya