Laskar Bayaran Mengocok Penonton dalam Balutan Wayang Listrik

Indonesia Kita kali ini menampilkan lakon apik nan lucu dalam balutan budaya Bali. Cak Lontong tetap hadir mengocok perut penonton

oleh Gabriel Abdi Susanto diperbarui 26 Agu 2017, 14:14 WIB
Diterbitkan 26 Agu 2017, 14:14 WIB
Laskar Bayaran a
Indonesia Kita kembali menampilkan pementasan berjudul "Laskar Bayaran" di Teater Jakarta, TIM, 25-26/8. Foto : Yose Riandi

Liputan6.com, Jakarta Syahdan di suatu masa depan, tahun 2099, Bali telah menjadi pulau metropolitan. Sebagian besar wilayahnya dipenuhi dengan gedung-gedung pencakar langit. Sudah tidak banyak lagi bule atau orang asing yang tinggal, hanya satu. "Bahkan kami pun para dhemit tersingkir,"begitu salah satu celetukan dhemit alas (hutan) Gandamayu (trio Clekontong Mas).

Meski begitu, di Bali suasana terasa harmoni. Budaya tari dan berbagai kesenian lain masih dilestarikan. Anak-anak, remaja bahkan orang tua pun masih mau belajar menari serta berbagai kesenian lain. Namun suasana keteraturan dan kenyamanan itu hasil karya korporasi global bernama “Paradize Capitol Corporation” yang rupanya menguasai semua hal dengan sangat tertib. 

Indonesia Kita kembali menampilkan pementasan berjudul

Persoalan hidup sehari-hari, cinta, pikiran sampai kegiatan ritual, diatur secara ketat dan dikenai pajak oleh Paradize Capitol Corporation. Untuk menjaga ketertiban itu, Paradize Capitol Corporation membentuk Laskar Bayaran (dimainkan oleh Trio GAM - Gareng, Wisben, dan Joned), yang bertugas mengawasi dan mengontrol kehidupan rakyat. Laskar Bayaran tak segan-segan, bahkan mengurus hal-hal seputar ritual keagamaan, hingga dunia roh-roh. Di negeri koloni itu, roh pun harus membayar pajak.

Di tengah kehidupan yang serba tertib itu, ada satu wilayah yang belum tertaklukkan oleh Paradize Capitol Corporation, sebuah daerah misterius dan gaib bernama Hutan Gandamayu, yang dihuni para roh leluhur. Di hutan ini masih tersisa romantisme masa silam. Ada ekspatriat yang hidup damai di Hutan Gandamayu dan disebut sebagai The Last Bules (dimainkan oleh Jean Couteau). The Last Bules dijaga agar tidak punah. Sebab kepunahan berarti kehilangan asset turisme. Tanpa para The Bules, segala jenis ritual warisan leluhur tak akan pernah bisa diwariskan.

Hutan Gandamayu dianggap sebagai wilayah terlarang oleh Paradize Capitol Corporation, sebab hutan gaib itu digunakan rakyat sebagai tempat untuk melakukan perlawanan. Rezim Paradize Capitol Corporation menganggap mereka yang tinggal di Hutan Gandamayu sebagai para pemberontak. Laskar Bayaran digerakkan untuk menaklukkan para pemberontak itu.

Indonesia Kita kembali menampilkan pementasan berjudul

Berbagai siasat dan intrik dijalankan untuk menghentikan perlawanan. Kejutan demi kejutan bermunculan, dan akhirnya membuka apa yang sebenarnya disembunyikan di balik siasat dan intrik. 

Wayang Listrik

Lakon Laskar Bayaran ini dipentaskan dengan menggunakan elemen wayang listrik karya I Made Sidia yang megah dan kaya ekspresi visual. Pentas ini juga diperkaya dengan musik yang ditata oleh Balawan, gitaris asal Bali yang dikenal memiliki “magic finger” serta Balawan Gamelan Fusion. Bersama seniman asal Bali, pentas Indonesia Kita ke-25 meneropong Indonesia hari ini, dan masa depan.

Rwa Bineda sebagai nilai keseimbangan dan keharmonisan dalam tradisi budaya Bali menjadi salah satu pesan utama yang disampaikan I Made Sidia sebagai dalang dalam pertunjukkan "Laskar Bayaran" Indonesia Kita. "Rwa Bineda artinya masalah kehidupan dari sisi baik dan buruknya. Sehingga kita sebagai manusia bisa memilih dan memilah. Hal yang mana yang bisa kita terapkan untuk menyejahterakan orang banyak. Sehingga menjadi tuntunan,"ujar Sidia.

Indonesia Kita kembali menampilkan pementasan berjudul

Keahlian mendalang Sidia ini secara genetik diterima dari sang ayah I Made Sidja dan diteruskan lagi ke cucu Bapak Sidja, I Kadek Sugi Sidiarta. Ketiga dalang inilah yang memainkan wayang listrik dalam lakon "Laskar Bayaran" ini. Di tangan ketiga dalang ini, wayang menjelma menjadi pertunjukan imajinatif, progresif sekaligus menghibur tanpa meninggalkan nilai filosofis yang ingin disampaikannya.

Bagi Putu FAjar Arcana yang menjadi tim kreatif pementasan ini bersama Butet Kartaredjasa, Agus Noor, juga Djaduk Ferianto Laskar Bayaran merupakan parodi sempurna atas realitas di sekitar kita. Sebagaimana komunisme, kapitalisme bila dijalankan secara semena-mena bisa berujung pada kekuasaan modal yang absolut."Perbedaan-perbedaan kecil harus dibasmi demi penguasaan secara keseluruhan. Dasarnya adalah keuntungan. Dan itulah simpul yang paling berbahaya dari kekuasaan yang dijalankan atas dasar modal kapital,"ujar Putu.

Indonesia Kita kembali menampilkan pementasan berjudul

Laskar Bayaran, pada sisi yang berbeda, kata Putu, mengajak kita melakukan ruwatan massal atau setidaknya menjalankan ibadah kebudayaan seperti yang sering dikatakan Butet Kartaredjasa untuk kemudian menyadari betapa pentingnya memberi ruang hidup bagi kebudayaan."Artinya, kebudayaan tak boleh berhenti karena ia menjadi semacam kompas hidup, tuntutan yang disampaikan dengan cara-cara dramatik. Sensasi-sensasi keindahan di dalamnya diharapkan mengasah empati, perilaku beretika, serta menjunjung tinggi martabat kemanusiaan,"tegas Putu.

Tak sedap bila gelaran teater macam begini tidak menampilkan guyon-guyon 'intelek' gaya Cak Lontong yang ditemani Akbar (Insan Nur Akbar). Kali ini Cak Lontong berperan sebagai pangeran yang mengaku berasal dari Prancis bergaya pakaian ala Napoleon. Seorang ningrat dari Eropa datang ke Paradize karena ingin melacak leluhurnya yang konon di suatu masa pernah ikut Perang Puputan menjadi legiun asing dan kemudian menetap di pulau ini. Lawakannya yang sederhana dengan ekspresi wajah datar tapi disampaikan dengan bahasa baku, terstruktur dengan logika absurd membuat penonton berpikir sebelum tertawa. Memang dialah yang selalu menarik penonton di setiap panggung Indonesia Kita.

Bahkan candaan intelek ala Cak Lontong pun agak sulit direspon oleh Lola Amaria yang baru manggung pertama kalinya bersama Tim Kayan Production kali ini. Tampil serius sebagai putri penguasa Paradize Capitol Corporation, Lola tampak cantik dengan suara mantap seorang ratu. Trio GAM (Guyonan Ala Mataraman) dan Trio Clekontong Mas asal Bali pun menampilkan gaya-gaya gojek (candaan) yang mungkin kalah seru dengan Cak Lontong tapi tak kalah renyah mengocok perut penonton dan selalu berpadu lucu dengan Marwoto.

Penampilan mereka yang memikat ditangan seniman Ong Hari Wahyu makin ciamik membuat mata penonton tak pernah bosan dengan tampilan visual yang disajikan secara futuristik. Disponpori Djarum Foundation, para seniman ini bermain di panggung Teater Jakarta Taman Ismail Marzuki, 25-26 Agustus 2017 dan ini merupakan penampilan yang ke-25. #JanganKapokMenjadiIndonesia.

Indonesia Kita kembali menampilkan pementasan berjudul

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya