Liputan6.com, Jakarta - Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, memerintahkan militer untuk "menguasai area tambahan di Jalur Gaza" dan mengancam akan menduduki sebagian wilayah itu secara permanen, jika Hamas tidak membebaskan semua sandera yang masih tersisa.
Katz mengatakan bahwa militer akan melanjutkan operasi darat di Jalur Gaza "dengan intensitas yang semakin meningkat" sampai semua sandera "baik yang hidup maupun yang mati" dikembalikan.
Advertisement
Baca Juga
Diperkirakan 24 dari 59 sandera yang masih ditahan di Jalur Gaza masih hidup, tetapi nasib mereka tetap tidak pasti setelah negosiasi mengenai fase kedua kesepakatan gencatan senjata tidak mengalami kemajuan.
Advertisement
Gencatan senjata yang rapuh yang telah berlaku sejak Januari berakhir minggu ini ketika Israel melanjutkan serangan darat dan pengeboman di Jalur Gaza, menewaskan ratusan orang.
Sam Rose dari badan PBB untuk pengungsi Palestina, UNRWA, menuturkan situasi di Jalur Gaza "sangat, sangat memprihatinkan" dengan "tragedi yang benar-benar memilukan terjadi di seluruh Jalur Gaza".
Israel dan AS menuduh Hamas menolak proposal untuk memperpanjang gencatan senjata. Hamas membantahnya dengan mengatakan mereka "terlibat dengan para mediator dengan tanggung jawab dan keseriusan penuh".
Namun, Katz dalam pernyataannya pada Jumat mengatakan bahwa "semakin Hamas terus menolak, semakin banyak wilayah yang akan jatuh ke Israel".
"Kami akan mengintensifkan pertempuran dengan serangan dari udara, laut, dan darat serta memperluas manuver darat sampai sandera dibebaskan dan Hamas dikalahkan," tulis Katz.
Katz juga menyatakan bahwa mereka akan "menerapkan rencana transfer sukarela yang diusulkan oleh Presiden AS Donald Trump untuk penduduk Jalur Gaza."
Trump sebelumnya mengungkapkan keinginannya agar AS mengambil alih dan membangun kembali Jalur Gaza, sekaligus memindahkan secara permanen dua juta warga Palestina yang tinggal di sana.
Namun, Otoritas Palestina dan Hamas menegaskan bahwa Jalur Gaza "bukan untuk dijual." Sementara itu, PBB memperingatkan bahwa pemindahan paksa warga sipil dari wilayah pendudukan merupakan pelanggaran berat terhadap hukum internasional dan dapat disamakan dengan "pembersihan etnis."