Belajar Kebudayaan Timur Tengah di SMCCU, Dubai

Seperti apa kebudayaan Timur Tengah yang dapat Anda pelajari di SMCCU Dubai?

oleh Rochmanuddin diperbarui 11 Jan 2017, 14:56 WIB
Diterbitkan 11 Jan 2017, 14:56 WIB
Dubai
Seperti apa kebudayaan Timur Tengah yang dapat Anda pelajari di SMCCU Dubai?

Liputan6.com, Jakarta Di tengah keramaian aneka destinasi wisata kota Dubai, Uni Emirat Arab, tiba-tiba kami dikejutkan dengan pemandangan langka, yang jarang kami temui di Indonesia. Pemandangan yang mungkin bisa menjadi inspirasi kami ketika pulang ke Tanah Air.

Seorang pria paruh baya memungut secarik kertas lalu ia simpan kertas tersebut, saat ia berjalan bersama beberapa rekannya. Kami mengira pria itu adalah penduduk Dubai, karena dia berpakaian gamis putih lengkap dengan penutup kepala putih atau sorban dan pengikatnya.

Pamandangan langka itu dijumpai saat Liputan6.com bersama Zano Group berkesempatan mengunjungi kota Dubai, akhir Desember 2016 lalu, dalam tema A Journey of Discovery: A Taste of Dubai With Dubai Tourism.

Rasa penasaran kami akhirnya terjawab. Media setempat menyebutkan, sejak 2014, pemerintah Kota Dubai memang gencar mengkampanyekan kebersihan kepada warganya. Bahkan, masyarakat dilarang menjemur pakaian di balkon hingga pelarangan memasang iklan atau poster di tempat umum.

Membahas tentang kebudayaan Timur Tengah, khususnya kota Dubai, akhirnya berkelanjutan. Kami berkesempatan mengunjungi pusat kebudayaan The Sheikh Mohammed Centre for Cultural Understanding (SMCCU), di desa perdagangan Al Bastakiya, Distrik Al Fahidi, sebuah permukiman tertua di Dubai.

Perjalanan ke SMCCU dari pusat Kota Dubai kurang lebih memakan waktu 20 menit, menggunakan kendaraan roda empat. Tiba di SMCCU, kami langsung merasakan suasana yang berbeda dengan pusat Kota Dubai. Tempat bersejarah ini jauh dari gedung-gedung bertingkat atau fasilitas yang serba mewah.

(Liputan6.com/Rochmanuddin)

Sebaliknya, di SMCCU suasana pedesaan sangat terasa. Kami seperti berada di Timur Tengah tempo dulu. Kami dapat menjumpai gang-gang kecil, di antara rumah-rumah sederhana tanpa atap, khas Timur Tengah. Tembok-tembok berkelir krem atau seperti warna gurun pasir, menjadi ciri khas rumah-rumah di sana.

Di antara rumah-rumah sederhana itu, terdapat taman-taman kecil yang ditumbuhi pepohonan dan bunga. Namun, tak ada rumput hijau di bawahnya, hanya batu-batu koral yang menutupi tanah. Tapi bukan berarti tak ada rumput di Dubai. Rerumputan banyak dijumpai di taman-taman pusat kota Dubai, yang sengaja ditanam dan dirawat dengan baik.

Suasana Timur Tengah akan lebih terasa, saat memasuki rumah yang menjadi tempat belajar kebudayaan sekaligus kantor SMCCU. Bangunan seluas kurang lebih 150 meter persegi ini berarsitektur khas Timur Tengah. Seperti ruang tamu tanpa atap, jendela dengan lubang-lubang kecil, dan pilar-pilar yang mengelilingi ruang utama.

Tak hanya itu, kami juga dapat menjumpai anak tangga menuju lantai dua di tempat tersebut. Bahkan, sarang burung dan beberapa peralatan rumah tangga, serta lampu yang menggantung di dinding juga melengkapi menghiasi rumah tersebut. Suasana benar-benar seperti berada di Timur Tengah masa lalu.

Setelah rombongan kami menunggu beberapa menit, muncul sang pemandu wisata bernama Abdulla Al Hussam. Acara diawali dengan perkenalan oleh Abdulla dan dilanjutkan dengan pemaparan tentang budaya Timur Tengah, khususnya Dubai.

Dengan berbahasa Inggris, Abdulla membawa suasana diskusi menjadi akrab dan cair. Bahkan, tak jarang dia membuat kami tertawa dengan guyonan yang mengocok perut.

"Kenapa kami memakai slogan Open Doors, Open Mind? Supaya kita semua dapat belajar tentang kebudayaan Timur Tengah, khususnya di kota Dubai," ujar dia.

"Kita ingin terbuka, siapa saja bisa datang ke sini untuk sama-sama belajar tentang kebudayaan kami," sambung Abdulla.

(Liputan6.com/Rochmanuddin)

Abdulla kemudian memaparkan berbagai budaya di Timur Tengah, khususnya Kota Dubai. Namun yang paling menarik saat membahas pakaian khas Timur Tengah, mulai dari baju gamis, tali pengikat kepala, jenis-jenis atau gaya penutup kepala, tali yang menjuntai di baju gamis, hingga burka atau penutup wajah pada perempuan.

Pertama, Abdulla membahas soal pengikat kepala pada laki-laki. Sejatinya pengikat kepala sorban atau ghotra bukan hiasan belaka. Tapi untuk mengikat sorban agar tidak jatuh atau lepas. Pengikat kepala ini umumnya ganda agar lebih kencang tapi cukup elastis karena dari bahan karet.

Kedua, soal jenis atau gaya memakai sorban. Abdulla mengatakan sebenarnya ada banyak jenisnya, tergantung selera masing-masing individu. Ada lebih dari enam model memakai sorban. Tapi umumnya bagi anak muda lebih suka menggunakan model lebih terbuka, ketimbang mereka yang lebih tua.

"Kalau warna sorban juga ada jenis-jenisnya. Yang warna putih biasanya dipakai warga sipil, dan merah dipakai militer atau aparatur pemerintahan," ujar Abdulla, sambil memperagakan kepada rekan kerjanya.

Ketiga, Abdullah membahas tali rajut yang menjuntai di gamis yang biasa dikenakan para pria Timur Tengah. Tali tersebut konon sengaja dibuat oleh para istri untuk suaminya. Fungsi tali tersebut untuk mengetes parfum.

"Dulu pada saat itu para suami biasanya bepergian berdagang minyak wangi, sehingga untuk mencoba minyak wangi itu cukup pakai ujung tali itu," dia menjelaskan.

Di sela-sela pemaparan tentang budaya khas Timur Tengah, beberapa karyawan SMCCU memberikan secangkir kopi arabika dan kurma, kepada semua tamu yang hadir. Secangkir kecil kopi arabika dan satu kurma, diyakini bisa membuat tubuh tetap fit.

"Ini minuman khas Dubai. Warga di sini bisanya minum kopi arabika sambil menikmati kurma," kata Abdulla.

Abdulla lalu melanjutkan pembahasan terkait burka atau kain penutup pada perempuan. Ternyata, burka yang biasanya digunakan perempuan Timur Tengah berlapis dua. Lapisan pertama berbentuk menyerupai topeng berbentuk kacamata, baru dilapisi kain burka.

"Burka itu gunanya untuk menutupi wajah perempuan di sini, karena zaman dulu para suami banyak meninggalkan istrinya di rumah untuk berdagang. Agar sang istri tidak serong dengan laki-laki, sebab kalau memakai burka laki-laki tidak bisa melihat kecantikan seorang perempuan," dia memaparkan.

"Coba perempuan pakai burka tersenyum, pasti orang lain tidak bisa melihatnya kalau dia sedang tersenyum," gurau Abdulla.

(Liputan6.com/Rochmanuddin)

Selesai pemaparan tentang pakaian khas Timur Tengah, kini giliran tamu-tamu yang hadir dipersilakan menyantap berbagai menu khas setempat. Nasi biryani dengan lauk ayam dan daging serta makanan penutup berupa kue berbentuk dan berbahan seperti donat.

Tak hanya itu, selesai menyantap makanan khas Timur Tengah, giliran kami memakai pakaian khas setempat yang sudah disiapkan karyawan SMCCU, Dubai. Kami pun mencobanya dan tak lupa mengabadikan momen langka tersebut bersama para tamu yang hadir.

Warga Asia, Eropa hingga Amerika bersama-sama mencoba mengenakan gamis dan burka. Momen tersebut begitu indah. Ada energi kuat yang kami rasakan saat itu, yakni kebersamaan, meski kami berasal dari benua yang berbeda. Selesai berfoto-foto bersama, kami pun berpamitan.

 

 

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya