Ribuan Tahun Memperdebatkan Isu Kelamin

Dari para Bissu di Pangkep hingga mitologi Yunani, simak ulasan Ananda Sukarlan soal isu gender berikut ini.

oleh Liputan6.com diperbarui 12 Jul 2017, 16:00 WIB
Diterbitkan 12 Jul 2017, 16:00 WIB
Zeus dan Ganymede
Foto: paishellas

Liputan6.com, Jakarta Tulisan ini bermula dari perbincangan saya dengan seorang bissu, yaitu laki-laki penutur sastra lisan di Pangkep, Sulawesi Selatan, yang bersuara dan bertingkah laku seperti perempuan, juga beberapa warga Desa Segeri dari Bugis. Niat awal saya sebetulnya bukan untuk mengulas isu gender. Sebagai seorang komponis untuk apa saya jauh-jauh mendatangi suku di pedalaman? Tentu jawabannya seperti yang Anda duga: gara-gara musik.

Rencana pertemuan saya dengan seorang bissu (yang namanya ia minta untuk dirahasiakan) sebetulnya adalah untuk bertanya soal tradisi seni, khususnya musik di daerahnya. Proyek saya kali ini adalah sebuah karya musik orkes yang menggambarkan hubungan Makassar dan kaum Aborigin di daerah Arnhem Land di utara benua Australia, sejak abad 18 dan berhenti di awal abad 20.

Karya ini diminta atas kerjasama Kedutaan Besar Australia dan Darwin International Festival. Untuk itu saya ingin berbincang-bincang dengan seorang bissu dan seniman musik tradisi untuk menanyakan hal-hal menyangkut tradisi musik, ritual, dan naskah kuno Bugis, yang erat berhubungan dengan Makassar walaupun keduanya beda suku dan bahasa. Saya sudah membaca soal bissu lewat buku-buku dan internet, tapi setelah bertemu dengannya, ternyata banyak sekali yang tidak dapat saya temukan di internet atau jurnal akademik lain.

Ternyata suku Bugis tidak dapat meng-klaim dirinya sebagai "pribumi" berdarah murni di tanahnya sendiri. Sejak abad 15 para pendatang dari Melayu (Sumatera) telah datang sebagai pedagang di Kerajaan Gowa, sehingga sudah ada proses akulturasi di sana antara dua kebudayaan ini. Tapi kemudian terjadi konflik berkepanjangan antara suku Makassar dan Bugis, dan para pengembara Bugis banyak yang pindah ke Kutai (Kalimantan) dan bahkan ke Sumatera dan Malaysia. Setelah mengetahui ini, jelaslah bahwa tradisi Bugis bukanlah referensi yang tepat untuk karya musik saya, sehingga saya mulai "ganti fokus" dari musik dan bertanya-tanya soal tradisi bissu.

Suku Bugis adalah kelompok etnis terbesar di Sulawesi Selatan, berjumlah sekitar tiga juta orang. Kebanyakan orang Bugis beragama Islam, namun ada banyak ritual pra-Islam yang masih terus dihormati dalam budaya Bugis, termasuk pandangan seksualitas yang berbeda.

Bahasa mereka menawarkan lima istilah yang merujuk berbagai (kombinasi) jenis kelamin dan seksualitas: makkunrai (wanita feminin), oroani (pria maskulin), calabai (pria kewanitaan/pria feminin), calalai (wanita kelaki-lakian /wanita maskulin), dan bissu (imam/pendeta transgender). Definisi ini tidak 100 persen tepat, tapi cukup walaupun masih banyak area abu-abu di antara 5 kategori tersebut. Itu pun masih disederhanakan dalam hal-hal praktis dalam kehidupan mereka, yaitu jika kita ke toilet atau kamar ganti di tempat umum yang cukup modern misalnya, seperti di belahan dunia lainnya hanya ada 2 pintu: wanita dan pria!

Tentu, seperti di masyarakat belahan dunia manapun, ada tekanan dari keluarga dan masyarakat untuk menikah dengan "lawan jenis" dan bereproduksi serta menafkahi keturunan, baik untuk para calabai dan calalai. Terutama dalam kasus para calalai, mereka sering terpaksa menikah dengan pria heteroseksual. Ada yang merasa nyaman dengan tubuh mereka yang tidak sesuai dengan presentasi gendernya, sementara yang lain berusaha untuk mengatasi dilema ini dengan intervensi medis seperti membesarkan buah dada.

Sedangkan para calabai banyak yang bekerja dalam bidang yang membutuhkan "tingkat kewanitaan" dan sensitivitas yang tinggi, seperti merias pengantin.

Beberapa dekade terakhir ini calabai dan calalai dapat mencapai tingkat toleransi dan apresiasi yang tinggi melalui berbagai pertunjukan di festival budaya dan kontes kecantikan. Di berbagai ajang ini mereka nampaknya telah menjadi simbol keunikan budaya Bugis. Meskipun demikian, dampak undang-undang pornografi baru-baru ini berpotensi cukup memprihatinkan, karena dapat menimbulkan masalah dalam tradisi pertunjukan calabai.

Di antara kaum calalai dan calabai, ada orang-orang yang "terpilih" menjadi bissu, yaitu pemimpin. Biasanya hal itu terjadi saat mereka memasuki usia remaja, di mana mereka menerima "ilham" atau "wangsit" melalui mimpi atau kejadian spiritual. Tapi untuk menjadi bissu tidaklah mudah. Untuk itu, mereka harus mengikuti berbagai ritual sebagai pembuktian. Hanya mereka yang terpilih yang boleh ikut menjalani pendadaran yang dilakukan para bissu yang lebih tua. Dari pengenalan sejarah, adat istiadat, bahasa, sastra, dan kitab kuno sampai ujian fisik dan mental yang tidak mudah. Para bissu yang terpilih mengikuti upacara maggiri konon harus menjalani sebuah ujian berat selama tujuh hari tujuh malam.

Mereka akan dikafani layaknya orang mati (dalam bahasa Bugis disebut diujug), disimpan dalam sebuah ruangan atau diletakkan di atas perahu di atas air dan dibiarkan tanpa makan, minum, dan buang air selama tujuh hari tujuh malam. Hanya mereka yang punya kemampuan lebih yang bisa menjalaninya, sisanya akan gagal dan tidak bisa ikut dalam upacara maggiri. Tentu saja para bissu ini dulu dihormati sebagai orang yang terpandang, bahkan terpilih oleh sukunya. Dalam cerita kuno Bugis "I La Galigo", kelahiran bissu sama tuanya dengan kehadiran manusia di bumi.

Ananda Sukarlan berfoto bersama warga Pangkep, Sulawesi Selatan dan para Bissu (Foto: Dok. Ananda Sukarlan)

Tapi keadaan mereka kini sangat menyedihkan. Dengan mengentalnya agama Islam di Bugis, mereka dianggap "melanggar agama" karena tidak diakuinya gender yang lain selain laki-laki dan perempuan. Mereka tidak lagi mendapatkan subsidi sebagai "cultural heritage" dari pemerintah setempat, bahkan mereka kini rebutan lapangan pekerjaan antara lain sebagai perias pengantin. Itu pun secara "diam-diam" karena menurut agama sekarang, pengantin harus dirias oleh seseorang yang tidak melanggar peraturan agama kalau pernikahan mereka disahkan melalui agama tersebut.

Untunglah banyak yang masih berpikir bahwa para bissu dapat memberikan aura yang lebih spiritual sehingga pengantin yang dirias oleh bissu itu bisa mendapatkan kecantikan yang lebih, yang tidak dapat didapatkan oleh perias yang "biasa" dan "taat agama". Dengan keterbatasan ruang hidup mereka, tradisi dan adat istiadat Bugis bisa punah karena tidak ada lagi yang mewariskan pengetahuan serta budaya itu.

Sekarang mari kita memasuki mesin waktu dan mundur lebih dari 2.000 tahun ke belakang, tepatnya ke Yunani kuno. Di buku-bukunya "Symposium" dan "Phaedrus", untuk Plato (427-347 SM) arti cinta sejati adalah cinta antara dua pria. Cinta homo-erotis berhubungan dengan pendidikan dan pengetahuan, dan ini membuatnya lebih unggul dari jenis cinta lainnya.

Sebetulnya, apa arti "homoseksual" selain hubungan seks sesama jenis? Yang saya temukan di internet adalah bahwa ungkapan itu diciptakan pada 1869 oleh dokter Hungaria Karoly Maria Benkert (1824-1882). Baru beberapa dekade kemudian istilah itu menjadi lebih populer. Di Yunani kuno, seperti yang ditulis Plato, tidak pernah ada istilah untuk menggambarkan praktik homoseksual: mereka hanyalah bagian dari afrodisia, cinta, termasuk pria dan wanita.

Kritikus sosial dan filsuf sosial Prancis, Michel Foucault (1926-1984), bertanya-tanya apakah konsep modern kita, yang mengandaikan kualitas psikologis atau kecenderungan/identitas, dapat digunakan untuk menggambarkan situasi di Athena kuno. Jawaban Foucault yang sering dikutip adalah dia menganggap bahwa awal abad ke-19 merupakan awal diskontinuitas dengan sejarah sebelumnya. Dan memang benar, sikap dan cara hidup orang Yahudi dan kaum Kristiani tidak "merestui" kehidupan seksual orang Yunani kuno. Di mata orang Yunani kuno, ketika seorang pria yang sudah menikah memiliki hubungan dengan seorang lelaki itu tidak tercela, meskipun masyarakat Athena mengharapkan seorang pria untuk bereproduksi --terutama memiliki anak laki-laki - dengan istrinya yang sah. Lelaki Athena itu, menurut Foucault, seorang "macho", penetrator, orang yang memaksa orang lain melakukan apa yang dia ingin mereka lakukan, dan seorang wanita itu "penerima keadaan" dan submisif.

Pandangan ini nampaknya menjadi ketinggalan zaman setelah wafatnya Plato. Tidak semua wanita Athena pasif dan tidak semua pria dominan. Pelacuran, yang merupakan aspek penting kehidupan Athena, tidak ada hubungannya dengan dominasi laki-laki.

Kelihatannya banyak kehidupan dan kisah cinta di Athena kuno terjadi di tempat umum: banyak gambar di vas menunjukkan bagaimana orang-orang menyaksikan ketika dua orang melakukan hubungan intim. Sebelum Plato, tidak ada satupun bukti tertulis bahwa ada pihak atau orang berkeberatan dengan seks di ruang publik.

Ini berbeda dengan prostitusi. Seorang warganegara seharusnya tidak menjual tubuhnya, dan pada 450 SM sebuah undang-undang diajukan bahwa orang-orang yang pernah melacurkan diri tidak dapat mencalonkan diri menjadi pejabat publik di kantor pemerintahan.

Seseorang yang pernah menjual dirinya diyakini mampu menjual kepentingan masyarakat juga. Undang-undang ini tidak ada hubungannya dengan homoseksualitas. Sampai ratusan tahun ke depannya, adalah suatu hal yang umum jika dua lelaki hidup bersama, walaupun tidak ada bukti bahwa pernikahan resmi bisa terjadi di zaman tersebut antara sesama jenis. Lagi-lagi, peresmian hubungan dua manusia (berbeda kelamin) adalah konsep yang baru diperkenalkan oleh agama Kristiani.

Homoseks dalam Mitologi Yunani

Homoseksualitas bukan hanya ada di "dunia nyata" tapi juga ada di mitologi Yunani. Alkisah, Zeus dewa dari segala dewa menjelma menjadi burung elang dan menyambar Ganymede. Ganymede adalah pangeran muda sangat tampan dan berambut pirang dari Troya. Zeus pun terpesona dan membawanya ke kahyangan untuk hidup di antara para dewa. Ganymede menjadi kekasih Zeus dan berperan sebagai cup bearer alias penuang nektar minuman para dewa.

Baik dari contoh Socrates/Plato, kehidupan Yunani kuno maupun di Bugis awal abad 20, kita bisa melihat dampak negatif agama terhadap cara berpikir masyarakat. Yang kita harus ingat, tradisi adalah sebuah produk kolektif yang dibangun secara alamiah oleh seluruh masyarakat/anggota suku, sedangkan agama (paling tidak dua contoh di atas) itu biasanya adalah ciptaan satu orang yang biasanya disebut Nabi. Dan Nabi itu menurunkan agama ke kaumnya di sekelilingnya, yang belum tentu dapat diterima oleh cara pandang/hidup/berpikir kaum di luar lingkungannya. Contoh pengaruh agama di tulisan saya ini adalah agama "impor" yang tidak berakar dari masyarakat itu sendiri.

Cara berpikir soal kelamin, menurut saya bukanlah sesederhana menjadi dua "blok": pria dan wanita, seperti cara berpikir yang mulai diperkenalkan oleh agama Kristiani dan kemudian agama-agama sesudahnya.

Ananda Sukarlan berfoto bersama warga Pangkep, Sulawesi Selatan dan para Bissu (Foto: Dok. Ananda Sukarlan)

Mungkin akan lebih tepat jika kita menganggapnya seperti spektrum, atau lebih mudahnya dapat bayangkan sebuah garis. Seseorang ada orang pada akhir garis ini dan anda namakan "pria", dan kemudian Anda telusuri sepanjang garis ini sampai Anda tiba di ujung yang lain, dan itu adalah "wanita".Tapi di sepanjang garis ini ada banyak sekali orang dengan segala jenis orientasi seksual dan karakter yang berbeda. Sama seperti hal-hal lain dalam kehidupan yang tidak dapat kita batasi dengan "hitam" dan "putih", "terang" dan "gelap", "suci" dan "dosa".

Buat saya pribadi, tidak diakuinya kelamin yang lain selain pria dan wanita itu hanya berdampak positif di seni. Itu pun tercipta di atas penderitaan para senimannya yang mengalami cinta tak terbalas. Praktis, 80 persen puisi Walt Whitman ditulis sebagai obat pelipur laranya terhadap cinta yang terlarang, begitu juga karya sastra Emily Dickinson, Arthur Rimbaud, Oscar Wilde, musik Georg F Handel, Tchaikovsky, Maurice Ravel atau lukisan Michelangelo dan Leonardo da Vinci.

Seorang Bissu mempunyai keahlian merias wajah pengantin (Foto: Dok. Ananda Sukarlan)

Jika isu kelamin dan gender ini terus dipermasalahkan, pertama yang mempersalahkan itu harus tahu dulu di mana masalahnya. Baru kemudian masalah itu dapat dipecahkan. Yang kerap menjadi persoalan, kadang-kadang yang mempersalahkan itu biasanya adalah bagian dari masalahnya. Dalam sejarah, berapa sudah kaum homofobik itu yang ternyata ia sendiri seorang homoseksual? Dalam detik ini, contoh paling nyata adalah Wakil Presiden Amerika Serikat Mike Pence, dan pandangannya yang anti-LGBT, sedangkan ia sendiri telah diakui sebagai "mantan homoseksual".

Dengan "stigma" yang diciptakan agama dan masyarakat, mereka bertanya, dan menjawabnya, seperti di puisi Walt Whitman yang begitu dalam:

The question, O me! so sad, recurring—What good amid these, O me, O life?
Answer.
That you are here—that life exists and identity,
That the powerful play goes on, and you may contribute a verse.

 

(Ananda Sukarlan)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya