Sulitnya Mencari Batik Tulis di Pasar Beringharjo Yogyakarta

Batik tulis di pasar Beringharjo Yogyakarta kini sulit ditemui karena serbuan batik print.

oleh Yanuar H diperbarui 02 Okt 2014, 07:35 WIB
Diterbitkan 02 Okt 2014, 07:35 WIB
Sulitnya Mencari Batik Tulis di Pasar Beringharjo Yogyakarta
Suliantoro menunjukkan batik Celeng Kewengen dari Sleman. Batik pada masa kerajaan Medang. (Fathi Mahmud)

Liputan6.com, Yogyakarta Pasar Beringharjo di Yogyakarta dikenal sebagai pasar terbesar di Yogyakarta yang menjual pakaian batik. Dahulu batik tulis sangat mudah ditemukan di pasar Beringharjo, namun kini seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi, batik tulis mulai sulit ditemui di pasar tersebut.

Hal tersebut dapat terjadi karena saat ini mulai marak penjualan batik printing (kain bermotif batik) di pasar Beringharjo dan sempat disesalkan oleh para pembatik di Jogya.

Melihat fenomena ini, Larasati Suliantoro Sulaiman, Ketua Paguyuban Pecinta Batik Indonesia Sekar Jagad, pun angkat bicara. Dirinya pun turut mengakui bahwa saat ini jarang ditemui batik (baik tulis maupun cap) di pasar Beringharjo karena maraknya batik dengan proses printing.

Ia sangat menyayangkan kehadiran batik tulis yang kini jarang ditemui di pasar Beringharjo. Padahal batik tulis menjadi identitas budaya karena proses pembuatannya yang sarat makna.

Ia pun tidak mengetahui langkah apa yang harus dilakukan untuk melestarikan budaya batik di Jogja karena maraknya batik dengan proses printing.

"Paguyuban Sekar Jagad ini didirikan 15 tahun lalu karena melihat batik-batik desa yang di Beringharjo itu kok hilang. Yang ada kok batik printing. Itu yang membuat kita cemas. Ternyata karena ada batik printing itu jadi pembatik nggak bisa jual batik itu karena masyarakat memilih batik printing itu. Menyedihkan," ujar Suliantoro saat ditemui di Hotel Mustokoweni Rabu (1/09/2014).

Suliantoro mengatakan tidak merekomendasikan adanya pelarangan peredaran batik printing. Ia hanya menginginkan kesadaran masyarakat untuk mencintai batik dengan membeli atau membuat batik yang tidak dengan proses printing. Pasalnya batik printing bukanlah masuk kategori batik. Suliantoro meminta kesadaran menggunakan batik karena batik menjadi identitas budaya Indonesia.

"Kalo saya lebih baik tidak. Bukan pelarangan tapi kesadaran. Sekarang ini euforia ya. Permadani aja sekarang motifnya Parang Barong kan pakaian para raja tapi itu diinjak-injak jadi permadani. Lucu ya itu. Menurut saya euforia itu penting tapi nantinya harus kembali ke makna aslinya.

Suliantoro menyebut maraknya kehadiran batik dengan proses printing sangat mematikan usaha batik baik di Jogja maupun di daerah lain di Indonesia. Sehingga sekarang mulai jarang ditemui orang membatik di rumahnya. Karena pasar lebih memilih batik dengan proses printing.

"Mematikan wong dulu kita (paguyuban sekar jagad) berangkat dari itu kok. Di Pekalongan tetua desa itu menangis. Dulu seribu orang mbatik selama tiga hari dijual laku sekarang nggak bisa lagi. Yang ada printing yang nggak perlu pembatik," ujarnya.

Seperti diketahui 2 Oktober diperingati sebagai hari Batik. Untuk memeriahkan hari Batik, berbagai acara pun digelar di Jogja salah satunya adalah pemecahan rekor membatik di atas kain sepanjang 3000 meter. (Fathi Mahmud/Ars)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya